Bunga Teratai ~~

1354 Words
Matahari pagi mulai kembali menampakkan dirinya setelah semalaman hujan mengguyur kota. Di atas tempat tidurnya, Dyra masih meringkuk di balik selimut tebalnya, dengan mata yang terbuka. Bunyi alarm dari jam digital yang berada di atas nakas pun, tak berhasil mengalihkan pikirannya. Ya …. Sejak pertemuannya dengan Azeil di minimarket semalam, Dyra benar-benar tak bisa terlelap tidur. Gadis itu tetap terjaga bersama pikiran-pikirannya yang kembali terhempas jauh pada bayangan kisah masalalunya bersama Azeil. Ia bahkan membiarkan barang belanjaannya masih tersimpan dalam kantung plastik yang Adinda taruh di sudut kamar. Gadis itu memejamkan matanya lalu menghela napas dalam-dalam. Dengan enggan, Dyra beranjak dari atas tempat tidur, merapikannya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan bersiap. Lima belas menit berlalu, Dyra pun keluar dari kamar mandi dan segera mengambil pakaiannya dari dalam lemari. Setelah selesai mengenakan kemeja berwarna merah marun yang dipadukan dengan rok span berwarna putih tulang, Dyra segera duduk di depan meja rias. Gadis itu melepas handuk kecil yang melilit di kepalanya lalu menyalakan hair dryer yang tergeletak di atas meja. Setelah selesai mengeringkan rambutnya, Dyra mematikan alat pengering itu lalu menatap pantulan dirinya pada cermin. Lingkaran hitam mulai tampak mengelilingi sekitar matanya. Dyra mengoleskan pelembab di wajahnya lalu menempelkan sedikit bedak di wajah dan sekitaran matanya sedikit lebih tebal untuk menyamarkan lingkaran hitam. Dan terakhir, gadis itu mengoleskan liptint pada bibir mungilnya, lalu segera beranjak dari meja riasnya. Ia berjalan mengambil tas yang menggantung di dinding kamar, lalu hendak mengambil ponsel yang biasa ia taruh di atas tempat tidur. Tetapi tiba-tiba Dyra terdiam dan nampak kebingungan. Gadis itu mengobrak abrik kembali tempat tidur yang sudah ia rapi kan untuk mencari benda tersebut. “Hape gue mana?” gumamnya pada diri sendiri. Dyra pun mencari di dalam laci nakasnya, lalu dalam saku sweater yang semalam ia pakai, tetapi ia tetap tak dapat menemukan ponselnya. Tok, tok, tok. Suara ketukan di pintu yang terdengar begitu nyaring mengalihkan fokus Dyra. Gadis itu segera berjalan untuk membukakan pintu. “Kenapa?” tanya Dhana saat melihat wajah kebingungan sahabatnya. “Minjem hape lo dong, Kak.” Dhana yang tidak paham hanya menuruti permintaan Dyra lalu memberikan ponsel yang baru saja ia ambil dari dalam saku jasnya. Dyra nampak sibuk mencoba menghubungi nomor ponselnya sendiri berkali-kali, tetapi tetap taka da jawaban. “Ada apa sih, Dyr? Hape lo mana?” tanya Dhana penasaran. “Hape gue ilang! Mana di dalem sana semua kontak, foto, dan data-data kerjaan gue lagi!” gumam Dyra. Gadis itu kembali mencoba menghubungi nomor teleponnya, tetapi tetap tak ada jawaban apapun. “Inget gak, terakhir lo simpen di mana?” tanya Dhana. Dyra terdiam beberapa saat dan kembali mengingat-ingat di mana terakhir kali ia taruh ponselnya. Gadis itu menghela napas dalam lalu menggelengkan kepalanya. “Gue bener-bener lupa,” gumamnya. “Kebiasaan!” gerutu Dhana seraya mengambil kembali ponsel miliknya dari tangan sahabatnya itu. “Nanti sepulang kerja, lo coba inget-inget lagi. Atau kalau enggak, gue coba minta tolong sama tim IT perusahaan buat nyari titik gps terakhir dari ponsel lo,” ujar Dhana. Dyra akhirnya mengangguk dan segera keluar dari dalam kamar sewanya, lalu menguncinya. Gadis itu pun berjalan mengikuti Dhana dari belakang lalu keluar dari gerbang utama. “Tumben bawa mobil?” tanya Dyra saat melihat sebuah mobil sedan Mercedes-Benz CLS-Class berwarna hitam, terparkir di depan pintu gerbang. “Gue ada meeting hari ini sama pengiklan, terus jemput Metha,” sahut Dhana seraya membukakan pintu sisi penumpang untuk Dyra. Dyra menganggukkan kepalanya lalu duduk di atas kursi. Setelah melihat Dyra duduk dengan nyaman, Dhana kembali menutup pintu dan setengah berlari memutari mobil lalu masuk dan duduk di balik kemudi. “Kapan Kak Metha pulang?” tanya Dyra sembari memasangkan lock safety belt. Dhana menoleh sesaat lalu menekan tombol merah untuk menyalakan mesin mobilnya. “Kemarin malem. Makanya hari ini, gue mau ajak dinner. Lo mau ikut?” ajak Dhana. “Dih, ngapain jadi nyamuk orang pacaran. Mending gue di rumah, mandangin buyong-buyong gue sambil minum s**u strawberry,” tolak Dyra. “Ha? Buyong? Apaan buyong?” tanya  Dhana seraya melajukan mobilnya. “Bahasa koreanya bunga teratai,” sahut Dyra. “Oooh … suka banget sih lo sama bunga teratai.” Dyra terdiam sesaat. Gadis itu kembali teringat perlakuan orang-orang yang membullynya lalu mengulas senyum getir. “Karena … mereka akan tetap tumbuh dan mekar dengan indah, walau berada dalam air yang kotor,” balas Dyra dengan tatapan menerawang jauh ke depan. Dhana yang mengerti maksud dari perkataan sahabatnya itu seketika menggenggam tangan Dyra dengan hangat lalu mengusapnya. “Dan lo seperti bunga teratai yang indah itu. Seberat apapun cobaan dan hinaan yang lo dapatkan di masalalu, lo tetap bisa merekah dan berdiri dengan indah,” timpal Dhana. “Gue berusaha bertahan demi ibu. Dan gue bekerja keras selama ini, demi liat ibu sembuh dari penyakit kanker otak yang dideritanya,” terang Dyra. Mendengar perkataan Dyra, membuat mata Dhana seketika membulat dengan sempurna. “Ya Tuhan … gue lupa, udah janji mau anter lo jenguk Ibu di panti.” Dhana segera merogoh ponsel dari dalam saku jasnya lalu mencoba menghubungi kekasihnya. “Mau ngapain?” tanya Dyra dengan dahi berkerut. Dhana menoleh sesaat pada Dyra. “Mau batalin dinner biar bisa anter lo ketemu ibu,” jawabnya. Tepat saat panggilan itu terhubung, Dyra sudah lebih dulu mengambil ponsel dari tangan Dhana lalu menekan tombol merah untuk memutuskannya. “Ra, kok dimatiin sih?” tanya Dhana dengan nada sedikit meninggi. “Ngapain batalin dinner kalian sih, Kak? Gue bisa pergi sendiri kok,” sahut Dyra. “Lo gak boleh pergi sendiri!” cetus Dhana. “Kenapa?” “Karena gue gak ngizinin!” “Kalau gitu caranya … gue gak mau temenan sama lo lagi, Kak!” Ancam Dyra dengan mata mendelik tajam. “Tega lo, Dyr.” “Bodo amat!” Dhana akhirnya memilih diam dan tak meladenin ocehan Dyra lagi. Setiap kali bertengkar, Dhana selalu memilih mengalah dan tak melanjutkan perdebatan mereka. Hingga akhirnya mereka tiba di pelataran gedung perkantoran ShadowTech. Dengan wajah yang masih merengut, Dyra membuka lock safety belt-nya lalu segera keluar dari dalam mobil, meninggalkan Dhana yang tengah menatapnya dengan tatapan kesal. Gadis itu bergegas masuk ke dalam lobby dan setengah berlari menuju lift yang pintunya hampir tertutup. Tetapi … tepat saat Dyra hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift, pandangannya tiba-tiba terfokus pada sosok Azeil yang sedang berdiri dalam kapsul lift sendirian. Pria itu mengulurkan tangannya, mencoba menahan garis pintu lift agar tetap terbuka dan menunggu Dyra melangkahkan kakinya masuk. “Ngapain lo masih di situ?” tanya Dhana yang baru saja tiba di samping Dyra. Gadis itu menoleh sesaat pada sahabatnya itu lalu kembali mendelik tajam. Dyra segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift, dan berusaha tak memperdulikan kehadiran Azeil yang kini berdiri di belakangnya. “Pokoknya … gue anter lo ke panti buat nengok ibu!” ujar Dhana. Dyra mendongakkan kepalanya dan menatap sahabatnya yang berdiri di sampingnya. “Gak usah dibahas di sini!” sahut Dyra setengah berbisik. Dhana menoleh ke belakang lalu menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat pada orang di lingkungan kantornya. Azeil hanya membalasnya dengan sekali anggukkan kepala lalu kembali menatap Dyra melalui pantulan pintu lift. “Gue bakal batalin dinner sama Metha!” ujar Dhana tanpa memperdulikan perkataan Dyra. “Dan lo jangan harap kenal lagi sama gue!” Ancam Dyra. Dhana seketika menghela napas dalam-dalam tepat dengan pintu lift yang terbuka. Pria itu berjalan keluar lebih dulu, lalu berbalik menatap Dyra. “Nanti gue kabarin kalau udah dapet titik GPS terakhir hape punya lo.” Dyra menganggukkan kepalanya lalu menekan tombol agar pintu lift kembali tertutup. “Pacar lo?” tanya Azeil tiba-tiba. Dyra yang mendengar itu seketika menatap Azeil melalui pantulan di hadapannya. “Bukan urusan kamu,” sahut Dyra dengan suara yang ia buat setenang mungkin. “Mudah-mudahan cowok itu gak ngerasain apa yang gue rasain karena topeng yang lo pakai!” Ting. Suara dentingan lift kembali terdengar, diikuti pintu lift yang mulai terbuka. “Dan aku berharap, dia akan selalu mendengar segala bentuk penjelasan yang akan aku ucapkan, sebelum menuduh orang dengan persepsinya sendiri,” jawab Dyra dengan sengaja, seraya melangkahkan kakinya keluar dari dalam lift. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD