6. The Third Wheel

2840 Words
Dua bulan telah berlalu sejak jalan-jalan sore Lanitra bersama Langit. Itu artinya, sudah sebulan pula mereka berteman. Dan dalam sebulan ini, hubungan keduanya sudah bisa dibilang sangat akrab.   Tidak ada kecanggungan lagi yang dirasakan oleh Lanitra jika sedang bersama Langit, ya walaupun rasa salah tingkah itu masih ada karena memang Lanitra masih naksir pada laki-laki itu. Namun, mereka betulan sudah seperti dua orang yang telah berteman sejak lama, meski kenyataannya hubungan pertemanan mereka baru seumur jagung. Sudah beberapa kali Lanitra dan Langit menghabiskan waktu berdua. Entah itu hanya sekedar makan siang bersama di sebuah restoran atau Cielo Cafe, nonton bioskop, dan ke toko buku. Dan semakin banyak menghabiskan waktu bersama Langit membuat Lanitra semakin sadar kalau Langit adalah sosok yang menyenangkan sehingga rasa sukanya pada laki-laki itu kian bertambah.  Namun, mereka berdua tidak berkomunikasi setiap hari meskipun sudah memiliki kontak masing-masing. Itu semua karena keduanya memiliki pekerjaan yang kerap kali membuat mereka sibuk. Bahkan Langit ternyata seseorang yang cukup sibuk juga hingga pernah menghilang selama seminggu penuh tanpa kabar karena pekerjaannya. Lanitra jadi berasumsi kalau Langit memiliki pekerjaan lain selain mengurus usaha kafenya, entah apa pekerjaan itu, Lanitra masih segan untuk bertanya. Jika sedang sama-sama tidak sibuk namun belum bisa bertemu, barulah mereka bertukar kabar lewat pesan atau telepon. Seperti sekarang ini. Lanitra sedang istirahat makan siang dari kegiatan amal yang diadakan oleh Gracious—penerbit n****+-n****+ Lanitra selama ini. Acara amal itu diadakan di sebuah shelter dan sekolah bagi anak-anak tuna wisma. Selain memberikan bantuan berupa dana, kebutuhan pokok, serta keperluan sekolah dan buku-buku yang berasal dari Gracious, pihak Gracious juga mengadakan story telling yang dilakukan langsung oleh beberapa penulis mereka, Lanitra salah satunya. Setelah giliran story telling Lanitra selesai, kegiatan amal itu dijeda sebentar untuk makan siang. Dan yang pertama kali dilihat Lanitra saat jam istirahatnya itu adalah sebuah pesan dari Langit yang masuk ke ponselnya. Usai membaca pesan itu, Lanitra pun spontan tersenyum dan dengan cepat memberikan balasan. Langit Dawana : Cielo mau launching menu baru. Kamu mau jadi yang pertama coba? Lanitra Ellena : Mau banget!!!  Langit Dawana : :D Kalau gitu sore ini kamu bisa ke Cielo?  Lanitra Ellena : Kalau sore aku masih ada kerjaan, Langit, mungkin malam aku baru bisa ke Cielo.  Langit Dawana : Yaudah nggak apa-apa.  Lagi dimana emang? Mau aku jemput? Lanitra Ellena : Nggak usahhh, nanti ngerepotin kamu bolak-balik jadinya. Aku nanti sama temen kok soalnya searah sama jalan dia pulang.  Langit Dawana : Padahal emang maunya direpotin hahaha. Tapi yaudah kalo gitu. Semangat kerjanya, Lanitra Senyum Lanitra kian lebar setelah membaca pesan terakhir dari Langit. Dirinya sedikit tersanjung karena Langit memberinya semangat dan menawarkan diri untuk menjemput. Sebenarnya Lanitra mau-mau saja dijemput oleh Langit, tapi jika laki-laki itu menjemputnya yang ada hanya akan membuat repot dan buang-buang waktu.   "Ini jamnya makan siang ya, bukan jamnya senyum-senyum sambil ngelihatin ponsel." Sierra yang baru datang sambil membawa nasi kotak meledek Lanitra.   Lanitra hanya terkekeh menanggapi ledekan temannya itu yang hari ini juga diundang dalam kegiatan story telling acara amal Gracious.   Sierra duduk di sebelah Lanitra pada sofa panjang tempat mereka beristirahat. Perempuan itu membuka nasi kotaknya, membuat Lanitra merasa lucu karena ya ampun princess Sierra makan nasi kotak! Padahal sehari-hari biasanya makan di Plataran Dharmawangsa.  "Kok nggak sekalian ngambilin aku sih, Si?"  Sierra yang baru mau membuka plastik sambal di nasi kotaknya mendengus. "Heh, ambil sendiri bisa ya, jangan kerjaannya chatting melulu sama Ayang Cielo."  "Dih, sewot bener." Lanitra memutar bola mata.  Setelah itu, tiba-tiba saja ada yang mengulurkan nasi kotak pada Lanitra. Begitu dirinya mendongak, ternyata yang mengambilkan adalah Alvaro. Spontan saja Lanitra memberikan laki-laki itu sebuah cengiran, senang karena ia jadi tidak perlu berjalan untuk mengambil sendiri nasi kotak jatahnya.  "Mas Alvaro pilih kasih terus, giliran Lanitra diambilin, tadi aku mau nitip nggak boleh." Sierra langsung protes setelah Alvaro duduk di sisi Lanitra yang satunya.  Lanitra hanya menjulurkan lidah mengejek Sierra sementara perempuan itu mendengus.  "Tadi kan kamu udah jalan sendiri ke meja makannya, Lanitra masih sibuk disini, makanya aku ambilin," jelas Alvaro diiringi tawa kecil.  "Sibuk apanya? Sibuk jadi b***k cinta iya, senyum-senyum kayak orang gila karena chattingan."  "b***k cinta apaan? Orang chatting sama temen!" Protes Lanitra.   "Temen tapi demen gitu maksud kamu?"  "Ya...nggak salah sih."  Mendengar jawaban Lanitra yang kelewat jujur, keduanya jadi berhenti berdebat dan justru tertawa bersama. Alvaro yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan pun hanya bisa mengerutkan kening bingung.  Laki-laki itu hendak bertanya, namun Lanitra keburu berdiri dari duduknya. "Aku mau cuci tangan dulu," katanya sebelum berlalu pergi meninggalkan Sierra dan Alvaro.  "Ngomongin apaan sih, Si?" Alvaro jadi bertanya pada Sierra yang baru saja ingin menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.   "Gebetannya Lanitra," jawab Sierra singkat.  "Gebetan?"  "Hooh." Sierra mengangguk. "Lanitra sekarang udah ada gebetan baru, itu loh cowok yang jadi inspirasi n****+ Cielo. Jangan cemburu ya, Mas. Habisnya Mas Al sih kelamaan, keburu ditikung deh tuh."  "Ye, siapa juga yang cemburu. Orang cuma nanya."  "Denial mulu iya, entar udah diambil orang baru nangis."  Alvaro tidak menjawab, tapi perkataan Sierra sukses menamparnya dengan telak.  ***  Sebenarnya, saat pergi menuju lokasi acara amal yang diadakan oleh Gracious tadi, Lanitra pergi bersama Sierra naik mobil perempuan itu. Dan seharusnya, Lanitra pun pulang bersama Sierra juga. Tapi tiba-tiba saja temannya itu tidak bisa mengantar karena harus bertemu dengan tunangannya. Kata Sierra sih urusan penting, tapi Lanitra sangsi, dan menebak paling urusan penting itu tidak jauh dari silaturahmi bibir dan silaturahmi yang lainnya.  Karena itu, Lanitra jadi pulang bersama Alvaro. Mereka sudah berangkat sejak jam lima sore tadi, namun hingga satu setengah jam di mobil, mereka belum sampai ke tempat tujuan karena jalanan macet, sesuai ekspektasi Lanitra. Makanya tadi ia memberitahu Langit akan sampai di Cielo waktu matahari sudah tenggelam, meskipun acaranya selesai saat masih sore tadi.  Lanitra sendiri sudah bilang ke Alvaro untuk diturunkan di Cielo Cafe, bukan langsung ke apartemennya. Hal itu pun mengundang rasa penasaran Alvaro.  "Mau ngapain emangnya?" Tanya Alvaro.  "Ketemu temen."  "Temen tapi demen itu?"   Lanitra hanya bisa terkekeh. Ingin menyangkal tapi memang benar, ingin membenarkan tapi malu juga. Reaksi Lanitra pun mengundang tawa gemas Alvaro.  "So, who's the lucky guy? Kok nggak pernah cerita sih sama Mas?"  "Ya, karena malu..."  "Masa malu sama Mas? Emang kita udah kenal berapa lama coba? Malah duluan kita yang kenal dibanding kamu sama Sierra."  "Tapi kan beda, Mas. Agak geli kalau cerita ginian ke lawan jenis, makanya aku cerita ke Sierra aja. Mas juga nggak pernah tuh cerita tentang kisah cinta Mas."  "Jadi Mas harus cerita?"  "Terserah Mas sih, tapi aku senang kalo Mas mau cerita ke aku."  "Yaudah nanti Mas cerita, sekarang kamu dulu."  Senyum Lanitra mengembang, lalu mengalirlah cerita tentang Langit. Dimulai dari kali pertama Lanitra melihat Langit, hingga bagaimana pada akhirnya mereka bisa jadi berteman dan sering menghabiskan waktu berdua. Cerita Lanitra itu dituturkannya dengan penuh semangat, tanpa sadar bahwa setiap kata yang diucapkannya berhasil membuat hati Alvaro seolah sedang dicubit dari dalam.  Usai bercerita, Lanitra menghembuskan napas lega dan bersandar pada kursi mobil. Alvaro melirik perempuan di sampingnya dan menyadari bagaimana senyum masih senantiasa terukir di bibirnya, hanya karena cerita tentang Langit Dawana.  "Kamu sesuka itu ya sama Langit?"  Lanitra mengangguk menjawab pertanyaan Alvaro. "Sesuka itu," katanya. "Aku juga nggak tahu kenapa bisa sesuka itu, Mas. Awalnya mau coba biasa aja, tapi nggak bisa, apalagi pas udah kenal. Tapi aku tetap nggak mau berekspektasi apa-apa, sekarang kami cuma teman, dan itu udah cukup bikin aku senang."  "As long as you're happy, Lani, I'll be happy too."  "Awww, you're indeed the best brother figure for me."  Alvaro hanya tersenyum dan Lanitra memandangnya dengan perasaan senang karena merasa apa yang dikatakannya itu benar.  Selain Sierra, Alvaro adalah orang terdekat Lanitra sejak dirinya tinggal di ibukota. Alvaro bahkan datang lebih dulu dari Sierra dan memegang peran penting bagi karir Lanitra. Tanpa Alvaro, Lanitra pasti tidak akan mencapai titik dimana dirinya berdiri sekarang.   Alvaro pun menjaga Lanitra dengan baik selama ini. Selalu ada kapanpun Lanitra membutuhkannya, meskipun itu bukan menyangkut masalah pekerjaan mereka. Hubungan mereka sudah sangat dekat, bahkan Lanitra sudah menganggapnya sebagai kakak kandung sendiri.   Namun, Lanitra tidak menceritakan perihal Langit pada Alvaro karena tidak terbiasa jika harus bercerita perihal menyukai seseorang kepada lawan jenis. Makanya ia lebih memilih menceritakan semuanya pada Sierra. Tetapi setelah menceritakan semuanya pada Alvaro, Lanitra justru merasa lega dan senang-senang saja. Seharusnya ia lebih terbuka kepada Alvaro tentang ini sebagaimana ia bisa terbuka kepada Sierra sedari awal.   Mungkin Alvaro tidak menunjukkannya, tapi pasti ada sedikit rasa kecewa yang dirasakannya karena tidak mengetahui sesuatu yang penting dari orang yang dianggap dekat olehnya. Bisa saja Alvaro merasa dirinya tidak lebih dipercaya dibanding Sierra. Kemungkinan itu membuat Lanitra jadi merasa bersalah sendiri. Dan tiba-tiba saja ia kepikiran untuk mengenalkan Langit pada Alvaro guna menebus rasa bersalahnya.  Yah, walaupun Langit bukanlah pacar Lanitra dan entah hubungan mereka akan sampai mana, setidaknya Lanitra ingin mengenalkan Langit kepada Alvaro selayaknya seorang adik mengenalkan laki-laki yang disukainya kepada sang kakak. Dan seorang kakak pasti akan bisa menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk adiknya.   Oleh karena itu, ketika mobil Alvaro berhenti di depan Cielo Cafe, Lanitra berkata, "Mas, ikut yuk? Aku mau kenalin Mas Al sama Langit."  "Boleh," jawab Alvaro tanpa ragu-ragu sama sekali. "Aku mau tau gimana laki-laki yang pada akhirnya bisa bikin Lanitraku kasmaran begini."  Lanitra tersenyum senang, tidak sabar untuk mempertemukan Alvaro dan Langit.  ***  Ini bukan kali pertama bagi Alvaro menginjakkan kakinya ke Cielo Café. Lanitra pernah mengajak Alvaro ke kafe ini beberapa kali, entah itu hanya mereka berdua, atau bersama Sierra. Namun, Lanitra tidak pernah memberitahu Alvaro kalau selama ini dirinya naksir dengan pemilik Cielo Café. Dan kebetulan lagi, setiap kali datang bersama Alvaro, Langit sedang tidak ada di kafe. Selama ini, yang diketahui Alvaro tentang kafe itu tidak lebih sebagai kafe yang menjual cinammon cheesecake favorit Lanitra dan tempat dimana Lanitra menemukan inspirasi untuk n****+ terbarunya. Sama sekali Alvaro tidak tahu kalau ternyata Lanitra menyukai orang di balik inspirasinya itu. Lanitra tidak bercerita sebelumnya, sementara Alvaro lalai dalam menyadarinya. Dan di hari dirinya tahu, ia justru langsung berhadapan dengan orang itu. Alvaro tidak tahu harus mendeskripsikan perasaannya seperti apa saat ini karena dirinya, Lanitra, dan Langit sedang duduk bertiga di salah satu meja yang ada di Cielo Café, dengan posisi Lanitra dan Alvaro bersebelahan, sementara Langit duduk di depan Lanitra.  Sedari awal bertemu Langit, Alvaro tidak bisa berhenti memerhatikan laki-laki itu. Ia bertanya-tanya apa yang bisa membuat Lanitra sesuka itu padanya? Selain wajah tampannya, tentu saja.  "Langit, kenalin, ini Mas Alvaro, editor yang udah kayak abang aku sendiri. Mas Al, kenalin, ini Langit, owner Cielo Café sekaligus orang yang nyiptain cinammon cheesecake favorit aku." Lanitra mengenalkan Langit dan Alvaro.  Kedua laki-laki itu pun berjabat tangan dan saling tersenyum ramah.  "Langit Dawana."  "Alvaro Segara."  Usai jabatan tangan mereka terlepas, Alvaro jadi yang pertama membuka obrolan dan mencairkan suasana di antara mereka, "Akhirnya saya bisa ketemu juga sama si pembuat cinammon cheesecake yang dipuja-puja Lanitra." Langit tertawa mendengar perkataan Alvaro.  "Memangnya Lanitra segila itu ya sama cinammon cheesecake di kafe ini?" "Segila itu." Alvaro mengangguk. "Dia bahkan pernah nggak bisa tidur malem-malem waktu kita lagi ke luar kota buat tour promosi bukunya dan itu karena dia ngidam cinammon cheesecake disini. Udah kayak ibu hamil, ngidam sesuatu malam-malam."  "Oh ya?" Senyum Langit melebar dan tatapannya beralih kepada Lanitra. Lanitra jadi sedikit salah tingkah karena ceritanya dibeberkan seperti itu oleh Alvaro. Terlebih lagi Langit jadi tersenyum menggoda padanya. Lanitra pun memukul pelan bahu Alvaro. "Mas Al jangan malu-maluin gitu dong," keluhnya. "Malu-maluin gimana? Kan Mas cuma cerita."  "Tapi ceritanya bikin aku malu."  Langit dan Alvaro tertawa bersama karena Lanitra.  "Padahal nggak apa-apa loh, kan aku jadi ngerasa tersanjung dengar cerita dari Alvaro. Nggak nyangka ternyata cinammon cheesecake aku bisa bikin kamu sesuka itu."  "Abisnya enak," ujar Lanitra.  "Padahal dulu kamu bilang nggak suka makanan apa pun yang berbau cinammon."  "Sekarang emang masih nggak suka kok, kecuali cinammon cheesecake Cielo. Itu udah paling juara."  "Semoga kamu juga bisa suka sama menu baru yang mau aku cicipin, sebentar lagi diantar sama Rhea."  "Emang menu barunya apa?"  "Butterscotch gelato."  "Kamu yang bikin sendiri?"  "Iya. Makanya kemarin aku sempat sibuk, soalnya lagi nyempurnain resepnya."  Lanitra berdecak kagum. "Kenapa kamu jago masak banget sih, Langit? Aku jadi iri." Alvaro yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka pun hanya bisa tersenyum sembari memerhatikan kedua orang itu secara bergantian. Bagaimana wajah Lanitra yang berseri-seri sejak awal dirinya melihat Langit, senyuman Langit yang selalu tertuju pada Lanitra, dan bagaimana keduanya mengobrol seperti sudah sangat dekat membuat Alvaro merasakan kalau ada sesuatu yang melibatkan rasa terjadi di antara mereka. So this is how it feels to be a third wheel, pikirnya. And what's making it hurts, I become the third wheel of someone whom I secretly love. Tidak lama kemudian, seorang waiter kafe yang disebut Langit namanya sebagai Rhea datang membawakan dua gelas butterscotch gelato yang dimaksud.  "Enjoy ya Kak Lanitra, semoga suka," perempuan berambut panjang ikal itu berkata pada Lanitra selagi dirinya menaruh gelas di atas meja. "Soalnya Mas Langit semangat banget mau Kak Lanitra nyobain ini." Lanitra membalas dengan memberikan sebuah cengiran. "Thank you, Rhea. Pasti suka kok kayaknya, kelihatannya aja udah yummy." Rhea hanya tersenyum, ia pun tersenyum sopan pula pada Alvaro sebelum berlalu pergi, yang dibalas laki-laki itu hanya dengan sebuah anggukan sopan. Diam-diam Alvaro menghela napas karena melihat interaksi Lanitra dan Rhea tadi membuatnya sadar kalau Lanitra bahkan sudah akrab dengan karyawannya Langit. Sudah sedekat itukah mereka?   "Ayo dong dicobain, jangan dilihat aja. Nanti review-nya jujur aja enak atau enggak."  Baik Lanitra maupun Alvaro segera mengambil sendok dan mencoba butterscotch gelato yang sudah terhidang di hadapan mereka, sesuai permintaan Langit.   Dari detik pertama gelato tersebut masuk ke mulutnya, Alvaro langsung merasakan perpaduan rasa yang sempurna. Benar-benar enak, ia harus mengakui. Perasaan yang sama pun tergambar jelas di wajah Lanitra.   "Ih, Langit, ini enak banget!" Serunya semangat. "Sumpah enak banget, nggak boong! Rasanya manis, tapi ada gurihnya, terus ada tekstur crunchy juga dari crumbles gula ya? Enakkkk pokoknya, iya kan Mas?"  Alvaro mengangguk setuju. Tidak bisa juga berbohong karena memang apa yang dikatakan Lanitra benar. "Iya, ini enak banget."  "Well, glad to hear that," ujar Langit senang. "Berarti besok udah bisa launching."  "Beneran ya, Langit, kamu tuh hebat banget bisa bikin sesuatu yang sekali langsung bisa buat orang jatuh cinta."  "Kamu pintar banget memuji ya, Lanitra. Aku jadi pengin ngasih kamu butterscotch gelato-nya buat dibawa pulang."  "Wah, aku nggak akan nolak tuh." Lanitra terkekeh.  Alvaro mengacak-acak rambut Lanitra gemas. "Emang nggak pernah bisa nolak ya kalau dikasih makanan gratis sama orang. Dasar."  "Ya iyalah Mas Al, rezeki mana boleh ditolak," balas Lanitra santai.   "Langit, kalau kamu kelamaan berteman sama Lanitra nanti kafe kamu lama-lama bisa bangkrut," canda Alvaro.  Langit tertawa, lalu tersenyum menunjukkan lesung pipinya sembari menatap Lanitra dengan tatapan yang bisa diartikan Alvaro sebagai tatapan mendamba.   "Nggak apa-apa kok, asal Lanitra senang," katanya.  Alvaro sampai harus mengalihkan pandangan karena apa yang baru saja dia lihat membuat hatinya tidak nyaman.  Lanitra sendiri kelihatannya salah tingkah sehingga perempuan itu hanya bisa terkekeh canggung. Lalu tiba-tiba saja ia berdiri. "I need to pee. Aku ke toilet dulu ya."  Setelahnya, Lanitra buru-buru pergi menuju toilet, meninggalkan Langit dan Alvaro berdua.  Sepeninggalnya Lanitra, kedua laki-laki itu bisa merasakan perubahan aura yang terjadi di antara mereka. Rasa canggung tidak bisa dielakkan datang begitu saja. Selama beberapa saat hanya hening yang terjadi. Langit sibuk menatap ke sekeliling, sementara Alvaro sibuk mengetuk-ngetukkan jemari pada meja kayu di depannya.  Suasana cair yang sebelumnya ada karena kehadiran Lanitra, seolah beku begitu saja ketika perempuan itu sudah pergi.  Hingga pada akhirnya, Alvaro yang kembali membuka suara pertama kali.  "You know what? It's really easy to make her happy," ujar Alvaro.  Langit memberikan perhatiannya pada Alvaro, tertarik akan apa yang dikatakan laki-laki itu.  "Dia bisa bahagia cuma karena hal-hal kecil dan sepele, bahkan sesepele ngeliat lampu lalu lintas berubah dari merah ke hijau, atau karena dapat promo gratis ongkir di aplikasi belanja online."  Senyum kecil terukir di bibir Langit. "She is very interesting."  "I know." Alvaro mengangguk setuju. "Tapi kamu juga harus tau, just like how she can get happy easily, she also can get sad easily because she is an overthinker."  "Okay, I understand," ujar Langit. "But why are you telling me this?"  "Saya udah kenal Lanitra selama lima tahun dan dari cara dia cerita tentang kamu dan bersikap di depan kamu, saya bisa menyimpulkan kalau she really adores you. Dan mungkin kamu juga merasakan hal yang sama ke dia meskipun saya nggak benar-benar tau perasaan kamu gimana."  "Well, I do adore her too."  "But not as much as the way she does to you, I think?"  Senyuman Langit luntur dan laki-laki itu pun memasang wajah datar, membuat Alvaro sadar kalau perkataannya sudah menyinggung Langit.  "Sorry, saya nggak bermaksud bikin kamu tersinggung dengan ngomong kayak gini. Her happiness matters to me and for now, you are one of the reason why she's happy. Saya cuma nggak mau pada akhirnya fakta itu justru berbalik dan kamu malah bikin dia sedih."  "Kenapa saya harus bikin dia sedih?"  "Saya takut kamu cuma main-main sama Lanitra."  Hening selama beberapa detik.  Kemudian Langit mendengus tidak terima dan menggelengkan kepala. Ia menatap Alvaro tajam. "Maaf Alvaro, kamu nggak tau apa-apa soal perasaan saya dan kamu juga nggak tau saya orangnya gimana," katanya dengan nada dingin. "Saya nggak pernah main-main sama perasaan perempuan, karena saya tegas sama perasaan saya sendiri. Jadi kamu nggak perlu khawatir. Saya bukan tipe orang yang mau buang-buang waktu dengan mainin perasaan perempuan."  Alvaro mengangguk. "Okay, nice to hear that. Saya cuma khawatir sama Lanitra, nggak maksud apa-apa. Maaf kalau sudah buat kamu tersinggung."  Senyuman ramah Langit benar-benar sudah hilang digantikan oleh raut wajah datar dan dingin yang sarat akan ketidaksukaan.   "You play a very good brother's role for her, don't you?" ujar Langit sembari menyeringai kecil pada Alvaro. Seringaian Langit itu membuat kening Alvaro berkerut dan ia merasa tidak nyaman. Ia tidak mengatakan apa-apa sehingga Langit melanjutkan, "But do you really think of her as your sister or you secretly want something more?" Belum sempat Alvaro memberikan respon, Lanitra sudah keburu kembali. "Aku lama nggak ya? Toiletnya lumayan antri tadi." Kehadiran Lanitra membuat Alvaro dan Langit mengeluarkan senyum, mengenyahkan ketegangan yang sebelumnya terjadi di antara mereka agar tidak menimbulkan tanya di dalam kepala perempuan itu.  Namun, meskipun berlagak biasa saja, Alvaro mengingat seringaian Langit sebelumnya dan ia merasa janggal. Insting Alvaro mengatakan, Langit tidaklah seindah kelihatannya. Dan ia pun menjadi ragu apakah laki-laki ini baik atau tidak untuk Lanitra.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD