Banana Cake

1058 Words
Tangisan Saka melengking memenuhi kamar, anak manis berusia 7 tahun tersebut begitu histeris karena ketakutannya. Katakan aku lancang, tapi saat mendengar seorang yang biasanya selalu ceria dalam hal apapun kini berubah menjadi begitu sedih dan nelangsa hatiku rasanya tidak sanggup, kuketuk pintu kamar tersebut perlahan, aku bahkan tidak meminta izin kepada Pradana apa aku boleh pbertemu dengan anaknya dalam kondisi seperti ini, tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Baik Saka maupun Nyonya Maryam, keduanya langsung menoleh ke arahku. Bisa aku lihat jika Saka berusaha keras menahan tangisannya dalam sebuah sesenggukan hebat yang tidak terkendali, walau bagaimanapun dia adalah seorang Aryaatmaja, sama seperti Ayahnya yang sombongnya tujuh turunan delapan tanjakan sembilan kelokan, bocah ini pun memiliki ego tentang dia yang tidak boleh terlihat lemah, bahkan di hadapan gurunya. Menggemaskan sekali melihatnya sesenggukan menahan tangis dan matanya berkaca-kaca penuh air mata namun berusaha tegar. Seperti orang bodoh, aku tersenyum ke arahnya, berusaha bersikap ramah kepada anak didikku ini. "Apa Miss ganggu?" Saka membersit hidungnya dengan keras, dan setelahnya tisu yang dipakainya untuk membersit hidung dia gunakan untuk mengusap "Saka izin nggak belajar dulu, Miss. Saka mau libur hari ini." Menyambung Cucunya yang memberikan perintah dengan tegas, Nyonya Maryam yang sepertinya tidak tega dengan sang cucu pun turut melayangkan pandangan enggan kepadaku, "hari ini libur dulu ya, Miss. Kasihan Saka kecapekan." Aku menggeleng pelan, mengabaikan tatapan enggan para Aryaatmaja ini aku justru masuk ke dalam kamar dan mendekati Saka, meskipun tampak enggan berbicara namun Saka tidak mengusirku, bahkan dia menatapku keheranan karena keraskepalaku. "Saka, kamu inget bolu pisang yang pernah Miss bawain buat kamu, nggak?" Meskipun keheranan Saka tetap mengangguk, "yang enak itu, kan?" airmatanya berkilau menggenang dimatanya membuat perasaan tidak nyaman dihatiku, sungguh rasanya aku ingin menghajar Ibu kandungnya yang sudah tega membuatnya menangis seperti ini. "Iya, yang kamu habis satu loyang sendirian."ujarku sembari meraihnya untuk mendekat, seolah aku tidak mendengar apapun tentang tangisnya, aku berusaha menghargai usahanya untuk tetap terlihat kuat. "Kalau sekarang kita nggak usah belajar matematika tapi belajar bikin kue bolu pisang, Saka mau nggak? Tadi Miss lihat Mbak Siti belanja banyak pisang." Aku tahu jika tawaranku kepada Saka dengan tujuan untuk menghiburnya ini pasti terdengar bodoh, apalagi ditelinga Pradana, tapi entahlah, aku merasa membuat kue adalah hal yang paling menyenangkan disaat hatiku tengah sedih, saat aku nyaris mati karena frustrasi ditinggal Papa dan Mama dalam waktu bersamaan, membuat kue adalah hal yang aku lakukan untuk menyembuhkan diri sementara saat itu aku sama sekali tidak tahu bagaimana caranya. Aneh bukan caraku melampiaskan kesedihan, aku bertarung dengan takaran tepung dan gula, mempelajari jika beda jenis tepung beda pula kegunaannya dalam bakery, begitu pula tentang ragi yang tidak boleh diseduh dengan garam yang dengan bodohnya membuat donatku sekeras ban sepeda. Ada satu waktu aku mendapati boluku masih basah, ada satu waktu pula boluku mengembang besar tapi kempis saat kembali dingin, begitu pula dengan kue-kue gosong karena aku yang main hajar api besar. Astaga, jika mengingat semua hal itu rasanya menyedihkan sekaligus memalukan. Dan sekarang saat aku menawarkan hal yang sama kepada Saka, aku sudah bersiap untuk mendapatkan penolakan, apalagi saat Nyonya Maryam yang merasa tidak enak dengan keheningan ini. "Kayaknya Saka pengen istirahat deh Miss, maaf ya Miss...." "Saka mau kok Miss." Dengan cepat Saka memotong jawaban Neneknya, membuatku merasa tidak enak kepada Nyonya Maryam karena jawaban Saka yang berbeda. Anak laki-laki yang lebih tinggi dari teman-temannya ini beringsut turun dari ranjang dan menghampiriku. "Ayo Miss kita turun ke bawah." Hanya sekilas Saka menyentuh tanganku, tidak ada kesan manja dan mellow yang dia perlihatkan, persis seperti Papanya. Saka bahkan berjalan lebih dahulu, meninggalkanku di kamarnya dalam suasana canggung diantara Pradana dan Nyonya Maryam. "Saya hanya ingin menghibur Saka, Bu. Kalau sekiranya Ibu nggak berkenan Saka masuk ke dapur, seharusnya saya meminta izin terlebih dahulu, hanya jika kalian mengizinkan...." Tergagap aku berusaha menyampaikan maksudku kepada Nyonya Maryam dan Pradana sendiri, bodohnya diriku yang tidak memikirkan kemungkinan jika mungkin saja dikeluarga Aryaatmaja melarang para prianya untuk turun ke dapur. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Namun kekhawatiran itu seketika menguap saat Nyonya Maryam justru menghampiriku dan mengusap bahuku pelan seraya berkata. "Tidak, saya tidak melarangmu, Miss Lili, saya hanya agak terkejut dengan cara Anda yang tidak biasa. Terimakasih ya sudah berkenan menghibur Saka, dia memang sedang sedih." Jangan tanya bagaimana leganya aku sekarang, saat Ibu Suri sudah mengizinkan, menurutku Pradana tidak akan memprotes. "Kalau begitu izin pakai dapurnya ya, Bu." "Silahkan, gunakan sesukamu. Kalau ada yang kurang, jangan sungkan buat minta beliin Siti. Apapun akan saya lakukan asalkan Cucu saya bahagia, Miss Lili." Tersenyum mengerti atas kasih sayang yang begitu besar seornag nenek kepada cucunya, aku beranjak pamit, begitu turun ke dapur, aku menemukan Saka yang sudah menungguku dengan antusias sementara Siti keheranan. "Anda siap, Chef Saka?" Tanyaku sembari mengulurkan apron kepadanya yang langsung dibalasnya dengan antusias. Dengan bantuanku aku membantunya memakai apron yang kebesaran untuk sarungnya. "Siap Miss." Ujarnya dengan riang, di tangannya bahkan sudah siap dengan baloon whisk. "Baiklah, kamu bagian mecahin telurnya dulu, Chef Saka." terkekeh aku mulai menyiapkan tepung-tepungan sementara Saka sendiri antusias sekali memecahkan telur. Dan seperti dugaanku, bocah laki-laki tampan ini sangat menikmati aktivitas baking kami, dalam sekejap ceceran telur terciprat kemana-mana karena dia begitu bersemangat mengaduk dan banyak tepung bertebaran di rambut kami yang membuat kami tertawa geli melihat rambut yang beruban. Rasanya menyenangkan sekali memasak dengan Saka, dia adalah Partner yang menyenangkan dan kompak dalam menyiapkan semuanya sampai akhirnya dua loyang bolu pisang yang wangi semerbak berhasil kami buat, aroma manis dan nikmatnya seketika memenuhi seisi rumah yang menunjukkan jika kami berhasil dengan baik. Kesedihan yang sebelumnya tergambar jelas di wajahnya kini terlupakan berganti dengan kekagumannya atas bolu yang kami buat. "Papa pasti suka...." Celetuk Saka penuh kebanggaan melihat hasil karyanya usai nyaris 2 jam penuh kami berkutat di dapur. "Pasti suka dong, apalagi yang buat Saka. Pasti Papanya Saka suka." Balasku menyemangatinya yang membuat Saka tertawa senang. "Gimana kalau kita potong sekarang!" Saka mengangguk setuju, diraihnya pisau kue yang aku keluarkan dan kami mulai memotongnya. Aku dan Saka terlalu sibuk dengan pencapaian kami sampai tidak sadar jika dua orang memperhatikan interaksi kami dengan seksama hingga menimbulkan ide gila dalam pemikiran mereka, baru saat akhirnya aku keluar dari dapur, Nyonya Maryam menghadangku, tanpa basa-basi sama sekali beliau melontarkan pertanyaan yang aku yakin adalah sebuah lelucon yang paling tidak lucu yang pernah aku dengar. "Miss Lili, pernah kepikiran buat jadi Mama Sambungnya Aska, nggak?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD