Chapter 1 : Daratan Api

999 Words
Seorang anak laki-laki terbujur lemah di dalam genangan air, tubuhnya lemas tidak memiliki tenaga. Ia hanya bergeming, pemandangan sekitar yang dilihatnya ialah kegelapan mutlak. Napas anak itu begitu pelan, hatinya kosong, hampa setelah mengalami insiden mengerikan.  Anak ini adalah Karel, kedua orangtuanya tewas saat terjadi kebakaran di mansion mereka. Dan sekarang, Karel berada entah di mana. Karel bangun, berjalan perlahan menuju tempat kering. Walaupun sudah berendam cukup lama, tubuhnya masih hangat seperti sebelum terendam.  Saat ini, Karel tak tahu harus bagaimana selanjutnya, kehampaan sudah menguasai hatinya. Semangat hidup anak ini telah terkikis karena kejadian memilukan di mansion keluarganya. Apa salah mereka hingga harus mendapatkan kemalangan?  Bohong kalau Karel tidak marah, kebencian sudah menumpuk dalam hatinya. Namun, siapa penyebab kebakaran itu? Tidak ada yang tahu, terlebih sekarang ia sudah kehilangan semangat untuk tetap hidup.  Dalam kegelapan ini, terdengar oleh Karel suara helaan napas seseorang. Walau begitu, Karel masih bergeming tanpa ada niat bangun dari duduk. Semakin lama, helaan napas tersebut kian terdengar jelas, tetapi Karel benar-benar mengabaikannya.  Seberkas cahaya bergerak mendekat padanya, seketika itu Karel membuka mata dan menatap lekat-lekat cahaya tersebut. Sungguh tak disangka, seorang pria bertubuh kekar datang sambil menenteng lentera di tangan.  Karel bergeming, bersikap tenang menghadapi situasi. Akhirnya, pria tadi menyadari kehadiran Karel di sini. Dia mendekat, walau begitu, tatapan kosong Karel masihlah sama.  “Hei!” panggil pria itu, pelan. “Siapa kau?” Perlahan dia mendekat pada Karel.  “Karel Klaurius. Itu namaku,” jawab Karel dengan nada datar.  Si pria semakin bergerak mendekat, tetapi Karel sungguh tidak peduli. “Aku Vilas Dashner,” ucapnya sembari duduk di samping Karel.  Hening ....  Tidak ada di antara mereka yang mau memulai sebuah pembicaraan. Karel masih merasa kekosongan dalam hatinya, sehingga tak terlalu peduli pada sekitar maupun dirinya sendiri.  “Haah ....” Vilas menghela napas panjang. “Aku tidak akan menyakitimu, kau sepertinya baru saja mengalami hal mengerikan.”  “Hm ....” Karel menanggapi dengan singkat.  “Kenapa kau bisa di sini seorang diri?”  “Entahlah ..., aku tidak tahu.”  Vilas memiringkan kepala, mengamati raut wajah datar Karel. Tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, tetapi dia tersenyum kemudian berkata, “Bagaimana kalau kau ikut bersamaku?”  “Ikut denganmu?” Karel semakin menundukkan kepala. “Ke mana?”  “Klan Taira. Bukan sebuah Klan besar, tapi tempat itu jauh lebih baik daripada kau sendirian di sini.”  “Lalu, kenapa kau ke sini?”  “Itu ....” Vilas menggaruk kepala, tampak kesusahan menjawab pertanyaan Karel.  Karel meliriknya sesaat, ia merasa kalau Vilas ini bukanlah orang jahat. Seketika ia menganggukkan kepala sembari menghela napas. “Pergilah sendiri, biarkan aku sendiri.”  Vilas sedikit tersentak mendengar jawaban Karel. “Apa aku terlihat menakutkan di matamu?”  “Pergi!” Ucapan Karel menjadi lebih dingin dibanding sebelumnya.  “Tidak! Kau sepertinya tidak bisa bertahan sendiri.” Entah kenapa Vilas tak ingin meninggalkan Karel seorang diri.  Tatapan Karel begitu tajam, mengarah tepat pada Vilas. Ia sekarang hanya ingin sendiri, tetapi Vilas malah hendak menemaninya. “Kenapa? Kenapa kau masih menunggu?”  Perlahan Vilas meletakkan lenteranya ke tanah, seketika Karel melihat api menyala di sana, tubuhnya langsung gemetar. Keringat bercucuran membasuh dirinya, traumanya masih belum hilang. Secepat kilat ia mundur sejauh mungkin dari lentera itu dan berdiam dalam kegelapan.  Kejadian waktu itu masih berputar dalam otaknya, trauma tentang hari kebakaran sungguh mengusik dirinya. Namun, Vilas berjalan mendekat pada Karel, lalu memegang bahu anak tersebut sembari menatap matanya dengan lembut.  “Semuanya akan baik-baik saja, api tidak bisa membakarmu.” Vilas tersenyum untuk menenangkan Karel. “Jadi, tenanglah.”  Karel masih membelalakkan mata, tarikan napasnya sungguh kacau. Akan tetapi, Vilas masih belum menyerah untuk menenangkan anak ini.  “Karel, kau masih memiliki masa depan, karena itulah kau masih hidup ....” Begitu lembut cara Vilas untuk menenangkannya.  “Tapi, karena aku, ayah dan ibuku tewas. Api itu, membakar semuanya.” Karel memeluk erat tubuhnya.  Vilas pun perlahan memeluk tubuh mungil Karel dengan lembut. “Itu bukan salahmu, Karel ....” Bisikan Vilas merambat pelan ke dalam telinga Karel. “Mereka ingin kau tetap hidup. Jadi, hiduplah.”  Karel masih belum mengerti, tetapi ia merasa Vilas mirip dengan ayahnya. Air mata Karel sekali lagi menetes merasakan kehangatan pelukan ini. Dari sini, Karel kembali mengingat kenangan bersama ayahnya. Akan tetapi, dalam waktu bersamaan, kepedihan dalam hatinya juga turut terbongkar kembali.  “A ....” Suara Karel tertahan oleh isak tangis.  “Menangislah, setelah itu buang semua rasa sakitmu itu.”  Mau bagaimanapun Karel melepaskan semua kesedihannya, tetap saja masih merasakan apa yang dinamakan kekosongan. Vilas perlahan melepaskan pelukannya, lalu kembali menatap Karel.  “Untuk saat ini, itu saja cukup,” kata Vilas, lembut.  Karel hanya mengangguk, kemudian Vilas berdiri dan mengambil lenteranya di sana. Tampaknya Karel sedikit demi sedikit mulai bisa menghadapi traumanya.  Tanpa di sangka-sangka, Vilas kembali duduk memandangi genangan air. Karel diam, memandangi pria itu dengan heran. Ia bertanya-tanya dalam pikirannya kenapa Vilas malah duduk, bukannya langsung keluar dari gua.  “Duduklah di sampingku. Kita akan tetap di sini sementara waktu.” Vilas menepuk tanah di sebelah kirinya.  Karel masih heran, tetapi menurut dan duduk di sebelah Vilas. Mulutnya masih bungkam, ternyata kesedihannya tidak bisa diluluhkan hanya dengan beberapa kata motivasi. Raut wajahnya datar, memperlihatkan betapa hampa hatinya sekarang.  “Dari mana kau berasal? Lalu kenapa ada di sini? Apakah desamu diserang oleh Hewan Gaib tingkat tinggi?” tanya Vilas.  “Hewan Gaib? Apa itu?”  Vilas menatap heran pada Karel. “Kau tidak tahu Hewan Gaib?”  “Tidak tahu. Aku pun tak tahu di mana ini?”  Dalam sekejap Vilas terpelongo oleh pernyataan Karel. Dia menepuk jidat karena tidak percaya kalau ada orang yang tidak tahu tentang Hewan Gaib. “Sebenarnya kau ini datang dari mana?”  “Kota Z.”  “Kota Z? Memangnya ada nama kota seperti itu di Daratan Api ini?” Sekali lagi Vilas menepuk jidat.  “Daratan Api? Apa itu?” Karel baru pertama kali mendengar tentang Hewan Gaib dan Daratan Api, jelas kalau ia tak tahu apa-apa.  “Lupakan!” Tampaknya Vilas kesal karena merasa dipermainkan oleh Karel.  “Sungguh, aku tak tahu tentang apa yang kau maksudkan itu.” Saat ini Karel menunduk, tak terlalu peduli semisal Vilas meninggalkannya tanpa berkata.  “Biar kutanya sekali lagi. Bagaimana kau bisa ada di sini?”  “Mansion keluargaku terbakar, lalu aku tersadar sudah berada di dalam genangan air.”  “Hanya itu?” Vilas menaikkan sebelah alis.  “Ya ....”  Seolah terperangkap dalam keremangan gua ini, mereka berdua hanya bergeming tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD