BAB 9

1084 Words
Haru baru saja mendapatkan pesan singkat dari Mugi, gadis itu langsung keluar dari kamar, dan menuju ke lantai bawah. Ia sama sekali tak peduli pada Sora yang sedang mengerjakan tugasnya di ruang tengah, dirinya terus dan terus melangkah tanpa menatap kiri dan kanan. Tujuannya saat ini hanya berjumpa dengan Mugi, seseorang yang berhasil menggantikan Sora sebagai objek untuk dicintai. Yah ... bagi Haru, Mugi adalah Sora, dan jika ia kehilangan Mugi maka dirinya tak akan bisa lagi tenggelam dalam khayalan dan mengobati luka yang sudah ditorehkan oleh sang kakak. Sora yang melihat kelakuan adiknya yang aneh segera bangkit berdiri, secepatnya ia menghalangi langkah Haru yang ingin keluar. “Haru, ke mana kau akan pergi selarut ini?” Haru yang melihat sang kakak menghalangi jalannya segera berhenti. “Minggir, jangan menghalangiku!” Sora tak tinggal diam, ia mencengkeram pergelangan tangan adiknya. “Ke mana kau akan pergi selarut ini? Apa yang ingin kau lakukan, Haru.” “Lepaskan aku! Aku harus menemui seseorang, dan itu bukan urusanmu.” Sora yang mendapat jawaban seperti itu tidak menuruti Haru, ia malah mengunci pintu, lalu menyimpan kunci pada saku celananya. Pria itu kembali menatap, tangannya masih menggenggam tangan Haru. “Jangan keluar, kau seorang gadis, dan kau tak pantas keluar di jam seperti ini.” “Aku tak peduli, aku punya urusan yang lebih penting!” Haru menggigit tangan Sora, gadis itu kemudian menghela napasnya. “Lepaskan! Lepas!” Sora yang masih menahan tangan Haru sama sekali tak berniat melepaskannya, ia bahkan berhasil menahan rasa sakit, dan membiarkan tangannya berdarah. “Haru, ada apa denganmu? Apa yang lebih penting daripada mendengarkan kata-kata Kakakmu sendiri?” “Mugi! Dia lebih penting daripada kata-katamu.” Sora membelalakkan mata, tak menyangka dengan jawaban adiknya. “Lepaskan aku!” “Tidak!” “Aku mohon, lepaskan aku! Aku mohon!” Haru sampai menangis, tubuhnya bergetar hebat. “Kenapa dia menjadi lebih penting? Kau baru mengenalnya, dan kau tak harus melakukan perlawanan seperti ini!” “Dia lebih penting, karena dia bisa menggantikanmu! Jika Mugi tak ada, aku tak akan bisa melampiaskan semua rasa cintaku padamu!” Sora kaget, sebesar itu kah Haru mencintainya? Tetapi ... kenapa? “Lepaskan aku! Sora ... lepaskan aku sekarang!” Plak ... Satu tamparan mendarat dengan mulus pada pipi Haru, dan saat itu pula suasana menjadi sangat hening. Sora menatap tangan kanannya, sedangkan Haru memegang pipi kirinya. Gadis itu ... atau mungkin juga Sora ... mereka sama-sama tak menyangka jika hal seperti ini akan terjadi. “Haru, maafkan Kakak.” / “Aku membencimu!” Perkataan keduanya serentak disuarakan, dengan kalimat yang berbeda. Sora yang mendengar ucapan adiknya tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya termenung. Pria itu memerhatikan sang adik yang sudah menangis, tetapi sial ... dirinya sudah membuat satu kesalahan besar, dan hal itu jelas tak bisa ia hapus lagi. “Dengarkan Kakak, Haru. Jika kau melampiaskan semuanya pada Mugi, kau hanya akan melukainya. Apa kau ingin orang yang benar-benar menyayangimu terluka?” “Bagaimana denganmu, Sora? Apa Akane lebih penting? Apa kau tak ingin membuatnya terluka? Siapa yang lebih penting bagimu? Aku ... atau dia?” Sora diam, ia tak tahu harus menjawab seperti apa. Keduanya jelas sangat penting. Akane sebagai seorang kekasih, dan Haru sebagai adik yang teramat sangat ia sayangi. “Apa bedanya aku dan Mugi? Kami sama-sama mengobati luka, dan kami sama-sama memerlukan kehadiran satu sama lain.” Lagi dan lagi Sora harus kaget dengan apa yang Haru katakan. Hubungan timbal-balik? Apa yang sebenarnya sedang terjadi? “Berikan kuncinya, aku tak punya waktu!” Sora menatap adiknya, pria itu kemudian mendorong Haru hingga gadis itu terduduk. Ia segera maju, tanpa kata juga langsung mendorong Haru untuk berbaring. Haru kaget, apalagi saat Sora langsung menindih tubuhnya. Kedua tangan Haru berada di atas kepalanya, tangan Sora juga menahannya dengan begitu baik. “Haru, kenapa kau bisa mencintaiku?” Cuih ... Sora tak peduli, ia sama sekali tak merasa marah saat Haru meludahinya. “Apa alasanmu? Kita bersaudara, dan perasaan cinta yang seharusnya kita bentuk adalah antara adik dan kakaknya.” Haru menelan ludahnya, ia memalingkan wajahnya ke kanan. Kenapa ia malah gugup? Kenapa ia malah sulit untuk mengungkapkan perasaannya? “Katakan?” Sora mendekatkan wajahnya pada Haru, hanya berjarak beberapa senti, dan setelah itu ia bisa saja mencium bibir adiknya. Haru memberontak. “Lepaskan aku, aku tak punya waktu untuk bermain denganku.” “Ada apa, Haru? Seharusnya kau senang ... Kakak sedang mencoba membalas perasaanmu, Kakak sedang mencoba menjadi orang yang kau impikan.” “Lepas!” Haru berkeras. Sora langsung melumat bibir Haru, pria itu memejamkan mata. Ia ingin berhenti untuk melakukan hal seperti saat ini, tetapi ia juga tak ingin Haru terus dan terus melawannya. Jika bertindak sebagai seorang kakak sudah tak mempan bagi Haru, maka ia harus bertindak sebagai seorang pria b******n seperti saat ini. Pria itu membuang fakta jika Haru adalah adiknya, melakukan tindakan yang menodai harga diri adiknya sendiri. Haru kaget, ia tak mampu bergerak. Sedangkan bibir Sora masih melumat bibirnya, menggigitnya lembut, lalu memasukkan lidahnya ke dalam mulut. Ciuman yang menuntut bagi Haru, dan ia malah ketakutan dengan tindakan Sora. Tidak ... Bukan Sora yang seperti ini yang dirinya inginkan. Ia ingin Sora yang melakukannya dengan lembut dan penuh perasaan, ia ingin Sora yang selalu diperankan oleh Mugi. Sora yang pengertian ... Sora yang begitu lembut dan memperlakukannya dengan romantis. Ia tak ingin Sora yang agresif ... karena Haru tahu ... apa yang Sora lakukan, berlawanan dengan Sora yang sesungguhnya. Sora yang merasakan tubuh adiknya mendingin menghentikan ulahnya, ia menatap Haru. “Kenapa kau ketakutan? Beginilah dunia orang dewasa, beginilah seorang pria bertindak.” Cuih ... Haru yang melihat Sora lengah langsung mendorong pria itu, dan usahanya berhasil. Sora melepaskannya, pria itu juga menatapnya dengan tatapan aneh. Haru yang tak ingin membuang waktu segera menghampiri Sora, ia merogoh saku celana sang kakak, lalu menemukan kunci. Sora yang digeledah oleh sang adik tidak berbuat apa pun, ia hanya diam. Yang ada di pikirannya saat ini hanya satu lagi kesalahan yang membuat Haru takut padanya, dan entah apa yang akan terjadi setelah ini. Brak ... Setelah pintu ditutup dengan begitu kasar Sora baru tersadar, pria itu langsung berdiri, ia menuju ke arah jendela dan menatap keluar. Tidak berapa lama Sora melihat Haru yang berlari, di tengah gerimis yang sedikit demi sedikit menjadi hujan deras. “Apa yang sudah aku lakukan?” Sora masih terpaku pada sosok berambut panjang yang berlari keluar wilayah apartemen. “Aku baru saja melukai dan membuatnya ketakutan. Sekarang ... apa yang harus aku lakukan? Mengejarnya tetapi aku tak mampu, aku merasa malu, aku takut untuk melihatnya, dan aku takut mendengar ia mengatakan benci padaku.” Pria itu kemudian menghela napas, ia kembali berpikir. Beberapa saat berlalu, Sora akhirnya mengambil satu keputusan. Ia segera beranjak pergi, tidak lupa pula membawa payung. Dirinya harus menyusul sang adik, dirinya juga harus bicara dengan baik dan benar. Jika bukan dirinya, siapa lagi yang akan menghentikan semua hal gila ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD