TIGA BELAS

1059 Words
Tiga belas Inne tergolek lemah diatas lantai kamar mandi. Ia baru saja mengalami mual, dan muntah hebat. Seluruh makanan yang ia makan tadi sudah keluar menjadi cairan yang menjijikan di dalam westafel. Baju kaos kotor Athar tergelatak dengan mengenaskan diatas lantai. Baju bekas yang di pakai Athar tiga minggu yang lalu sudah tidak mempan untuk menghilangkan rasa mual, dan ngidamnya. Baju Athar sudah sangat kotor, dan aroma Athar sudah hilang tak berbekas. Membuat Inne tersiksa, dan ingin tidur siang tapi tidak bisa. Tidak bisa tanpa ada Athar yang memeluknya atau setidaknya, baju bekas yang di pakai Athar. Untuk ia hirup aromanya, dan untuk ia dekap erat saat tidurnya. Inne juga sepertinya harus membeli parfum seperti parfum yang di pakai Athar besok. Agar ia tidak terlalu tersiksa, mau beli sekarang, Inne merasa sangat lemah, dan lelah. Inne benci! Kenapa harus mengidam yang berkaitan, dan berhubungan dengan laki-laki tak punya hati itu. "Mama mohon. Tolong, jangan menyusahkan mama meminta mama untuk dekat-dekat, dan berharap pada laki-laki itu, nak...please. minta'lah hal lain yang tidak berhubungan dengan laki-laki itu."Minta Inne mengiba dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Tangannya mengelus lembut sekali perutnya, seakan sedang merayu, dan membujuk calon anaknya, agar tidak meminta hal yang sangat tidak di sukainya saat ini. Dengan lemas, Inne menyeka bekas muntahannya di sudut bibirnya. Dengan senyum lirih, bangkit dengan pelan dari dudukan menyedihkannya. Berhasil, Inne sudah berdiri tegak dengan memegang erat pinggiran westafel sebagai tumpuannya. Kedua kakinya lemas bagai Jelly. Inne harus membaringkan tubuhnya saat ini juga, berharap rasa lemas, dan mualnya bisa berkurang setelah ia bangun dari tidur nantinya. "Sepertinya mama harus menyewa seorang pembantu."gumam Inne pelan dengan tatapan yang menatap dalam kearah perutnya dalam cermin besar di depannya. Shit! Inne lupa membuang cermin besar ini. Inne dalam sekejap, menghapus kasar kedua bahunya dengan telapak tangan yang bergetar. Berharap bekas sentuhan Athar selama ini di tubuh telanjangnya bisa hilang, hilang dari tubuh, dan hilang dari pikirannya yang utama. Itu menjijikkan, menyakitkan, dan menyesakkan untuk Inne ingat tak sengaja. Bayang-bayang dirinya yang sedang bercinta hebat dengan Athar menghadap cermin, berputar bagai kaset rusak dalam otak, dan pikirannya saat Inne. Inne tak tahan, Inne membalikkan tubuhnya kasar, keluar cepat dari dalam kamar mandi, menjauh dari cermin itu. Cermin sialan yang membuat perasaan Inne menjadi campur aduk saat ini. Tanpa sadar, Inne menjadi kuat, dan rasa lelah, dan mualnya hilang dalam sekejap di saat amarah yang menyapa dirinya barusan. **** Inne mendesah, pintu rumahnya di ketuk berisik sedari tadi. Inne tidak berniat menerima tamu saat ini. Tapi, sepertinya tamu yang sedang mengetuk paksa pintu rumahnya saat ini sangat ingin bertemu dengannya. Inne tanpa menyimpan cangkir teh hangatnya, bangkit dari dudukannya dengan tak rela. Melangkah dengan langkah sedikit terburu. Ketukan di pintu rumahnya semakin keras, dan intens di lakukan oleh si calon tamu rumahnya. Tanpa membuang waktu Inne membuka pintu rumahnya. "Lama sekali? Apa yang sedang kau lakukan!?"sembur suara itu sinis, menyapa indera pendengar Inne. Inne mengenali suara itu, dan Inne berdiri membeku di tempatnya. "Kamu tidak menyuruh tamumu masuk?"Tanya suara itu masih sinis. Inne masih diam. Masih shock melihat sepasang pasangan parubaya yang berdiri tepat di depannya saat ini. "Tidak. Aku tidak ingin masuk ke dalam. Rumahmu terlalu kecil untuk orang seperti kami singgahi, dan masuk duduk di dalamnya."Ucapnya dengan suara mengejek kali ini. "Sudah cukup, jangan menghina saya. Ada apa anda kemari?"Tanya Inne dengan nada datar, membuka suara setelah sekian menit ia terdiam. Bagaimana Inne tidak diam, dan kaget. Ternyata tamu yang menggedor tak sabar pintu rumahnya adalah kedua orang tua Athar. Mama, dan papanya! "Athar, dan Sabira menikah minggu ini. Aku harap kamu tidak hadir, dan mengacau di sana. Jangan datang di pesta pernikahan Athar. Apalagi punya niat untuk mengacaukannya. Kamu paham?!"Ucap mama Athar, Sandra dengan nada penuh penekanan, dan peringatan. Inne terlihat meneguk ludahnya kasar, kembali hatinya seperti ada yang menyayatnya di dalam sana. Sakit sekali mendengar kabar yang ia dapat barusan. Menikah minggu ini? Berarti tiga hari lagi? Kedua lutut Inne terasa bergetar kecil, dan sangat lemas saat ini, tapi di tahan Inne sekuat mungkin. "Saya tidak akan semurahan itu!"desis Inne tajam. Terlihat mencoba kuat, dan tegar. "Masih banyak laki-laki lain yang lebih tampan, kaya, dan lebih dari segalanya dari anak Anda di dunia yang luas, dan lebar ini!"Ucap Inne dengan nada tajam, dan dinginnya. Ia tidak ingin di tindas lagi. "Kamu tidak murahan?"Ucap Sandra dengan nada ejeknya. "Hanya w************n yang mau membuka kedua pahanya pada laki-laki yang bukan muhrimnya! Bercintaa di kantor? Bahkan dengan nakalnya kau, di dapur rumahku, kau menggoda anakku Athar untuk bercint4a denganmu. Aku melihatnya selama ini. Tapi aku diam. Menunggu waktu yang tepat untuk meluapkannya padamu."Bentak sandra keras, membuat tetangga- tetangga Inne keluar dari dalam rumah mereka, melihat secara langsung keributan yang terjadi saat ini. Inne diam! Apa yang di ucap mama Athar benar. Ia terlalu murahan, dan bodoh saat itu, dan ini. Mau saja memberi tubuhnya pada laki-laki yang bukan muhrimnya. "Diam? Karena itu memang benar."Desis Sandra senang. Penuh kemenangan. "Lihatlah. Ini ambil ponselku. Ada pesan terakhir dari Athar untukmu."ucap Sandra dengan nada sedangnya. dengan bodoh, dan patuhnya, Inne mengambil ponsel itu. Melihatnya seperti apa yang di suruh Sandra. Foto Athar yang mencium Sabira, membuat Inne jijik melihatnya. Brakkkkk Inne membanting kuat ponsel sandra, membuat Sandra, dan suaminya hanya diam sedari tadi kaget, dan mematap Inne dengan tatapan tidak percaya. "Aku sudah pernah melakukannya! Untuk apa aku melihatnya lagi? Athar bekasku. Sabira yang sempurna harus mengambil bekasku. Bekas yang sudah ku pakai selama delapan tahun lamanya."Desis Inne dengan senyum sinis. Padahal dalam hati, hatinya sangat sakit. Athar benar-benar b******n! Sepertinya Athar tidak pernah mencintainya selama ini. Bodoh! Inne bodoh! Hardiknya pada dirinya sendiri. "Jangan pernah sekalipun kau menampakkan wajahmu lagi di depan Athar. Kami semua! Kamu harus sadar diri. Kamu tidak sebanding, dan sederajat dengan kami! Kamu hanya anak yatim piatu yang beruntung karena di pungut, dan di poles oleh anakku, Athar selama ini."Ucap Sandra. kejam. Dan di balas dengan Inne... Byuiurrrrr Cangkir teh yang di genggam dengan kuat oleh Inne sedari tadi, sudah berpindah tempat pada wajah Sandra. Inne menyiram wajah Sandra tanpa rasa sopan santun sedikit'pun dengan teh bekas minumannya. Membuat Sandra bungkam dengan kedua mata melotot tak percaya dengan perlakuan yang ia dapat dari gadis murahan di depannya ini. Sedang Inne? Ampuni aku, Tuhan. Bisik inne menyesal karena kelakuan tak sopannya pada orang setua Sandra barusan. Tbc Apakah Inne terlalu kasar? lanjut cepat mau? Lanjut cepat mau?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD