4. Cielo

3294 Words
Hari ini, Lanitra bangun pagi-pagi sekali. Berhubung suasana hatinya sedang sangat bagus, ia pun memutuskan untuk jalan pagi. Seperti biasa, ia mengenakan setelan jalan paginya yang hanya berupa legging hitam dan hoodie abu-abu yang tutup kepalanya ia gunakan dan talinya ia ikatkan di bawah dagu sehingga yang terlihat dari kapalanya hanya wajah saja. Sebenarnya, Lanitra sendiri bukanlah tipikal orang yang suka olahraga di pagi hari. Dibanding pergi ke gym atau melakukan work out yang dipandu oleh video dari Youtube, Lanitra lebih memilih untuk tiduran di kamar sambil nonton acara gosip. Sangat berbeda sekali dengan Sierra yang hobi mengikuti berbagai macam kelas olahraga, mulai dari yoga hingga pilates. Meskipun begitu, untuk menjaga tubuhnya agar tetap fit, Lanitra rajin melakukan olahraga lain setiap beberapa hari sekali. Olahraga yang mudah dilakukan, tidak akan menyebabkan sakit di sekujur tubuh sebagai after effect, dan sangat disukainya; jalan kaki. Tidak tahu kenapa, Lanitra senang sekali jalan kaki. Entah itu untuk pergi ke suatu tempat atau untuk sekedar refreshing dan cari angin. Bahkan jika sedang suntuk dan butuh ide untuk menggarap novelnya, Lanitra akan jalan kaki sendirian tanpa arah tujuan, hanya mengikuti kemana kakinya melangkah. Dan lewat hobi blusukan-nya itu, ia jadi menemukan beberapa tempat yang mungkin tidak akan bisa ditemukannya jika berjalan-jalan dengan kendaraan. Cielo Café adalah salah satu tempat yang secara tidak sengaja ditemukan oleh Lanitra ketika dirinya sedang jalan-jalan tanpa arah tujuan. Dan Lanitra sangat bersyukur bisa menemukan kafe tersebut yang letaknya tidak terlalu jauh dari kompleks apartemennya , bahkan jika ditempuh dengan jalan kaki. Lanitra tidak tahu sudah berapa jauh ia berjalan. Ia baru memutuskan untuk kembali ke apartemennya lagi ketika merasa jalanan mulai ramai dan matahari mulai bersinar terik. Entah sudah jam berapa, Lanitra tidak tahu, sebab dirinya tidak memakai jam tangan. Menurut perkiraannya, hari sudah hampir memasuki jam delapan pagi. Di jalan pulang, Lanitra memutuskan untuk mengambil rute yang melewati Cielo Café. Sebab dirinya ingin membeli bubur ayam favoritnya yang memang tempatnya searah dengan kafe itu. Sama sekali tidak ada niatan bagi Lanitra melewati Cielo Café untuk bertemu  Langit. Lanitra sendiri tahu, masih sepagi ini, Cielo Café belum buka. Bahkan mungkin, belum ada satu pun pegawai yang datang. Hanya saja, ketika Lanitra pada akhirnya sampai di depan Cielo Café, ia sukses dibuat terkejut karena melihat Langit disana. Laki-laki itu sedang berjongkok di pelataran parkir kafe, sibuk memberi makan beberapa ekor kucing. Tanpa sadar Lanitra jadi menghentikan langkah dan memerhatikan Langit dengan kucing-kucing itu. Padahal, jika sadar, Lanitra pasti memilih untuk segera kabur sebelum Langit melihatnya. Ya, walaupun mereka sudah saling mengenal secara resmi sejak tiga hari lalu dan perkenalan mereka pun berjalan dengan baik (bahkan sampai membuat suasana hati Lanitra terlampau bagus selama beberapa hari ini dan membuatnya tidak jadi marah-marah pada Sierra), tetap saja Lanitra tidak ingin bertemu Langit saat dirinya sedang berpenampilan tidak oke dan berkeringat seperti sekarang ini. Namun Lanitra tetap berhenti, karena tidak bisa melewatkan pemandangan Langit yang sedang memberi makan stray cats. Walaupun ini bukan pertama kali bagi Lanitra melihatnya, karena memang Langit sering memberi makan kucing-kucing itu. But no matter how many times she had seen it, it will always warm her heart to see it all over again. Lanitra sendiri bukan seorang pecinta kucing karena dirinya alergi terhadap bulu hewan tersebut. Namun, ia selalu punya soft spot terhadap orang-orang yang peduli terhadap kucing liar. Dan Langit adalah salah satu orang yang begitu. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Lanitra naksir Langit. Langit yang sedang memberi makan kucing tidak kalah kerennya dari Langit yang sedang bermain gitar. Tapi memang Langit selalu keren dan semenawan itu, Lanitra mengakui. Jujur juga, itu salah satu alasan kenapa Lanitra naksir Langit sih. Lanitra tidak munafik. Yang pertama dilihatnya dari lawan jenis adalah penampilan, karena memang itulah hal pertama yang bisa dilihatnya dari seseorang kan? Lagipula, Lanitra juga kan perempuan normal yang suka lelaki tampan. Bahkan saat SMA, ia pernah menjadi penggemar berat Super Junior, boy group terkenal dari Korea Selatan. So, how can she not like Langit? Di saat laki-laki itu sendiri terlihat seperti adik kandungnya Donghae Super Junior? "Lanitra?" Lanitra sedikit tersentak ketika Langit tiba-tiba mendongak dan langsung menatap lurus padanya. Aduh, Lanitra jadi menyesal karena tidak sadar terlalu lama memerhatikan Langit sampai tertangkap basah begini. Langit bangkit berdiri dan tersenyum pada Lanitra. Karena sudah ketahuan, tidak mungkin Lanitra pergi begitu saja. Mau tidak mau, ia pun berjalan menghampiri Langit. "Halo, Langit." Lanitra menyapa Langit setelah sampai di hadapannya, namun ia menjaga jarak sedikit jauh dari kucing-kucing yang tadi diberi makan oleh laki-laki itu karena tidak ingin alerginya kambuh dan membuatnya bersin-bersin. Padahal semua kucing itu lucu dan Lanitra ingin sekali menggendongnya. "Kamu ngapain disini pagi-pagi?" tanya Langit yang keheranan sekaligus excited. "Saya habis jalan pagi, tapi ini udah mau balik. Sengaja lewat sini soalnya mau beli bubur ayam di depan, eh malah lihat kamu." "Jalan pagi? Tempat tinggal kamu di sekitar sini dong?" Lanitra mengangguk. Ia menunjuk sebuah gedung apartemen yang kelihatan jelas dari tempat mereka berdiri karena memang lokasinya dekat. "Saya tinggal disana." "Ah, I see." Langit mengangguk paham. "Pantas aja kamu sering ke Cielo, ternyata emang tempat tinggal kamu dekat. Kemarin saya nggak nanya sih pas kamu mau pulang, nggak perhatian banget ya jadi laki-laki?" Lanitra tertawa kecil karena candaan Langit itu. Tapi memang benar sih, di obrolan mereka tiga hari yang lalu, mereka hanya membahas hal-hal umum seperti selera musik, film, buku, dan makanan terutama cinammon cheesecake yang menjadi pengingat Langit pada Lanitra. Hal pribadi yang mereka ketahui tentang diri masing-masing hanyalah umur, dan ternyata Langit lebih tua satu tahun daripada Lanitra. Hanya sebatas itu, selayaknya seperti orang-orang yang baru kenal. "Kamu ngapain pagi-pagi ke Cielo?" tanya Lanitra sembari melirik ke sekitar mereka yang masih sepi, hanya ada satu mobil putih yang terparkir di dekat mereka yang Lanitra yakin sekali adalah mobilnya Langit, lalu ia melirik kucing-kucing yang masih memakan dry food pemberian Langit dengan lahap. "Jangan bilang cuma mau ngasih makan kucing?" "Enggak kok. Ini kebetulan aja saya ngelihat mereka pas baru sampe, makanya saya kasih makan. Saya kesini pagi-pagi soalnya mau buat cinammon cheesecake." Mendengar dessert favoritnya disebutkan, Lanitra jadi tertarik. "Cinammon cheesecake? Jadi, selama ini kamu selalu bikin cinammon cheesecake di Cielo sendiri?" "Nggak juga sih. Seringnya pegawai saya yang bikin, saya bikinnya kalau lagi pengin aja." "Ohhh, kirain." "Kamu mau lihat?" "Lihat kamu bikin cinammon cheesecake?" Langit mengangguk. "Boleh?" Kali ini Langit tertawa karena pertanyaan Lanitra dan ekspresi polosnya ketika menanyakan itu. "Kalau nggak boleh nggak akan saya tawarin dong." "Ya...iya sih." Lanitra jadi canggung sendiri karena sadar pertanyaan tadi adalah pertanyaan bodoh. "Jadi gimana? Mau?" Kepala Lanitra terangguk. Mana mungkin kan ia menolak tawaran menonton Langit memasak cinammon cheesecake favoritnya? "Yaudah, ayo ke dalam." Langit memberikan gestur bagi Lanitra untuk menuju ke dalam Cielo Café. Tetapi, sebelum Langit sendiri berjalan, ia terlebih dahulu mengelus kucing yang diberinya makan tadi satu per satu. "Pus, pus, habisin mamamnya ya. Dadahhh." Awwww, that's so cute. Teriak Lanitra dalam hati. Kenapa Langit bisa menggemaskan begitu sih? Kalau saja boleh dan bisa, Lanitra pasti sudah mengabadikan momen menggemaskan dalam bentuk foto. Tapi tentu ia tidak bisa melakukan itu. Memangnya ia mau memalukan diri sendiri? "Oh ya, Lanitra." Belum lagi melangkah, Langit kembali menoleh pada Lanitra. Kali ini ada senyuman geli yang ditunjukkannya. "Kamu imut banget pakai tutup hoodie begitu, jadi kelihatan chubby." Setelah mengatakannya, Langit berbalik dan berjalan terlebih dahulu menuju Cielo Café. Sementara Lanitra jadi tersadar akan penampilannya sekarang yang masih memakai setelan jalan pagi. Wajah Lanitra jadi menghangat dan ia mengutuki dirinya sendiri karena pasti terlihat seperti pentol bakso selama mengobrol dengan Langit tadi. Seraya berjalan mengikuti Langit, Lanitra melepaskan ikatan tali penutup kepala hoodie-nya, membuat rambutnya yang digelung jadi kelihatan. Lalu, tanpa sengaja Lanitra menyentuh lehernya yang ternyata masih basah oleh keringat. Saat itu juga Lanitra jadi sadar lagi kalau dia belum mandi! *** Lanitra tahu kalau dirinya masih menyukai Langit. Terlebih lagi saat dirinya mendapat kesempatan untuk pada akhirnya berkenalan dengan laki-laki itu dan bisa melihat sisi lain dari Langit Dawana yang sebelum ini tidak pernah dilihatnya. Dan Lanitra pun tahu dengan pengakuan itu, dirinya telah menjadi seseorang yang menjilat ludah sendiri. Tapi yasudah, mau bagaimana lagi? Berhenti menyukai Langit ternyata tidak semudah itu. Lanitra bahkan sudah tidak mau memikirkan apakah Langit betulan sudah punya pacar atau belum. Itu urusan belakangan. Sebenarnya Lanitra sudah menyadari kegoyahan perasaannya ini sejak beberapa malam yang lalu ketika tiba-tiba saja Langit bisa mengingatnya. He remembered her as the one who fell in love with his cinammon cheesecake and that's totally so freakin' true. Ada perasaan senang yang membuncah di d**a Lanitra ketika Langit berhasil mengingatnya. Dan karena itu, kecanggungan antara dirinya dan Langit jadi berkurang. Walau malam itu tidak ada obrolan yang spesial antara mereka berdua, namun Lanitra jadi tahu kalau Langit adalah seseorang yang sangat humble. Langit juga seorang pencerita sekaligus pendengar yang baik. Laki-laki itu pun sepertinya tahu kalau Lanitra masih merasa kaku mengobrol dengannya sehingga sebisa mungkin Langit membuat suasana di antara mereka mencair dan terasa lebih nyaman. Karena usaha Langit itu, Lanitra jadi melupakan kepanikannya tentang Langit dan n****+ Cielo. Bahkan rasa kesalnya pada Sierra hilang begitu saja karena malam itu Lanitra merasa senang. Bahkan rasa senang itu bertahan hingga beberapa hari berikutnya. Jika Langit bisa membuat Lanitra merasa sesenang ini karena berkenalan dengannya, maka jelas sekali kalau Lanitra memang masih sesuka itu padanya. Dan sekarang, menonton Langit yang terlihat seperti seorang juru masak profesional membuat Lanitra yakin kalau rasa sukanya jadi semakin bertambah, bukannya berkurang. Ya walaupun di dekat Langit masih membuatnya merasa canggung dan janggal karena Lanitra seolah merasa berhutang belum memberitahunya perihal n****+ Cielo. "Kamu tuh memang jago masak ya?" Lanitra bertanya setelah terpesona melihat kemampuan Langit memasak. Oh, bahkan ia sudah terpesona sedari awal Langit menggulung lengan sweater hitamnya hingga siku dan memakai apron sebelum mulai memasak. "Saya cuma suka masak dan coba resep-resep baru." Langit menjawab sembari sibuk mengaduk adonan cheesecake menggunakan whisk. Lanitra duduk sambil menopang dagu di meja, memerhatikan bagaimana tangan Langit yang berotot terlihat sangat santai dan luwes saat mengaduk adonan tersebut. He really seems so professional. Kalau Langit sedang bermain gitar dan memberi makan kucing keren, maka Langit yang sedang mengaduk adonan cheesecake menggunakan whisk bukan lagi bisa dibilang keren, melainkan luar biasa. "Kalau lulusan dari sekolah masak?" Langit menggelengkan kepala. "Enggak." "Pernah les masak?" "Enggak juga." "Tapi kamu kayak chef." Kali ini Langit tertawa dan memandang Lanitra geli. "Berarti keren?" "Ya...iya." Lanitra menjawab malu-malu dan kemudian cepat-cepat lanjut bicara agar tidak salah tingkah. "Saya yang perempuan jadi merasa kalah, habisnya saya cuma bisa masak makanan simpel buat dimakan sendiri sehari-hari. Boro-boro masak kue, masak makanan yang banyak rempahnya aja saya nggak bisa." "Tapi kamu jago nulis cerita yang buat banyak orang suka." "Kamu bisa buat kue yang bikin orang awalnya nggak suka jadi suka." "Everyone have their own specialty, Lanitra, including us." "Well, that's right." Lanitra mengangguk mengiyakan ucapan Langit. Lalu, Langit kembali sibuk dengan adonan kuenya. Mengaduk adonan itu, memanaskan oven, menyiapkan loyang, dan lain-lain. Lanitra tidak mengingat apa saja langkah-langkahnya karena tidak tertarik, lebih tertarik melihat yang memasak daripada apa yang dimasak. Dipikir-pikir lagi, ia tidak menyangka saat ini sedang berada di dapur Cielo Café dan menonton Langit membuat cinammon cheesecake. Kalau nanti ia bercerita tentang ini kepada Sierra, pasti perempuan itu akan sangat heboh dan menyuruh Lanitra untu berterima kasih kepadanya karena sudah memberikan jalan bagi Lanitra untuk merasakan ini semua. Tidak lupa juga, Sierra pun pasti akan bersikeras menyuruh Lanitra segera berterima kasih kepada Langit perihal n****+ Cielo. Mengingat n****+ Cielo jadi membuat Lanitra meringis karena dirinya belum memiliki niat lagi untuk memberitahu Langit. Akan tetapi, Lanitra jadi bertanya-tanya, apa mungkin Langit tidak penasaran atau merasa curiga sama sekali terhadap korelasi antara seringnya Lanitra berkunjung ke Cielo Café dan novelnya yang berjudul Cielo? Padahal Langit setidaknya bisa menghubungkan benang merah tersebut, kan? Namun Langit sama sekali tidak pernah membahasnya, bahkan saat keduanya mengobrol tiga hari lalu dan hingga detik ini, mereka pun belum pernah membahas tentang n****+ Cielo. "Lanitra, kamu lapar nggak? Kamu kan jadi nggak jadi beli bubur ayam gara-gara saya ajak kesini." Pertanyaan itu membuat Lanitra tersadar dari pikirannya. Langit baru saja selesai memasukkan loyang cheesecake ke dalam oven. "Enggak kok." "Beneran?" "I-" Perut Lanitra berhasil mengkhianati ucapannya sendiri karena berbunyi tepat sebelum dirinya mengiyakan pertanyaan Langit. Bunyinya pun cukup keras sampai-sampai Langit mendengarnya. Laki-laki itu tidak bisa menahan geli, sementara Lanitra segera mengalihkan pandangan karena malu. Kenapa perutnya bisa kurang ajar di saat seperti ini sih?! "Bohong ternyata," ujar Langit menggoda. "Mau saya buatin tuna sandwich atau french toast? Kalau mau nunggu cheesecake masih agak lama." "Hmm...terserah kamu aja." "Yaudah saya buatin dua-duanya aja. Kebetulan saya juga belum sarapan." Lanitra memilih tidak menjawab karena terlalu malu. Langit pun kembali sibuk membuat hidangan yang tadi disebutkannya. Di tengah-tengah kesibukan Langit memasak, tiba-tiba saja pintu dapur terbuka dan seorang karyawan kafe yang telah memakai seragamnya masuk. Sepertinya sudah ada beberapa karyawan lain yang datang, padahal ketika mereka baru datang tadi hanya ada seorang karyawan yang bertugas bersih-bersih saja yang sampai. "Pagi Mas Langit, rajin banget udah datang." Karyawan itu menyapa Langit dengan ramah. Langit tersenyum. "Pagi, Rhea. Saya lagi kepengin masak." "Ohh, begitu." Perempuan yang dipanggil Sarah itu mengangguk-nganggukkan kepala. Lalu, ia sibuk membuka kulkas besar yang ada di dapur dan mengeluarkan berbagai macam jenis bahan makanan. Lalu, tak sengaja Rhea melirik ke dalam oven. "Bikin cheesecake, Mas?" "Iya, Rhea. Buat tamu saya," jawab Langit seraya mengedikkan dagu pada Lanitra yang masih duduk manis di tempatnya. Rhea jadi menoleh ke arah Lanitra. Begitu bertatapan, keduanya jadi sama-sama terkejut. Jika Rhea terkejut karena excited, maka sebaliknya, Lanitra terkejut karena tidak excited melihat wajah Rhe yang ternyata adalah karyawan yang beberapa minggu lalu melayaninya dan ditanyainya tentang keberadaan Langit. Lanitra hendak memberikan kode kepada Rhea lewat matanya dan gelengan kecil kepalanya supaya Rhea tidak mengatakan apa-apa, namun terlambat- "Loh, Kakak yang waktu itu nyariin Mas Langit kan?" Sebelah alis Langit terangkat mendengarnya. Langit yang semula hendak membalik roti di teflon pun jadi berhenti bergerak dan menatap Lanitra serta Rhea secara bergantian. "Nyariin saya?" tanya Langit pada Rhea. "Kapan?" "Udah lumayan lama sih, Mas, mungkin dua mingguan yang lalu? Waktu saya tugas gantiin Luna di kasir dan Mas nggak datang karena lagi ngejalanin dare dari anak-anak buat nge-date sama orang dari Tinder," jelas Rhea dengan sangat lancar dan ceria. Sementara Lanitra sudah mematung di tempatnya. Terlebih lagi ketika Langit beralih untuk menatapnya dengan penuh tanya, rasanya Lanitra ingin melakukan teleportasi ke antah berantah. "Lanitra...itu beneran?" Lanitra hanya bisa menghela napas dalam dan mengangguk pasrah, tidak bisa mengelak lagi. *** Sepuluh menit kemudian, Lanitra dan Langit sudah duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di Cielo Café, ditemani oleh dua gelas kopi hangat serta french toast dan tuna sandwich yang masing-masing sudah dipotong menjadi dua bagian. Namun, makanan dan minuman mereka belum tersentuh sama sekali. Lanitra hanya menggenggam gelas kopinya dengan kedua tangan sembari memilih melihat ke arah lain kecuali Langit yang ada di hadapannya. Sebaliknya, Langit justru sedari awal mereka duduk sudah memberikan fokus pandangannya kepada Lanitra seorang. Saat ini jelas saja Lanitra lebih tertarik untuk memerhatikan suasana kafe yang sepi atau karyawan yang sedang sibuk bersiap-siap sebelum kafe di buka, karena jika tatapannya tertuju pada Langit, itu hanya akan membuat jantungnya semakin berdegup kencang karena gugup dan otaknya semakin beku karena tidak bisa merangkai kata-kata yang harus dikatakannya kepada laki-laki itu. Ini semua karena Rhea yang telah memberitahu tentang Lanitra yang mencari Langit beberapa minggu lalu. Ya, walaupun Lanitra juga tidak bisa menyalahkan perempuan itu karena memang yang dilakukannya adalah suatu hal yang wajar dan juga sebuah kebenaran. Hanya saja, yang dikatakan Rhea tadi sukses menimbulkan sebuah pertanyaan bagi Langit dan tentunya laki-laki itu butuh sebuah jawaban. Dan Lanitra rasanya tidak terlalu siap untuk memberi jawaban itu, meskipun ia tahu cepat atau lambat ini memang akan terjadi. "Jadi, kapan kamu mau cerita?" Langit akhirnya memecah keheningan di antara mereka setelah beberapa menit berlalu. Laki-laki itu menagih omongan Lanitra yang di dapur tadi memang sempat bilang akan menjelaskan semuanya pada Langit. "Saya penasaran." Lanitra tahu, dia sudah tidak bisa mundur lagi. Setelah diam-diam menarik napas, ia pun memberanikan diri untuk menatap Langit, tepat di mata laki-laki itu yang menunjukkan rasa penasaran. "Jadi, kenapa beberapa minggu yang lalu kamu cari saya?" Tanya Langit lagi. Lanitra menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya gugup sebelum menjawab dengan suara yang nyaris seperti bisikan, "To thank you." "To thank me?" Kepala Lanitra terangguk. "I wanna thank you, Langit, for being the inspiration of Cielo." There. She said it. Astaga, Lanitra tidak tahu harus menjelaskan seperti apa perasaannya sekarang ini. Jantungnya benar-benar sudah tidak karuan bahkan rasanya ia bisa mendengar sendiri debaran jantungnya karena terlalu keras. Terlebih lagi ketika melihat ekspresi speechless di wajah Langit, Lanitra jadi takut dan tidak bisa menebak apa yang akan dikatakan laki-laki itu selanjutnya. Kalau tahu rasanya bakal campur aduk begini, Lanitra jadi menyesali ide impulsifnya untuk berterima kasih pada Langit. Di saat mereka sudah saling mengenal begini saja rasanya masih terasa salah, bagaimana jika kemarin Lanitra memberitahunya di saat mereka belum mengenal? Membayangkannya saja sudah membuat Lanitra ngeri. Lanitra sampai tidak kuasa lagi melihat Langit dan memilih mengalihkan pandangan sembari mulai menyesap kopinya pelan-pelan. Ia pun membiarkan Langit larut dalam keterkejutannya. Jujur, keheningan di antara mereka ini membuat Lanitra takut. Berbagai macam skenario tidak enak sudah berkembang di dalam pikirannya, membayangkan kalau Langit merasa tidak suka, terganggu, dan bisa saja akan mengusir Lanitra dan tidak ingin menemuinya lagi karena menganggap Lanitra sebagai seorang penguntit aneh karena telah menjadikannya inspirasi untuk menulis sebuah n****+, terlepas dari fakta kalau memang lelaki itu menyukai novelnya. Langit baru bersuara setelah beberapa menit kemudian. "Saya...saya nggak tahu harus bilang apa." "Sorry..." gumam Lanitra. "Kenapa malah minta maaf?" "Karena saya udah jadiin kamu sebagai inspirasi saya tanpa minta izin dulu." "Lanitra..." "Hm?" "Look at me." Dengan gelas kopi yang masih lekat di bibirnya sehingga membuat separuh wajahnya tertutupi, Lanitra kembali melihat ke arah Langit. "It's such an honor for me to know this, so don't be sorry. You are not wrong," ujar Langit lembut, lalu tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Thank you, Lanitra." Kalau ada yang meleleh usai Langit mengatakannya, maka itu adalah hati seorang Lanitra Ellena. Semua pikiran buruknya tadi langsung sirna, digantikan oleh perasaan hangat yang entah namanya apa. Langit ternyata tidak marah. Dan Lanitra senang sekali. "O-okay," balas Lanitra gugup. Ia kembali meletakkan gelas kopinya dengan hati-hati, karena jika dirinya masih mengenggam gelas itu, tangannya pasti akan terlihat bergetar. Masih tersenyum, Langit menghela napas lega dan bersandar di kursinya. Tatapannya masih tertuju pada Lanitra. Laki-laki itu pun tertawa kecil dan menggelengkan kepala, seolah masih tidak bisa percaya. "Jujur, waktu saya beli n****+ Cielo, itu nggak sengaja karena pas di toko buku saya lihat judulnya sama kayak nama kafe saya, Lani," ujar Langit. "Saya nggak pernah baca karya kamu sebelumnya, jadi saya nggak punya ekspektasi apa-apa sama n****+ Cielo. Tapi ujungnya saya malah jatuh cinta sama n****+ kamu, dan itu bukan karena judulnya sama kayak nama kafe ini." "Terus karena apa?" "Cielo reminds me of myself. Makanya saya sempat merasa geer waktu datang ke meet and greet kamu dan dengar penjelasan kamu tentang inspirasi di balik n****+ Cielo. Saya pikir, mungkin nggak ya kafe yang dimaksud sama Lanitra Ellena adalah Cielo Café? Karena nama n****+ dan nama kafe ini sama, tapi saya mengesampingkan pikiran itu dan nggak mau kegeeran. Eh, tapi saya justru makin geer waktu tahu kamu ternyata sering kesini." "Tapi kenapa kamu nggak tanya langsung sama saya?" "Saya malu, nanti kamu mikir saya terlalu percaya diri." Lanitra baru bisa tertawa setelah mendengarnya. Lucu juga membayangkan isi kepala mereka setelah berkenalan beberapa hari ini. Lanitra yang takut sekaligus bingung bagaimana caranya berterima kasih Langit, sementara Langit bertanya-tanya apakah dirinya adalah inspirasi di balik n****+ Cielo tapi sekaligus tidak ingin terlalu percaya diri. Glad that they finally found a way to sort things out. Sekarang perasaan Lanitra sudah lega, rasanya seperti habis membayar hutang. Ini semua karena Rhea, kalau saja tadi perempuan itu tidak memberitahu Langit, mungkin Lanitra tidak akan pernah bisa memulai memberitahu Langit sendiri dan akan terus tetap merasa janggal di dekat laki-laki itu. Mungkin nanti Lanitra harus berterima kasih kepada Rhea dengan cara mentraktir, oh dan tentunya juga meminta maaf karena telah menyalahkan perempuan itu sebelumnya. "Terima kasih banyak ya, Langit, karena sudah jadi inspirasi saya dan karena kamu nggak marah atau pun merasa terganggu juga saat tahu ini. Thank you so much, I really mean it." "Saya juga harus bilang terima kasih sama kamu karena sudah mau menjadikan saya sebagai inspirasi. Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, ini benar-benar sebuah kehormatan bagi saya. Saya senang bisa jadi inspirasi kamu dan senang juga karena ini, saya jadi bisa kenal sama kamu." "Well, saya juga senang bisa kenal sama kamu," ujar Lanitra dengan wajah yang sudah menghangat. Kemudian, tanpa disangka-sangka Langit mengulurkan tangannya pada Lanitra. Lewat ekspresinya, Langit menyuruh Lanitra untuk menjabat tangannya. Dan Lanitra pun menjabat tangan Langit, membiarkan tangan hangat laki-laki itu menggenggam tangannya yang lebih mungil. "Mulai sekarang kita berteman, oke?" Mana mungkin Lanitra menolak, kan? Maka, ia pun menganggukkan kepala, mengiyakan permintaan Langit untuk mengubah status mereka yang semula hanya sebatas kenalan, menjadi teman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD