Ejekan Pradana Aryaatmaja

839 Words
"Siapa yang mau ngutang pakai jaminan gaji setahun, Ti?" Damn! Haruskah makhluk satu ini datang disaat seperti ini? Arrrggghhhh, aku mengerang pelan, ingin rasanya aku mengutuk Siti dan ide gilanya. Mendapati Pradana tahu kesengsaraanku adalah hal terakhir yang aku inginkan untuk terjadi, namun sayangnya Siti ini adalah makhluk dengan tingkat kepekaan dibawah nol, karena saat seharusnya tahu wajahku sudah sangat tidak bersahabat, bukannya diam Siti justru berbinar seolah mendapatkan kesempatan. "Si Liliana ini, Pak Dana. Dia baru saja diusir dari kontrakan gegara mantunya yang punya kontrakan genit ke Lili sampai berantem mulu sama Bininya." Demi Tuhan, ingin rasanya aku menjedotkan kepalaku biar pingsan sekalian saat Siti dengan lancarnya menjawab. Tidak, bukan kepalaku yang ingin aku jedotkan tapi kepala Siti saja yang sudah sangat kurang ajar itu. "Dia sekarang bingung mau tinggal dimana, kontrakan yang bagus mahal, yang murah jelek rawan kejahatan. Sekalinya dapat yang murah sama oke dia malah digodain Aki-Aki, kasihan banget deh dia, Pak. Makanya saya saranin buat kasbon saja ke Bapak." "Memangnya kamu mau butuh duit berapa, Li?" Aku menghela nafas panjang, menahan diriku yang tergoda untuk membunuh Siti sebelum berbalik ke arah Rivalku semasa SMA ini, sosoknya yang songong masih mengenakan seragam hijau tua yang aku kenali sebagai seragam dinas harian, di tangannya tertenteng tas hitam milik Saka, aku bisa tebak jika sekarang Saka mungkin sudah masuk ke dalam bersama Neneknya, jika bukan karena Saka adalah muridku, aku tidak akan sudi tersenyum pada Pradana, meskipun cara bertanyanya biasa, tapi ekspresi wajahnya ituloh, ngejek banget. "Nggak Dan, aku nggak ada niat buat hutang, kasbon, atau apalah itu kayak yang dibilang Siti." "Loh kok gitu sih, Li. Tadi katanya....." jika sebelumnya aku membiarkan saja Siti nyerocos mempermalukanku, maka sekarang aku tidak segan untuk menendang kakinya yang ada dibalik bangku taman. Bodoamat dia sekarang kesakitan, dia sudah membuatku yang tidak punya apapun selain harga diri ini semakin malu dihadapan rivalku. "Nggak Sit, aku nggak butuh apapun yang kamu bilang tadi. Aku masih ada duit kalau cuma buat tempat tinggal. Aku nggak semenyedihkan itu." Kalian mungkin akan mengatakan jika aku adalah orang miskin yang sangat sombong, tapi aku tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan seorang dari masalalu yang pernah mengharapkan kehancuranku. Pradana, masih aku ingat dengan jelas bagaimana dulu memakiku karena tidak mau mengalah padanya kompetisi Kimia Nasional, aku menyingkirkannya secara nilai hingga aku yang menjadi utama dalam tugas tapi nahas aku kecelakaan pada hari Kompetisi hingga hanya dia yang bisa mewakili berkutat dengan tugas yang tidak bisa di handle sendiri, sebuah hal tragis yang berujung pada kekalahan sekolah, yang akhirnya membuatku dimaki-maki olehnya. Terkesan sepele tapi tidak bisa aku lupakan hingga sekarang. Dan tepat seperti perkiraanku, Pradana yang mendengar jawabanku seketika menyeringai penuh ejekan, "sombong!" Kembali, aku menghela nafas panjang mendengarkan cemoohan yang sudah aku perkirakan sebelumnya, mengabaikan wajah bersalah Siti, dan sikap menyebalkan Pradana, aku memilih bangkit seolah tidak ada percakapan yang tidak menyenangkan terjadi diantara kami sebelumnya. "Saka sudah dirumah, Pak? Jika sudah, bisa saya mengajar sekarang?" Aku mengangkat setumpuk buku panduanku ke arahnya yang menaikkan alisnya tinggi, Pradana sama sekali tidak menjawab tapi dia menyingkir memberiku jalan, tanpa ada rasa sungkan sama sekali aku melewatinya begitu saja untuk masuk ke dalam rumah besar yang membuatku rindu kepada orangtuaku. Astaga, Liliana, itu semua hanya bagian dari masalalu Liliana, tidak perlu mengingatnya lagi, batinku dalam hati. Tanpa memedulikan Pradana yang ada di belakangku, aku mencari Saka, anak laki-laki kecil tersebut biasanya akan menungguku di samping kolam renang, kami akan belajar di gazebo atau kursi ayunan di pinggir kolam, tapi saat aku melongok dua spot favoritnya tersebut anak tersebut tidak ada. Aku ingin menghampirinya ke kamar, tapi rasanya sungkan jika sudah masuk ke wilayah pribadi. "Sepertinya Saka sedang tidak mau belajar." Celetukan yang terdengar dari belakangku membuatku berbalik. Pradana, rupanya dia mengekoriku, jika sebelumnya dia tampak menyebalkan maka sekarang dia terlihat sedang banyak pikiran, wajahnya tampak penuh guratan garis-garis halus yang membuatku tersadar jika kami sudah mulai menua. Astaga, sibuk bertarung dengan hidup membuatku lupa jika aku sudah kepala 3, bahkan Pradana sudah punya anak kelas satu SD. Dia yang nikahnya kecepatan atau aku yang terlalu lambat? "Ayo aku tunjukkan ke kamarnya, Mamaku sedang sibuk membujuknya agar tidak menangis dari tadi...." Merasa perlu untuk melihat keadaan Saka, selain dia salah satu sumber penghasilanku, Saka juga anak yang manis, terkadang ada beberapa hal yang membuatku merasa adalah kesalahan Saka menjadi anak seorang Pradana yang menyebalkan, perlahan aku mengikuti dari belakang Pradana yang mulai naik ke lantai atas, sebuah pintu yang bertuliskan Saka's private room di dalam piguranya menghentikan langkah kami karena dari pintu yang tidak tertutup sempurna aku mendengar tangis menyedihkan seorang Saka yang selama begitu manis kukenal. "Saka nggak mau ikut Mama ke luar negeri. Saka mau disini saja, nggak mau kemana-mana, mau sama Papa sama Nenek saja." "Nggak, Saka nggak akan pergi kemana-mana. Saka akan tetap disini sama Papa, sama Nenek juga. Papa sudah janji kan ke Saka, Saka harusnya percaya sama Papa." "Kata Mama, Saka harus nurut sama Mama kalau nggak mau durhaka, Nek. Huuuaaaa, Saka nggak mau pergi, tapi nggak mau jadi anak durhaka juga."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD