Satu
Bangsal rumah sakit tampak sangat ramai, ruangan khusus anak balita itu dipenuhi tangisan para balita yang sakit dan juga tak nyaman. Terlihat seorang ibu dengan rambut yang kusut, matanya menyiratkan kelelahan dan amarah yang bertumbuk menjadi satu.
Tergopoh seorang pria cukup tua dengan uban di sebagian rambutnya, masuk ke dalam, matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Mengambil satu anak yang terduduk menangis di ranjang dan memeluknya erat. Sementara wanita itu menggendong anak lainnya.
“Haduh, Pak. Pak. Bagaimana ini? Katanya kita hanya di suruh jaga rumah seminggu selama mereka pergi berlibur. Ini apa tho? Kita malah disuruh jaga anak kembar tiga mereka selamanya, mana sanggup kita, Pak. Uang dari mana? Anak kita saja sudah empat, dan ibu sedang hamil anak kelima seperti ini!” ocehnya dengan nada suara yang keras, jelas terdengar oleh orang tua pasien di sekitar mereka.
Satu anak balita seusia dengan yang berada di gendongan kedua orang itu tertidur pulas di ranjang khusus anak-anak. Mereka bertiga adalah kembar tidak identik, itu sebabnya wajah anak laki-laki berusia dua tahun itu tak terlihat sama.
“Namanya musibah, Bu, bapak juga tidak tahu. Sudah ibu jaga dulu nanti kita pikirkan lagi, bapak mau mengurus pemakaman orang tuanya dulu. Ibu tahu kan ayahnya mereka itu keluarga bapak satu-satunya, adik bapak. Bapak sudah tidak punya anggota keluarga lagi selain dia, ibu mengerti ya,” ucap pria itu dengan wajah memelas.
Seorang wanita paruh baya tersenyum lembut dan menghampiri sang bapak yang masih berusaha menenangkan keponakannya yang masih terisak, tampak perban di kening balita mungil itu efek kecelakaan yang dialaminya beberapa jam lalu.
“Kalau boleh, saya bantu jaga selama bapak melakukan pemakaman, saya turut berduka cita,” ucap wanita berpakaian rapih dengan wajah tampak lembut itu.
“Oh, iya. M-maaf jika merepotkan, segera setelah pemakaman selesai saya akan kembali,” ucap pria tua tersebut.
“Saya Triana, sahabat dari ibu pasien di sana,” ucap wanita bernama Triana itu, menunjuk dengan ibu jarinya ke arah seorang wanita yang juga tampak menggendong putrinya yang seusia dengan balita kembar itu.
“Saya Bagus, ini istri saya Rukmi, terima kasih ya Bu Triana,” ucap Bagus sambil menyerahkan anak dalam gendongannya. Lalu Bagus mengusap bahu sang istri dan mengangguk seraya berpamitan, dengan tergesa dia keluar dari ruang rawat, hampir menabrak pria tua bersnelli dokter itu yang bersiap melakukan pemeriksaan, di dampingi beberapa asisten dan dokter lainnya.
Dokter senior itu mengecek dari anak di ranjang yang paling ujung, tak hanya dokter senior karena pria itu merupakan pemilik rumah sakit swasta ini.
“Sssshhhttt, jangan nangis sayang, sakit ya?” ucap Triana sambil menimang balita dalam pelukannya yang mulai berhenti terisak.
“Namanya siapa, Bu?” tanya Triana kepada Rukmi yang sudah menidurkan balita dalam gendongannya, perut Rukmi tampak membesar, maklum dia sedang hamil lima bulan. Anak ke lima nya.
“Itu, namanya Davin, anak kedua dari adik saya,” ucap Rukmi yang bersiap meletakkan balita dalam gendongannya di ranjang secara perlahan agar tidak terbangun.
“Mereka kembar?”
“Iya kembar tiga, setelah menikah lima tahun tak dikaruniai anak, sekalinya diberi anak, langsung kembar, sayang mereka harus meninggal di usia muda, saya sangat bingung, hanya kami walinya, sedangkan, kami juga bukan orang yang mampu,” ucap Rukmi dengan wajah kebingungan.
Triana menghela napas panjang dan mengecup kening Davin, dia juga sudah menikah selama lebih dari sepuluh tahun namun belum dikaruniai anak, karena itu dia sangat tahu bagaimana rasanya menjadi orang tua Davin, di saat mereka harusnya bahagia dengan anak mereka yang lucu-lucu, mereka sudah diharuskan berpisah karena kecelakaan.
“Selamat siang,” sapa dokter senior dengan senyum ramahnya, Triana yang melamun itu menjawab salamnya dengan tergagap, juga Rukmi yang justru terbengong.
“Bagaimana keadaan si kembar? Masih nangis terus?” tanya dokter itu.
“Yah begitulah, dokter. Baru bisa tidur mereka,” ucap Rukmi sambil menghembuskan napas panjang.
“Mereka masih trauma pasca kecelakaan, bersyukur mereka tak mengalami cedera serius karena ibu mereka melindungi sekuat tenaga dengan tubuhnya,” ucap dokter senior itu.
“Pah,” panggil seorang wanita dengan setelan baju kerja yang tampak berkelas, heelsnya sangat tinggi dan sepatunya berkilauan, tasnya pun mungkin sangat mahal jika dilihat dari bahannya. Dokter senior itu menoleh ke wanita yang memanggilnya. Wanita cantik itu tersenyum.
“Sudah waktunya istirahat, kok di sini?” tanya wanita itu, melirik dan mengangguk seraya tersenyum sopan ke Triana dan Rukmi. Matanya menyiratkan sedikit kesedihan setiap melihat bangsal bayi dan balita.
“Iya, papa sedang melihat anak-anak, ayo ke ruangan,” ucap dokter senior itu.
“Saya tinggal dulu ya, di jaga keponakan kembarnya dengan baik, dan saya turut berduka cita, jika ada apa-apa bisa hubungi perawat jaga di depan ya,” ucap dokter itu kepada Rukmi. Rukmi hanya menggangguk dengan wajah yang masih tampak kalut.
Wanita cantik yang merupakan anak sang dokter itu memegang lengan ayahnya saat berjalan keluar ruangan.
“Ada apa, Pa?” tanya wanita itu.
“Kasihan anak kembar tiga itu, usianya baru dua tahun tapi sudah ditinggal orang tuanya karena kecelakaan, Delia,” ucap sang ayah sambil menghela napas panjang. Wanita bernama Delia itu kembali menoleh ke arah ruang rawat tersebut.
“Apa mereka berasal dari keluarga mampu?” tanya Delia hati-hati.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“Jika bukan, aku mau adopsi satu anaknya, Pa. Papa kan tahu rahimku sudah diangkat tahun lalu dan aku tak akan bisa punya anak, aku nggak mau perusahaan yang dibangun Zephyr jatuh ke tangan keponakan-keponakannya yang tak tahu diri,” ucap Delia sambil mendengus.
“Kamu yakin bisa merawatnya? Kamu saja sibuk dengan usaha kamu?”
“Setidaknya aku bisa memberikan segala yang anak itu butuhkan, Pa. Dari pada dia hidup tak jelas, jika dilihat dari penampilan walinya, aku nggak yakin anak itu akan berkecukupan,” ucap Delia.
“Hush, jangan bicara sembarangan.”
“Aku bisa menilai orang, Pa, ya? Tolong bantu aku, bulan depan aku sudah stay di Singapore lho,” rengek Delia membuat ayahnya tersenyum.
“Nanti papa coba ya, untuk anak tunggal papa, apa sih yang tidak?”
“Terima kasih, Papa,” ucap Delia seraya bergelayut manja di tangan sang ayah.
Sementara itu Triana, duduk di kursi dengan Davin dalam pelukannya. Sesekali tangan Triana mengusap rambut Davin dengan lembut dan tersenyum hangat menatap wajah anak kecil yang tertidur pulas dalam pelukannya.
“Di taruh saja Davinnya, nanti ibu pegal,” ucap Rukmi yang sudah duduk di ranjang sambil mengusap perutnya.
“Tidak pegal kok Bu, saya justru senang. Sejujurnya saya sudah menikah selama sepuluh tahun dan belum dikaruniai anak, dulu saya sempat mengandung tapi ternyata kandungan saya blighted ovum, atau janin tak berkembang dan harus kuret. Sampai sekarang saya belum dikaruniai anak juga,” ucap Triana seraya tersenyum getir.
“Tuhan sering bertindak tak adil ya Bu, saya yang sudah punya anak justru lagi-lagi punya anak terus, saya nggak cocok pakai alat kontrasepsi apapun, padahal kami hidup susah di kampung, bahkan beberapa tahun belakangan ini kami makan dari hasil kiriman orang tua si kembar, sehari-hari suami saya hanya bekerja serabutan, menjual hasil sawah ke pasar yang hasilnya tak tentu, di kampung susah cari kerja, kalau merantau pun, dia tak tega meninggalkan empat anak masih kecil-kecil ke saya, meskipun masih ada ibu saya di kampung, tapi beliau sudah renta,” ucap Rukmi menumpahkan keluh kesahnya.
“Bukannya tak adil, tapi Tuhan tahu porsi kemampuan hambanya,” ucap Triana seraya tersenyum lembut, melihat tatapan mata dan senyumnya, sudah bisa dipastikan dia merupakan pribadi yang penyayang.
“Ibu nggak berencana adopsi anak? Mungkin ibu bisa rawat salah satu dari si kembar, jujur saya tak akan sanggup, Bu, nambah tiga anak lagi, mau kami kasih makan apa mereka?”
“I-ibu serius?” tanya Triana.
“Saya akan bujuk suami saya, dia pasti mengerti,” ucap Rukmi memandangi ketiga keponakannya yang tertidur secara bergantian.
“Saya kabari suami saya dulu ya Bu, jika boleh saya ingin mengadopsi Davin,” ucap Triana dengan bibir bergetar, tampak wajahnya terharu dan bahagia bersamaan.
“Iya, Bu, nanti juga saya akan kabari suami saya,” ucap Rukmi, menurutnya keputusan ini adalah yang terbaik. Hak perwalian pasti akan jatuh ke Bagus, selaku satu-satunya keluarga yang tersisa dari ayahnya. Sedangkan ibunya memang hidup sebatang kara sejak dahulu.
***
Cukup malam, Bagus datang ke rumah sakit. Wajahnya masih menyiratkan kehilangan yang mendalam. Dia duduk di kursi tunggu di luar kamar rawat keponakannya seraya bersandar. Rukmi pun menemaninya.
“Pa, bagaimana jika si kembar di adopsi saja, bapak tahu kita bukan orang mampu Pak, mereka pasti lebih terjamin jika bersama orang tua angkatnya,” ucap Rukmi.
“Bu ... bapak capek masih sedih, kok bisa-bisanya ibu berkata seperti itu?” bagus memang selalu bersuara rendah, tak pernah dia meninggikan suaranya meski semarah apapun itu.
“Ibu hanya memikirkan masa depan anak-anak, Pak. Bapak tahu anak pertama kita sudah mau lulus SMA, biaya kelulusan sangat mahal, yang kedua lulus SMP berbarengan, uang darimana untuk tebuh ijazah mereka Pak. Ditambah biaya tiga anak, belum susunya, dan tak lama lagi bayi kita lahir. Ibu pusing,” ucap Rukmi seraya mengusap perutnya.
“Maafkan, bapak, Bu. Bapak nggak bermaksud seperti itu, hanya saja ... bapak sedang tak bisa berpikir jernih saat ini,” ucap Bagus seraya mengusap perut sang istri yang membuncit.
“Bapak ingat ibu Triana yang tadi bantu jaga Davin, dia bilang dia mau adopsi Davin Pak. Melihat dari wajahnya sepertinya dia akan sangat menyayangi keponakan kita,” ucap Rukmi dengan pandangan menerawang.
“Dia ada anak lainnya?”
“Nggak, Pak. Sudah sepuluh tahun menikah tidak dikaruniai anak, dia ibu yang cocok pasti untuk keponakan kita,” ucap Rukmi.
“Bapak pikirkan lagi besok ya, oiya berkas-berkas milik Bagaskara dan istrinya sudah bapak letakkan di laci nakas, untuk persiapan biaya rumah sakit,” ucap Bagus.
“Duh gusti, bagaimana kita membayar tagihannya nanti?” isak Rukmi.
“Sabar, Bu. Tenang. Pasti ada jalan keluar,” ucap Bagus dengan mata yang penuh kesedihan, tak terasa air matanya kembali menetes, niat awalnya mereka ke kota untuk menjaga rumah adiknya yagn ditinggal liburan selama beberapa hari, siapa yang tahu jika pulang liburan, mereka justru mengalami kecelakaan yang cukup naas.
***