Dua Belas

1517 Words
Beberapa hari kemudian, lagi-lagi Darren dan Angel mengambil cuti untuk interview kerja tahap dua. Meskipun kini mereka berpisah ruangan. Hari ini tak terlalu ramai yang interview seperti kemarin, dan bagian Darren hanya dipanggil satu persatu untuk wawancara dengan satu staff, bisa dibilang tahap ini merupakan tahap negosiasi gaji atau jabatan. Ravin keluar dari ruangannya dan membawa laptop miliknya. Seraya memperhatikan ponsel, hingga tak sengaja berpapasan dengan Enzi dan asistennya. Dengan cepat Ravin membungkuk setelah tersenyum kepada pemilik perusahaan ini. Enzi hanya mengangguk lalu melanjutkan perjalanannya. Namun dadanya terasa sangat sakit, sakit yang sama seperti minggu lalu. “Dia siapa?” tanya Enzi, memperlambat langkahnya. “Dia pak Ravin, manager personalia,” ucap asistennya. “Oh dia orang  itu yang katanya pintar di bidangnya?” ucap Enzi, membalikkan tubuh untuk melihat punggung Ravin. Dia sampai memiringkan kepalanya, mengapa dari belakang Ravin tampak mirip seperti dirinya, postur tubuh dan tingginya. “Argghhtt!” ujar Enzi seraya terjatuh dan memegang dadanya. Ravin yang berada tidak jauh pun segera menoleh dan berlari menghampiri Enzi, kebetulan lorong kantor itu sangat sepi. Ravin meletakkan laptop di lantai dan memegang lengan Enzi, membantunya berdiri. “Pak Enzi tidak apa-apa?” tanya Ravin seraya membantu Enzi berdiri. Enzi menatap Ravin dari dekat yang membuat jantungnya kian terasa sakit, wajahnya bahkan pucat dan tangannya gemetar. Dia menggeleng dan melepas pegangan Ravin kepadanya. “Tidak, saya baik-baik saja,” ucapnya mencoba menetralkan suara. Ravin hanya mengangguk dan mempersilakan pemilik perusahaan itu pergi. Sementara sang asisten yang ingin membantunya berjalan pun di tolak oleh Enzi. “Sebaiknya kita periksa ke dokter,” saran asisten itu. “Ya, buat jadwal dengan dokter jantung atau dokter apalah itu, saya merasa aneh belakangan ini!” tegas Enzi sambil terus menekan daadanya yang sakit. *** “Halo selamat siang,” ucap seorang wanita berambut pendek yang pernah ditemui Darren ketika interview pertama itu. Darren mengucap selamat siang juga dan duduk di kursi di hadapan wanita itu. “Saya Karin,” ucap wanita berambut pendek yang ternyata bernama Karin dan merupakan bawahan langsung dari Ravin. “Darren,” ucap Darren seraya membalas uluran tangan Karin. “Saya langsung ke intinya ya pak Darren,” ucap Karin ramah. Darren pun mengangguk. “Sebelumnya saya ucapkan selamat, karena Pak Darren telah lolos ke tahap selanjutnya yang merupakan pemilihan area kerja dan jabatan. Jika melihat dari kualifikasi pak Darren, kami sudah memilih beberapa bagian, terkait dengan pengalaman kerja dari pak Darren.” “Iya, bu,” ucap Darren yang tak bisa menahan bibirnya untuk tak tersenyum, dia sangat senang mendengarnya. “Yang pertama menjadi staff general affair, tugas pak Darren nanti juga sehubungan dengan office boy, namun bukan office boy, pak Darren justru yang mengkordinir, mengecek pekerjaan mereka dan sebagainya. Yang kedua, menjadi staff asisten pak Enzi Zephyr Malik, beliau adalah pemimpin perusahaan ini.” “Staff asisten?” tanya Darren, dia tentu tahu pekerjaan General Affair, namun dia baru mendengar tentang staff asisten. “Iya, jadi pak Enzi saat ini sudah memiliki asisten pribadi, namanya pak Rino. Namun asisten itu tak dapat berjalan sendiri, dia mempunyai tim yang bekerja di bawahnya, pekerjaannya tentunya cukup banyak, reservasi hotel, pesawat, restoran, dan lain sebagainya, staff asisten pak Enzi nanti akan berhubungan langsung dengan kesekretariatan atau sekretaris pak Enzi untuk mobilisasi dan sebagainya.” Darren tampak berpikir, jika memang dia menjadi staff asisten, bukankah besar kemungkinan dia akan satu lantai dengan Angel? Ah dia menyukai gagasan itu. “Jika boleh memilih, saya ingin staff asisten saja Bu,” ucap Darren seraya menunduk sopan. Karin sampai tersenyum dibuatnya. Tak pernah dia bertemu dengan lelaki yang sangat sopan seperti ini. “Untuk masalah gaji, staff asisten memang memberikan gaji yang cukup tinggi hanya saja ... pekerjaannya cukup berat dan harus sempurna, tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun itu. Karena kesalahan itu akan berimbas langsung kepada citra pak Enzi, bagaimana?” tanya Karin. Ya tentu ada harga, ada rupa. Setiap benefit yang diterima pasti berbanding lurus dengan resiko yang harus siap di ambil. “Iya tidak masalah, Bu. Saya akan melakukan yang terbaik untuk pekerjaan ini. saya yakin saya bisa,” ucap Darren yang rasa percaya dirinya meningkat. Karin mengangguk dan tersenyum. Benar penilaian Ravin, bahwa Darren berhak mendapat kesempatan. *** Setelah interview kedua, Darren pun menunggu Angel yang katanya masih belum dipanggil ke dalam ruang interview. Jadi dia memutuskan menunggu di belakang kantor, dimana terdapat banyak penjual makanan. Sambil memesan es teh manis, dia pun berbincang dengan pemilik kedai sederhana itu demi membunuh waktu. Angel memperhatikan sekitarnya, betapa cantik-cantik pesaingnya. Tak seperti interview pertama yang justru para kandidat terlihat ramah. Disini dia seperti mendapat banyak musuh. Tak ada yang bicara satu sama lain. Bahkan ketika dia mencoba ramah pun dia mendapat jawaban ketus. Terlebih pakaian mereka sangat berbeda dengan Angel. Ya mereka memang memakai kemeja putih, namun kemeja dengan gaya yang berbeda, tak seperti Angel yang mirip seperti kemeja sekolah. Satu lagi, rok mereka sangat pendek, bahkan saat duduk, rok itu akan naik dan memperlihatkan pahanya ke bagian yang dalam. Sementara Angel bahkan bisa menutupi lututnya dengan rok itu. Juga yang tak kalah menarik adalah mereka semua full make up. Berkali-kali memulas lipstik atau menambah bedak. Angel berkaca pun melalui kamera ponselnya. Dengan rambut di kuncir tinggi sementara hampir semuanya menggerai rambut. Angel hanya bisa menarik napas untuk menenangkan dirinya. Meskipun rasa kakinya ingin berlari meninggalkan tempat itu karena yakin pasti dia tak diterima. Ada sekitar dua puluh orang dan akan terpilih dua sebagai sekretaris Enzi, sementara saingannya jempolan semua yang persis seperti model. Sama seperti ketika interview pertama, masuk ke ruangan Enzi pun kini dilakukan bersama-sama, dengan jumlah tiga orang. Beberapa sudah keluar dari ruangan Enzi, dan kini giliran Angel dengan dua kandidat lain masuk ke dalam. Angel agak sedikit membungkuk dan kurang percaya diri, berada di tengah di antara para kandidat itu yang membusungkan daada mereka. “Kenapa kamu menunduk?” tanya Enzi. Dia memang yang meminta memilih langsung sekretarisnya, karena dia tahu yang menjadi kandidat sekretaris adalah semua yang terpilih dengan nilai yang tinggi setelah interview pertama oleh tim perekrutan yang terpisah dengan staff lain dan dilakukan tiga hari sebelum ini. Terkecuali untuk Angel yang memang dipilih langsung oleh Enzi. Enzi hanya ingin memastikan bahwa sekrretaris pilihannya nanti adalah yang tepat mendampinginya, karena dia akan bekerja lama dengan sekretaris itu. “Maaf, Pak.” Angel mengangkat wajahnya dan tersenyum ke arah Enzi, ya senyum yang manis dan membuat Enzi terpana. Enzi menatap Angel dari atas sampai bawah, lalu dia mengernyit melihat rok Angel yang lebih panjang dari rok kandidat lain. “Apa kamu pernah mengenakan rok sependek mereka?” tanya Enzi. Angel pun mengangguk, dia pernah mengenakannya pada suatu acara. “Jika kamu di terima kerja sebagai sekretaris saya, kamu harus bisa mengubah fashion kamu,” ucap Enzi. Angel hanya mengangguk sementara Enzi memberikan masing-masing satu pertanyaan kepada dua kandidat itu. Tak sampai lima menit, mereka pun keluar bergantian dengan kandidat lain. Dan diharuskan menunggu sampai seluruh kandidat selesai menghadap Enzi dan akan langsung dipilih dua orang menjadi sekretarisnya di hari itu juga. *** Rino mengumumkan dua nama yang dipilih Enzi sebagai sekretarisnya, meski kandidat lainnya tampak kecewa namun mereka mengerti dan memberi dukungan kepada dua kandidat itu. Hanya saja mereka tak menyangka yang penampilan paling sederhana seperti Angel justru ikut terpilih sebagai sekretaris Enzi. Angel dan satu orang bernama Tiffani kembali masuk ke dalam ruangan Enzi. Kini Enzi sudah duduk di sofa tunggal dan meminta Angel serta Tiffani duduk santai di sofa panjang. “Selamat karena kalian berdua akan bekerja sama dengan saya ke depannya. Saya tidak ingin ada masalah yang menghambat kemajuan perusahaan, karena itu saya ingin kalian juga bekerja sama dalam satu tim.” “Iya pak,” jawab Angel dan Tiffani serempak. “Tiffani, kamu lulusan terbaik di kampus kamu, jurusan sekretaris, benar?” tanya Enzi. “Iya pak, benar, saya bahkan mendapat banyak sertifikat dan piagam penghargaan,” ucap Tiffani seraya tersenyum. “Kalau seperti itu, kamu seharusnya bisa membantu Angel kan? Dia memang bukan jurusan sekretaris namun saya yakin dia bisa menjadi sekretaris yang baik, ajari dia semua yang kamu pelajari dan kalian harus saling mendukung satu sama lain,” ucap Enzi. “Baik, Pak,” jawab Tiffani, menoleh ke arah Angel dan tersenyum manis. Senyum pertamanya untuk Angel karena sedari awal, Angel tak pernah melihat senyum wanita itu untuknya. Setelah berbincang dengan Enzi. Tiffani dan Angel pun turun dengan lift bersamaan. “Aku belum memperkenalkan diri secara resmi, namaku Tiffani,” ucap Tiffani seraya mengulurkan tangannya kepada Angel. Angel pun membalasnya. “Aku Angel,” jawab Angel membalas uluran tangan Tiffani. “Usia kamu berapa kalau boleh tahu, agar aku nggak salah panggil,” ucap Tiffani Ramah. “Aku dua puluh tiga, kalau kamu?” “Oh sama dong, aku juga dua puluh tiga.” “Wah berarti kita sepantar,” ujar Angel, Tiffani mengangguk seraya tersenyum lebar, dia pun meminta bertukar nomor dengan Angel, satu yang Angel tahu, benar kata Darren bahwa dia tak seharusnya berburuk sangka. Nyatanya dia lolos menjadi sekretaris dengan gaji yang pastinya fantastis dan satu lagi, rekan kerjanya terlihat sangat ramah dan menyambutnya dengan baik. Dia yakin kedepannya, kehidupan dunia kerjanya akan lebih menyenangkan. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD