Satu jam sudah berlalu sejak meet and greet antara Lanitra dan para penggemarnya selesai dilaksanakan. Namun, meskipun semua sudah selesai, Lanitra masih mengalami shock hingga menyebabkan jantungnya berdebar-debar tidak karuan. Dan semua itu disebabkan oleh seseorang yang di luar ekspektasi, hadir dalam meet and greet tadi.
Lanitra masih ingat dengan jelas interaksi mereka. Bodohnya Lanitra, ia benar-benar tidak menyadari bahwa Langit menjadi salah seorang yang mengantri untuk mendapatkan tanda tangannya. Ia baru sadar ketika laki-laki itu sudah ada di hadapannya dan tersenyum.
"Halo, Lanitra Ellena. Can I have your signature? I really like your story." Dia bilang begitu dengan senyum canggung yang tetap saja menawan.
Dan untuk sesaat Lanitra hanya melongo karena terkejut, otaknya pun kehilangan kemampuan untuk berpikir harus apa dan bagaimana. Semua karena nama Langit dan wajah laki-laki itu yang memenuhi pikirannya.
Keterkejutan Lanitra baru selesai ketika Langit berdeham dan membuatnya sadar kalau ia baru saja membuat dirinya terlihat sangat bodoh dan memalukan.
"Sorry," gumam Lanitra. Dengan cepat ia mengambil n****+ yang disodorkan oleh Langit untuk ditandangani. Tapi, sebelum menggoreskan spidol di tangannya ke atas lembar n****+ tersebut, ia terlebih dahulu menatap Langit dan menanyakan sesuatu yang sejujurnya ia sudah tahu jawabannya apa. "Nama kamu siapa?"
"Langit," jawab laki-laki itu. "Langit Dawana."
Langit Dawana.
Tanpa sadar Lanitra mengulang nama itu kembali di dalam benaknya. Nama lengkap Langit.
Kemudian, dengan tangan yang sebisa mungkin dibuat agar tidak terlihat gemetaran, Lanitra membubuhkan tanda tangan dan juga sebaris pesan yang memang selalu ia tulis di bawah tanda tangannya.
For Langit Dawana, thank you so much for enjoying this story. May you have a great day :) - Lanitra Ellena
Setelah selesai, Lanitra menyerahkan kembali n****+ itu kepada Langit. Ia menyunggingkan sebuah senyum sopan. Jika kepada pembaca lain yang datang Lanitra bisa bersikap sangat ramah, di depan Langit dirinya justru sangat kaku.
"Makasih ya udah datang," kata Lanitra.
Langit menggaruk belakang kepalanya karena canggung. "Saya bingung harus bilang apa," jawabnya jujur. "Ini pertama kalinya saya datang ke event begini. Dan itu semua karena saya suka banget sama n****+ Cielo sampai-sampai saya pengin ketemu langsung sama yang nulisnya dan minta tanda tangan."
Lanitra mengerjapkan mata beberapa kali. Ia terlalu speechless dengan kata-kata Langit. Rasanya seperti baru saja dapat sebuah kejutan yang sungguh tidak baik untuk kesehatan jantungnya.
"It's really nice to meet you, Lanitra." Langit melanjutkan. "You're my new favorite writer."
Shit. What the f**k?! Teriak Lanitra dalam hati. Padahal ia orangnya jarang sekali mengumpat, baik itu secara langsung maupun hanya di dalam pikiran. Namun, Langit berhasil membuatnya secara refleks. Bukan karena merasa terganggu atau tidak suka, tapi karena semuanya terasa terlalu tidak nyata dan mengejutkan.
"Sorry, kalau misalnya kata-kata saya bikin kamu canggung. Saya-"
"It's okay." Lanitra memotong penjelasan Langit setelah sebelumnya menarik napas dan membenahi ekspresinya. "Saya cuma...hmm...kaget. Habisnya selama ini event meet and greet dan book signing saya didominasi sama perempuan, jadi saya kaget aja...gitu. But, thank you so much, Langit. And nice to meet you too."
Kali ini Langit tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. Dan yang terakhir kali dilihat Lanitra adalah Langit yang menganggukkan kepala, kemudian berlalu pergi meninggalkan Lanitra yang wajahnya sudah bersemu.
Interaksi mereka tidak sampai sepuluh menit, tetapi efek yang diberikannya bertahan hingga berpuluh-puluh menit kemudian karena tidak bisa membuat Lanitra berhenti memikirkannya.
Yang paling dipikirkan oleh Lanitra dan menjadi highlight dalam otaknya saat ini adalah kenyataan kalau Langit sudah membaca n****+ Cielo yang basically, terinspirasi dari Langit sendiri. Lalu, jika memang Langit hadir di acara tadi dari awal hingga akhir, maka Langit juga mendengar penjelasan tentang inspirasi di balik n****+ Cielo.
Lanitra jadi panik sendiri, jangan-jangan Langit datang karena menyadari kalau kafe yang dimaksud oleh Lanitra dalam novelnya adalah Cielo dan karakter Cielo adalah Langit dalam versi fiksi. Jika memang kemungkinannya begitu, rasanya Lanitra tidak akan pernah sanggup lagi untuk menginjakkan kaki ke Cielo dan bertemu Langit disana.
Namun, Langit tadi sama sekali terlihat tidak mengenali Lanitra sebagai salah satu customer yang sering datang ke Cielo Café—sesuatu yang sesungguhnya membuat Lanitra sedikit kecewa. Kalau Langit tidak sadar Lanitra sering datang ke kafenya, maka tidak mungkin Langit bisa berpikiran kalau n****+ Cielo berhubungan dengannya, kan? Tetapi bagaimana kalau tadi Langit hanya pura-pura tidak tahu untuk melihat reaksi Lanitra?
Kemungkinan-kemungkinan itu benar-benar membuat kepala Lanitra pusing.
"Sierra, what should I do?" Lanitra yang baru selesai melamun, bertanya kepada Sierra yang duduk di sampingnya. Setelah acara selesai, Lanitra memang langsung mengajak Sierra untuk pergi dari lokasi acara. Bahkan mereka langsung pergi tanpa berpamitan lagi kepada Alvaro yang sempat mengajak mereka untuk makan malam bersama.
Di dalam mobil Sierra, Lanitra menceritakan segalanya. Kehadiran Langit yang tiba-tiba, interaksi mereka, hingga kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam kepalanya saat ini. Sierra mendengarkan dengan penuh semangat layaknya seorang anak kecil sedang mendengarkan cerita dongeng.
Hingga cerita Lanitra selesai dan ia pun juga sudah cukup melamun meratapi nasibnya cukup lama, keduanya masih berada di dalam mobil Sierra, belum beranjak kemana-mana.
Pertanyaan Lanitra tadi dijawab Sierra dengan memasang seat belt dan bersiap-siap untuk menjalankan mobil. Sebelum kakinya menginjak pedal gas, Sierra menjawab, "Cielo Café."
"Hah?"
"Kita ke Cielo Café sekarang."
"UDAH GILA YA?!" seru Lanitra, baru sadar dengan rencana yang ada di dalam kepala Sierra sekarang.
Sierra tidak menanggapi seruan Lanitra dan dengan santainya menjalankan mobil keluar dari pelataran parkir toko buku tempat acara meet and greet Lanitra tadi berlangsung. Satu seringai terukir di bibir perempuan itu.
"Don't you dare, Sierra." Lanitra mengingatkan.
"Apa sih, Lani?" Sierra mendengus. "Kita kan emang mau ke Cielo? Kamu sendiri loh yang tadi bilang kalau mau traktir aku."
"Tapi kan-"
"Jangan ingkar sama omongan sendiri deh. Aku paling benci sama orang yang suka nggak nepatin omongannya~"
Ah, sial. Kalau Sierra sudah berkata begitu, Lanitra jelas tidak bisa membantah lagi. Meskipun ia tahu kalau maksud dan tujuan Sierra membawanya ke Cielo Café saat ini bukan hanya untuk menagih traktiran, tetapi untuk menemui Langit dan mencari tahu sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalanya saat ini.
***
"Welcome to Cielo Café!"
Bukan Langit Dawana yang menyambut ketika Lanitra dan Sierra sampai di Cielo Café. Laki-laki itu tidak ada di meja kasir, dan tidak ada juga di sepenjuru ruangan sepanjang mata mereka memandang.
Kenyataan itu membuat Lanitra bisa sedikit bernapas lega. Jujur saja, ia sama sekali tidak siap jika harus bertemu dengan Langit sekarang. Laki-laki itu sudah mengenalinya sebagai Lanitra Ellena sang penulis n****+ Cielo yang disukainya. Dan jika laki-laki itu melihat Lanitra berada di sebuah kafe yang juga bernama Cielo, Langit pasti akan curiga atau justru berhasil mengkonfirmasi sesuatu.
"Kita duduk di lantai dua aja," kata Lanitra kepada Sierra sebelum mereka memesan makanan.
"Nggak mau, ah. Malas naik tangga, capek nih." Sierra menjawab dengan nada yang dibuat-buat kelelahan. Ia menunjuk meja yang berada persis di depan meja kasir, di samping ruangan staff, dan berada paling dekat dengan panggung yang biasanya menampilkan live music di malam hari. "Mau duduk disana."
Lanitra memutar bola mata jengah. Lalu, ia mengeluarkan kartu debitnya dan memberikannya kepada Sierra. "Pesan sana. Aku cuma mau cinammon cheesecake sama vanila latte."
Level pertemanan mereka memang sudah sampai ke tahap mengetahui PIN kartu debit masing-masing. Lanitra sih tidak masalah Sierra tahu PIN kartu debitnya, karena jelas isi rekening Sierra berkali-kali lipat lebih banyak dari rekeningnya sendiri. Harusnya Sierra yang merasa khawatir karena ada orang lain yang tahu akses ke rekeningnya yang punya nominal sangat besar. Namun, mereka sudah saling percaya dan Lanitra juga tidak akan pernah macam-macam atas apa yang bukan haknya meskipun ia punya kesempatan.
Dengan senang hati Sierra mengambil kartu tersebut, lalu berjalan menuju counter untuk memesan, sementara Lanitra berjalan duluan menuju tempat pilihan Sierra yang sungguh sangat strategis untuk melihat jika Langit muncul tiba-tiba.
Lanitra menghela napas sesaat setelah dirinya mendudukkan diri di kursi yang menghadap langsung ke panggung kecil. Jantungnya masih sangat berdebar-debar sekarang, dan ini pertama kalinya Lanitra merasa sangat gugup ketika datang ke Cielo Café.
Dirinya benar-benar tidak siap jika harus bertemu Langit. Tetapi, Sierra yang kurang ajar justru membawanya kemari. Bahkan ketika di mobil tadi, temannya itu sempat berkata, "Kamu harus bilang makasih ke Langit nanti. Kasih tahu kalau n****+ yang dia suka inspirasinya ya dari Cielo sama dia sendiri. Pasti dia tersanjung deh."
Mudah sekali Sierra bicara begitu. Padahal ada ungkapan jika ekspektasi seringkali tidak sejalan dengan realita. Maka dari itu, Lanitra tidak mau berekspektasi apa-apa jika Langit sampai tahu tentang latar belakang di balik n****+ Cielo. Karena kalau ekspektasinya justru tidak sesuai, yang ada Lanitra hanya akan kecewa.
Lanitra juga sebenarnya sudah tidak punya niatan lagi untuk memberitahu Langit. This morning, she said she would give up on him, didn't she? Tapi takdir malah membawanya ke situasi dimana pilihannya ada dua, yaitu Lanitra memberitahu Langit dan mengucapkan rasa terima kasihnya sebagai bentuk apresiasi atau Lanitra hanya diam sementara cepat atau lambat Langit bisa sadar sendiri.
"Aku tadi tanya ke mbak-mbak di kasir, katanya Langit ada."
Lanitra mengerang dalam hati mendengar perkataan Sierra ketika perempuan itu datang dan duduk tepat di hadapannya.
"Terus kenapa?!" tanya Lanitra nyaris ketus. Betulan sebal dengan Sierra.
"Dihh, kok ngegas?"
"Habisnya kamu ngapain nyari-nyari dia? Kita kan kesini cuma mau makan sebagai janji traktiran aku, bukan mau ketemu Langit."
"Jadi, nggak boleh nih nyariin Langit?"
"Iya lah."
"Cemburu?"
"Apaan sih, Sierra!"
Sierra terbahak. Senang melihat Lanitra sebal. Wajahnya bahkan sudah tertekuk masam.
"Santai aja dong, nggak usah tegang gitu."
Lanitra hanya memutar bola mata.
"Lagian kan kamu emang harus ketemu sama Langit. Ada misi yang belum terselesaikan."
"Kan aku udah bilang, aku nggak ada niat untuk ngasih tau dia lagi, Sierra!!!"
"Tapi kayaknya dia udah tahu tuh?"
"Selama nggak ada konfirmasi langsung dari aku, apa yang dia pikirin cuma berakhir jadi spekulasi, kan?"
"Ya, betul juga sih." Sierra membenarkan. "But, whatever it is, I already give you the first step."
"First step?"
"Kamu. Disini. Sekarang. That's the the first step I'm talking about."
Lanitra mengernyit bingung, ia ingin bertanya kepada Sierra apa maksud dari perkataannya. Namun, belum sempat sebuah pertanyaan keluar dari bibirnya, perhatian mereka berdua teralihkan oleh redupnya lampu di sepenjuru kafe, hanya menyisakan lampu paling terang yang menyinari panggung.
Tidak lama kemudian, ruangan staff terbuka. Dari sana, keluar seorang laki-laki yang Lanitra kenali sebagai penyanyi yang sering tampil di live music Cielo Café. Lalu, disusul seorang laki-laki lagi di belakangnya yang membawa gitar. Dan laki-laki itu adalah...Langit.
Secara tidak sengaja, yang pertama kali dilihat oleh Langit ketika baru keluar dari dalam ruangan itu adalah Lanitra. Keduanya berpandangan dan sama-sama terkejut atas kehadiran masing-masing.
Terlebih lagi Langit yang sepertinya tidak menyangka akan bertemu his so-called-new-favorite-writer di kafe miliknya, tidak beberapa lama setelah ia mendatangi meet and greet penulis tersebut.
Keterkejutan Langit hanya bertahan sebentar, sebab dirinya cepat sadar dan kemudian menyunggingkan senyum pada Lanitra yang diiringi sebuah anggukan kecil, sebelum dirinya naik ke panggung bersama penyanyi tadi. Lanitra membalas senyuman Langit dengan sopan.
Tukar senyum antara Lanitra dan Langit tentunya tidak luput dari perhatian Sierra. Perempuan itu pun bersiul-siul meledek, yang mana mengundang sebuah lirikan tajam dari Lanitra.
"Selamat malam semuanya. Ketemu lagi sama saya, Adrian." Laki-laki yang dikenali Lanitra sebagai penyanyi yang biasa tampil di Cielo Café menyapa semua yang ada di ruangan itu. "Well, hari ini seperti biasa, saya akan tampil menyumbangkan satu dua lagu untuk menghibur kalian. Dan spesialnya, malam ini ditemani sama bos kita, Mas Langit. Hope you guys enjoy our show! The first song is ILYSB by LANY."
Tepuk tangan meriah diberikan oleh semua pelanggan Cielo Café, termasuk Lanitra dan Sierra yang duduk paling dekat dengan panggung. Sementara di atas panggung, Adrian berdiri menghadap mikrofon dan di sebelahnya, Langit duduk di atas kursi sembari memeluk gitar yang sudah siap untuk dipetik.
Tidak lama kemudian, intro lagu ILYSB yang berasal dari alunan gitar Langit terdengar, lalu disusul dengan suara merdu Adrian yang menyanyikan lagu tersebut. Paduan antara permainan gitar Langit dan suara merdu Adrian menciptakan sebuah harmoni yang membuat pendengarnya hanyut menikmati penampilan mereka.
"Eh, aku baru ingat," ujar Sierra setelah setengah jalan penampilan berlalu. "Ini lagu favorit kamu, Lani."
Benar. Ini memang lagu favorit Lanitra. Sedari awal lagu dimulai, Lanitra pun sudah ikut bernyanyi di dalam hati.
Oh my heart hurts so good
How I love you babe
So bad...so bad...
Sementara pandangannya diam-diam selalu tertuju pada Langit yang sedang sibuk memetik gitar di depan. Padahal, ini bukan pertama kalinya Lanitra melihat Langit bermain gitar. Ia sudah melihatnya beberapa kali karena memang tidak jarang Langit ikut tampil dalam live music di Cielo Café. Bahkan, laki-laki itu juga pernah benar-benar bernyanyi satu lagu sendiri dan suara Langit pun tidak kalah merdu dari suara Adrian.
Namun, tidak peduli berapa kali sudah Lanitra melihatnya, melihat Langit bermain gitar tetap saja membuatnya suka. Mulai dari ekspresi serius Langit ketika memetik senar, rambutnya yang berjatuhan menutupi dahi karena menunduk, serta kakinya yang bergerak menepuk lantai mengikuti alunan melodi, selalu bisa membuat Lanitra terpesona.
Langit, gitar, dan sorot lampu yang menerangi panggung merupakan perpaduan yang sangat menawan dan menyenangkan untuk dilihat.
Kalau saja tidak ingat dengan deklarasinya tadi pagi yang sudah tidak mau menyukai Langit, Lanitra mungkin akan terus memandangi laki-laki itu hingga kedua matanya tidak berkedip lagi. Untungnya, Lanitra masih ingat dan ia pun sadar jika terlalu lama memandangi Langit, rasa sukanya justru bisa tumbuh lagi dan itu bukanlah sesuatu yang bagus. Lanitra tidak mau menjilat ludahnya sendiri.
"Langit ternyata keren." Sierra berkomentar usai Langit dan Adrian selesai membawakan lagu ILYSB. "Kamu harus bersyukur aku udah punya tunangan dan cinta banget sama tunangan aku itu. Kalau enggak, mungkin aku udah nikung Langit dari kamu."
"Iya, terserah kamu aja." Lanitra menanggapi dengan malas, tetapi di dalam hati ia setuju dengan komentar Sierra. Langit memang keren, no doubts on that.
Lagu kedua yang ditampilkan oleh Langit dan Adrian adalah Thinking Out Loud milik Ed Sheeran. Sama seperti lagu sebelumnya, mereka membawakan lagu itu dengan versi akustik.
Sebelum lagu kedua dimainkan, makanan yang dipesan oleh Lanitra dan Sierra sudah sampai sehingga mereka pun bisa menikmati penampilan live music tersebut sambil menyantap makanan masing-masing.
Hanya saja, Lanitra jadi tidak bisa tenang seiring dengan penampilan Langit dan Adrian yang akan segera berakhir. Kegugupannya jadi kembali lagi, sampai-sampai cinammon cheesecake yang disukainya jadi terasa hambar di lidah.
Berbanding terbalik dengan Lanitra, Sierra justru santai saja. Ia malah sangat menunggu penampilan Langit berakhir karena tahu bahwa laki-laki itu pasti akan mendatangi meja mereka setelahnya.
Tebakan Sierra pun benar sekali. Dan inilah first step yang dimaksud olehnya. Membawa Lanitra kemari agar ada interaksi lain yang akan terjadi antara Lanitra dan Langit. Terserah akhirnya seperti apa, yang penting mereka interaksi dulu, begitu pikir Sierra.
Tepat setelah lagu kedua selesai dibawakan dengan sempurna, Langit turun dari panggung dan berjalan menghampiri meja mereka. Lanitra dibuat hampir tersedak cheesecake karena melihat Langit berjalan lurus ke arahnya dengan sebuah senyum lebar yang sudah terukir di bibirnya.
"Lanitra?"
Di dalam hati Lanitra meringis, namun bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman manis.
"Halo," sapanya pada Langit.
"Hai." Langit balas menyapa. "Saya Langit, yang tadi datang ke event meet and greet kamu. Ingat kan?"
Lanitra mengangguk.
"It's really nice to meet you again, Lanitra. Saya nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi di kafe saya sekarang."
"Saya juga nggak nyangka...bisa ketemu kamu lagi disini."
Dari sudut matanya, Lanitra bisa melihat kalau Sierra berusaha keras untuk menahan tawa karena kebohongan yang baru saja diutarakan oleh Lanitra. Untungnya fokus Langit hanya tertuju pada Lanitra sehingga ia tidak menyadari keberadaan Sierra dan ekspresi menyebalkannya.
"Lanitra udah lama disini?"
"Nggak juga."
"Ah, I see."
"Iya."
"Kamu penggemarnya Lanitra ya?" Sierra yang sudah tidak tahan mendengar obrolan kaku antara Lanitra dan Langit pun jadi menimbrung mereka.
Langit menoleh pada Sierra dan tersenyum canggung. "Bisa dibilang begitu?"
"Kenalin, saya Sierra. Temannya Lanitra."
"Saya Langit."
"Kamu owner kafe ini?"
"Iya."
"Wah, kalau begitu kamu beruntung banget dong, Langit."
Lanitra segera memberikan Sierra tatapan curiga begitu mendengar apa yang diucapkan olehnya. Ia berusaha untuk memberitahu Sierra agar tidak bicara yang aneh-aneh lewat matanya, namun Sierra sama sekali tidak melihat ke arah Lanitra dan justru fokus pada Langit.
"Beruntung kenapa?" tanya Langit bingung.
"Soalnya Lanitra sering datang ke kafe ini. What a coincidence yah."
Perhatian Langit kembali lagipada Lanitra, membuat Lanitra jadi panik sendiri.
"Serius?"
"Hng..."
"Serius dong. Menu favoritnya cinammon cheesecake, itu signature dish disini kan? Masa kamu nggak pernah lihat Lanitra sih?"
Terima kasih kepada Sierra dan tindakan impulsifnya, Lanitra jadi ingin menghilangkan diri sekarang.
***
Setelah beberapa bulan belakangan naksir seorang Langit Dawana, tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran Lanitra bahwa akan ada saatnya mereka bisa duduk berhadapan di Cielo Café dan mengobrol berdua.
Padahal sudah jadi sesuatu yang wajar jika Lanitra membayangkan sesuatu yang menyenangkan terhadap orang yang disukainya, kan? Tetapi, Lanitra tidak pernah membayangkan apa-apa karena tidak ingin memiliki ekspektasi apa-apa pula. Too much expecting can make you disappointed, so don't expect anything, itu adalah prinsip Lanitra. Jadi, selama ini yang dibayangkan oleh Lanitra tentang Langit hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan n****+ Cielo. Tidak lebih.
Maka dari itu, Lanitra tidak tahu akan seperti apa dirinya jika harus berhadapan dengan situasi seperti sekarang ini, duduk berhadapan dengan Langit di Cielo Café sebagai dua orang yang baru saja berkenalan.
Jangan tanya Sierra kemana, karena perempuan itu sudah dengan sengaja meninggalkan Lanitra dengan alasan tiba-tiba tunangannya, Hansel, datang menjemput sehingga dengan sangat tidak enak hati Sierra pun harus pergi. Perempuan itu bahkan meninggalkan mobilnya dan menyuruh Lanitra untuk membawa pulang mobil itu nanti.
Yap, Sierra memang sangat kurang ajar. Ia sengaja pergi karena ingin membuat Lanitra tinggal berdua dengan Langit. Lanitra benar-benar ingin melayangkan protes dan marah-marah ke Sierra, tapi ia tidak bisa karena ada Langit yang memang sudah bergabung dengan mereka atas ajakan Sierra sedari awal laki-laki itu mendatangi meja mereka.
Lalu, begitulah, sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh Lanitra akhirnya terjadi.
"Rasanya saya masih nggak percaya kalau kamu sering datang ke Cielo. Masa saya nggak pernah sadar sih?"
Entah sudah berapa kali Langit mengatakan itu sejak Sierra memberitahunya kalau Lanitra adalah pelanggan setia Cielo Café. Langit terlihat sangat terkejut, tidak menyangka, sekaligus excited.
Sementara Lanitra tidak tahu harus merasa seperti apa karena mengetahui Langit yang tidak mengenalinya, padahal ia sudah berpuluh-puluh kali datang ke kafe ini. Mengecewakan sekali, bukan? Tapi ya mau bagaimana lagi.
"Wajar aja, Langit. Kan setiap hari yang datang kesini banyak. Lagipula, kamu juga baru tahu sama saya, jadi kalau selama ini kamu nggak kenal sama saya ya wajar...karena sebelumnya kita memang nggak kenal," jelas Lanitra.
"Iya sih, tapi saya cuma menyayangkan aja. Coba saya tahunya lebih awal, jadi saya bisa nodong tanda tangan pas kamu lagi kesini."
Lanitra hanya tertawa kecil. Meskipun sebenarnya di dalam hati ia sedang gugup setengah mati. Berhadapan dekat dengan Langit seperti ini entah kenapa membuatnya benar-benar gugup dan sebisa mungkin ia menutupinya. Kegugupan tersebut entah apa alasannya, mungkin karena Langit yang terlihat menawan dari dekat seperti ini, atau mungkin juga karena Lanitra takut Langit tiba-tiba sadar tentang sesuatu tentang n****+ Cielo.
Makanya sedari tadi Lanitra berusaha agar obrolan mereka tidak membahas perihal novelnya dan memilih untuk membahas tentang hal lain yang lebih umum seperti musik, makanan, hingga cuaca di luar.
"Tapi kamu pernah lihat saya nggak sih di Cielo? Apa kita pernah papasan atau saya pernah melayani kamu di kasir?"
"Hmm...beberapa kali sih saya pernah lihat kamu. Lupa juga pernah atau enggak, tapi mungkin pernah?"
Bohong sekali, Lanitra. Bohong!
"Makanya ya kamu kelihatan agak kaget gitu pas lihat saya di meet and greet tadi?"
"Iya...kurang lebih."
Langit berdecak. "Saya jadi gemas sama diri sendiri. Harusnya pas di meet and greet tadi juga saya bisa ngenalin kamu, tapi kayaknya saya emang payah banget menghapal muka orang."
"Not your fault. Bisa jadi juga kamu nggak ngenalin saya karena biasanya saya nggak berpenampilan begini kalau datang ke Cielo." Lanitra menunjuk penampilannya sendiri yang memang pada hari itu berpenampilan rapi dari ujung kaki sampai ujung kepala karena memang baru menghadiri sebuah acara.
"Emang biasanya gimana?"
"Ya lebih santai gitu. Nggak pakai dress, dandan, dan catok rambut segala macam kayak sekarang. Jadi, mungkin karena itu."
Langit tidak menjawab dan justru sibuk memerhatikan Lanitra. Bohong kalau Lanitra bilang dirinya tidak salah tingkah karena ditatap begitu oleh Langit, jelas dirinya salah tingkah sekali!!!
"Kenapa ngelihatin saya gitu? Ada yang salah?" Dengan canggung Lanitra bertanya, berharap Langit bisa berhenti memandanginya begitu agar kegugupannya tidak semakin bertambah.
"Saya lagi coba ngebayangin aja gimana kamu kalau lagi berpenampilan kasual, siapa tahu saya jadi bisa ingat sesuatu."
Lanitra tertawa canggung. "Emangnya kenapa sih kepengin banget inget? Jangan dipaksain lah kalau emang kamunya nggak ada bayangan."
Namun, Langit tidak bergerak sama sekali dan masih fokus memerhatikan Lanitra.
"Nggak, Lanitra, saya harus coba ingat biar saya puas. Soalnya ini momen langka karena penulis favorit saya ternyata sering datang ke kafe saya. Siapa tahu kan kalau ternyata kafe ini tempat bersejarah bagi kamu karena kamu pernah nulis atau dapat inspirasi di kafe ini dan-"
Jantung Lanitra langsung berdegup lebih kencang karena ucapan Langit. Terlebih lagi ketika laki-laki itu tidak melanjutkan ucapannya dan terlihat terkejut karena menyadari sesuatu.
Lanitra meringis, tidak menyangka jika secepat ini Langit akan tahu dengan sendirinya. Ia sudah hendak mengalihkan pandangan karena semakin gugup dan tidak tahu harus apa selain pergi dari sini. Iya, Lanitra memang sepayah itu. Hah dimana keberaniannya kemarin yang ingin menemui Langit dan memberitahu laki-laki itu tentang n****+ Cielo?
"Lanitra." Langit memanggilnya.
"Ya?"
"Cinammon cheesecake."
"Hah?"
"Cinammon cheesecake," ulang Langit lagi. Matanya tertuju pada piring cinammon cheesecake Lanitra yang isinya sudah hampir habis, lalu ketika menatap Lanitra lagi, Langit sudah tersenyum. "Saya ingat kamu, Lanitra. The one who fell in love with my cinammon cheesecake, right?"