(Dua Puluh Tahun Kemudian)
Darren kini memiliki tinggi seratus tujuh puluh delapan senti, cukup tinggi untuk ukuran pria Indonesia. Wajahnya terlihat manis dengan kulit kecoklatan, karena pekerjaan yang lebih sering dilakukan di lapangan.
Matanya yang mewarisi mata ayahnya, tampak sangat jernih, meski jarang terlihat namun senyumnya cukup manis. Darren selalu berpikir matang meskipun kurang percaya diri. Dan dia sangat rajin yang merupakan nilai plus dirinya.
Darren dewasa sudah meninggalkan desa sejak sepuluh tahun lalu. Ya! dia memilih merantau ke kota karena tidak tahan dengan perlakuan sang bukde yang semakin terlihat jelas membencinya. Dia juga merasa perlu mencari uang sendiri, mengirimi pakdenya uang untuk kesehariannya.
Sejak dia masuk SMA, sang pakde benar-benar tak bisa bekerja keras lagi, sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.
Semua anak Bagus telah menikah, terkecuali Anto yang bahkan benar-benar tak pernah pulang sejak kepergiannya dua puluh enam tahun lalu. Dia seolah benar-benar telah melupakan tanah kelahirannya.
Rendi dan juga anak Bagus yang berjenis kelamiin perempuan tinggal di desa mereka, sementara Andi saat ini tinggal di tanah kelahiran sang istri di Kalimantan, sehingga mereka yang paling jarang mengunjungi sang ayah.
Kehidupan perekonomian anak Bagus setelah menikah pun tidak bisa dibilang makmur, mereka bahkan sering berhutang untuk menutupi kebutuhan, sehingga Bagus dan istri tak bisa mengandalkannya terlalu banyak.
Sejak merantau ke kota, Darren bekerja apa saja, dari kuli proyek, penjaga minimarket, sampai office boy di sebuah perusahaan, hingga lima tahun kemudian dia keluar dari minimarket dan mulai kuliah karena pekerjaan office boy yang memungkinkannya mengambil kuliah kelas karyawan.
Dia lulus setelah empat tahun kuliah, dan kini dia sedang melamar kerja di perusahaan lain bersama Angel, temannya.
Angel, seorang gadis manis berusia lima tahun dibawah Darren. Namun mereka kuliah di tempat yang sama. Hubungan pertemanan mereka kian terjalin erat karena Darren yang pindah kost ke rumah orang tua Angel, berada tak jauh dari kampus.
Orang tua Angel juga tampak menyayangi Darren karena mereka tidak mempunyai anak lelaki, dan Darren yang rajin membuat mereka senang. Darren sering membantu kedua orang tua Angel, membenarkan atap rumah, mengecat atau membetulkan listrik yang bermasalah.
Sejak di desa dia sering membantu para warga, mendapat upah seadanya pun sudah membuatnya senang, setidaknya dia memiliki keahlian yang tentu tak didapatkan di sekolahnya.
Rambut Angel panjang, dengan bentuk wajah yang mungil, matanya besar dan hidungnya juga kecil, bibirnya sangat pas dengan bentuk wajahnya. Dia adalah wanita yang sederhana dengan senyum yang memikat. Tak dapat di pungkiri, Darren menaruh hati kepadanya, namun dia sangat minder dengan keadaannya.
Setahun belakangan, Angel bekerja di perusahaan tempat Darren bekerja, berbeda dengan Darren yang masih menjadi office boy meski sudah lulus kuliah, Angel justru bekerja sebagai staff sehingga Darren terbiasa melayaninya.
Angel tak pernah mau jika Darren memperlakukannya seperti karyawan lain, namun Darren pernah ditegur atasan karena terlihat membedakan Angel. Hal yang membuat mereka berdua dilema.
Sebuah perusahaan yang berasal dari Singapore membuka cabangnya di Indonesia, membutuhkan banyak sekali karyawan sehingga Angel dan Darren pun melamar kerja di sana.
Saat ini, mereka berada di bus yang akan membawa mereka ke perusahaan itu. Hari masih cukup pagi sehingga mereka mendapat tempat duduk.
Setelah menunggu dua minggu, akhirnya mereka bisa melakukan wawancara kerja dan kebetulan tanggalnya sama sehingga mereka memutuskan berangkat bersama.
Seperti pelamar kerja pada umumnya, kedua orang itu memakai kemeja warna putih dengan bawahan hitam. Angel pun memakai rok span selutut. Dengan make up sederhana, wajahnya terlihat cantik natural.
“Kamu yakin kita bisa diterima bekerja di kantor itu?” tanya Darren.
“Kita harus yakin, Mas. Lagi pula jika mas Darren tetap bekerja di kantor lama, Mas akan tetap diperlakukan seperti office boy walaupun sudah naik jabatan menjadi staff. Mas tahu kan karyawan kantor itu seperti apa? Ish aku nggak suka lihat mereka yang sok ke Mas,” ucap Angel seraya bergidik.
Darren hanya tertawa dan menggeleng. Ingin rasanya mengusap rambut wanita di sampingnya. Namun dia tahu, dia bukanlah siapa-siapa yang bisa melakukan itu. Dia merasa terlalu rendah diri untuk menunjukkan perasaan sesungguhnya. Karena itu dia sangat ingin sukses, agar bisa bersama dengan wanita yang dicintainya ini. Wanita yang memiliki senyum manis hingga membuatnya hampir diabetes.
“Oiya kabar pakde Bagus bagaimana?” tanya Angel, dia memang mengenal Bagus karena beberapa kali pria itu mengunjungi Darren. Angel sangat tahu betapa Darren berhemat demi bisa menyisihkan uangnya untuk membantu perekonomian keluarga yang membesarkannya, meski dia tak pernah tahu bagaimana cara mereka membesarkan pria yang lebih sering menunduk dan tak pernah tertawa lepas itu. Membuat Angel penasaran, pasti ada sesuatu yang tak pernah diceritakan Darren kepadanya.
“Pakde habis terapi, kakinya sudah semakin lemah sekarang, kasihan,” ucap Darren seraya menunduk.
“Kalau seperti itu, kita harus berhasil di wawancara ini. Agar perusahaan menerima kita ... dan mas Darren bisa bantu pengobatan pakde Bagus,” ucap Angel antusias.
“Iya betul, semoga bisa diterima,” tutur Darren, kembali menunduk hingga Angel mengangkat dagunya.
“Mas, kurangi menunduk, manager personalia tidak suka dengan orang yang kurang percaya diri. Untuk hari ini aja, tolong Mas jadi pria yang berbeda, yang penuh percaya diri. Oke?” ucap Angel melepaskan tangan dari dagu Darren.
Darren bahkan hampir lupa cara bernapas ketika ditatap sedekat itu oleh Angel. Wajahnya bersemu merah, sayangnya kulitnya agak gelap sehingga semunya tentu tak terlihat jelas.
“Aku usahakan,” ucap Darren seraya tersenyum. Benar-benar pada nama terselip doa, seperti nama Angel yang memiliki arti malaikat, sifat Angel pun memang seperti malaikat, baik hati dan perhatian.
***
“Pak Ravin, para peserta wawancara sudah datang, saat ini mereka sedang mengisi formulir untuk wawancara,” ucap seorang wanita berambut pendek menghadap ke meja atasannya. Pria yang sedang berkutat pada laptopnya itu mengangkat wajahnya dan tersenyum ramah seraya mengangguk.
Pria berpenampilan rapih dengan dasi yang mengikat lehernya itu pun berdiri seraya menyiapkan berkas yang perlu dibawanya.
Sama seperti Darren, Ravin pun tumbuh tinggi, sedikit lebih tinggi dari Darren mungkin. Hanya saja yang berbeda, dia tumbuh menjadi pria hangat yang menawan. Pakaiannya selalu bagus dan rapih, dia sangat menjaga kerapihan dirinya.
Di usianya yang bahkan belum berkepala tiga, dia sudah menjadi kepala human resource departmen atau biasa disingkat HRD. Dia di rekrut langsung oleh petinggi di perusahaan ini karena memang pekerjaannya sangat cakap dan handal. Terlebih dia sudah menyelesaikan sarjana strata dua, membuat nilainya kian tinggi.
Ravin merapihkan dasi dan membawa berkas itu keluar ruangan yang selama beberapa bulan ini di tempatinya. Dia yang menyusun seluruh pertanyaan dan kualifikasi untuk staff yang akan bekerja di perusahaan yang baru ini.
Karyawan yang mengikutinya menarik napas panjang, aroma harum dari parfum yang dikenakan Ravin jelas bisa membius wanita manapun yang berada di dekatnya. Terlebih pesona Ravin yang berwibawa dan cerdas, membuatnya cepat populer.
***
Seorang pria memakai setelan jas mahal keluar dari mobil mewahnya, dan seorang asisten yang membukakan pintu mobil untuknya serta membawakan tasnya itu hanya membungkuk ketika pria tinggi itu keluar. Berdiri memandang gedung di hadapannya. Sebuah gedung yang sangat tinggi bertuliskan Zephyr Corp di kaca tertinggi gedung enam belas lantai tersebut.
Tatapan matanya tajam, kulitnya tampak putih bersih, dia nyaris tak pernah tersenyum. Bentuk rahangnya yang tegas menyiratkan ketampanannya juga memperlihatkan sisinya yang dingin sekaligus.
“Selamat datang pak Zephyr,” ucap seorang pria yang menyambutnya. Enzi mendengus dan menggeleng.
“Just call me Enzi, because Zephyr is my father’s name!” ucap Enzi dengan tanpa melihat pria itu sedikit pun. Beberapa orang di belakang pria yang menyapanya itu hanya menunduk tanpa ada yang berani menatap orang nomor satu di perusahaan ini. Padahal yang menyapa Enzi jelas merupakan dewan direksi yang juga memiliki andil di perusahaan ini.
Enzi menoleh ke arah asistennya dan berjalan melewati dewan direksi yang menyambutnya itu.
“Bagaimana dengan hari ini? Berapa banyak pelamar kerja yang akan datang?” tanya Enzi dengan bahasa indonesianya yang jelas fasih. Dia memang sering menggunakan bahasa Inggris terutama ketika sedang kesal.
“Ada sekitar seribu pelamar, Pak,” ucap direksi itu.
“Hanya untuk hari ini saja? Ada seribu?” tanya Enzi yang cukup terkejut.
“Iya pak, karena pelamar juga banyak yang berasal dari luar daerah, dan sesi wawancara akan dibagi menjadi tiga hari.”
“Saya tidak ingin ada masalah hari ini, jadi selesaikan semuanya dengan baik!” ucap Enzi, masuk ke lift VIP yang membawa ke ruangannya di lantai teratas.
Ya mereka bertiga berada dalam satu gedung perusahaan sini, meski dengan nasib dan jabatan yang jelas berbeda. Dapatkah mereka bertemu? Atau memang takdir Tuhan yang membawa mereka untuk bertemu kembali setelah puluhan tahun terpisah oleh keadaan.
***