SEMBILAN

1234 Words
Maaf banyak typo Happy reading Mendengar ucapan Athar barusan, Inne reflek menendang kuat perut Athar membuat Athar terpental menghantam lantai kebelakang dengan lumayan kuat, wajah laki-laki itu menyiratkan rasa sakit, tapi demi Tuhan. Hati Inne lah yang paling sakit saat ini. Apa yang ia dengar barusan, salahkan? Harap Inne dalam hati. "Tendangan yang kamu kasih, nggak sebanding dengan rasa sakit yang kamu dapat dari aku."Athar menyapu kedua tangannya, dan bangkit dengan wajah meringis sakit dari dudukannya dengan tangan sebelah kanan yang memegangi perutnya yang masih nyut-nyut'tan sakit saat ini. "Aku tau itu. Maafkan aku." Ucap Athar dengan nada bersalah. Kakinya melangkah mendekat pada Inne, yang saat ini sudah berdiri di depan lemari dua pintu pakainnya, dan menjadikannya sebagai sandaran saat ini. Tubuh Inne semakin lemas tak berdaya mendengar kata hamil dari mulut Athar. Sabira hamil? Bagaimana bisa, dan mungkin? Athar berdiri tepat di depan Inne, berniat merengkuh Inne ke dalam pelukannya, tapi Inne menghindar secepat yang Inne bisa. Jijik Inne di sentuh sama Athar walau hanya secuiil kulitnya. "Jangan menyentuhku, sebelum kau mengaku. Kalau apa yang kau bilang tadi bohong, dan kau sedang mengerjaiku, Athar!?"Inne manatap Athar dengan tatapan berharap. Demi Tuhan, ini terkahir kalinya. Inne melempar tatapan penuh harap, dan mengiba seperti ini pada Athar. Athar menggeleng pelan, dan menyugar kasar rambut hitam lebatnya dengan kedua tangannya frustasi. Mendengar ucapan Inne barusan. "Semunya benar! Aku nggak akan bisa bohong untuk hal sepenting ini, dan sebesar ini, Inne!"pekik Athar kesal, dan marah. "Aku tersiksa, nggak hanya kamu saja! Kau tau!"Athar bahkan mengguncang kedua bahu Inne sedikit kuat. Sedikit melampiaskan rasa kesal, kecewa, dan marahnya. Amarahnya pada diri sendiri, bukan pada Inne. Karena Inne sebelumnya belum pernah melakukan kesalahan besar padanya, dan membuat ia marah. Tidak pernah sama sekali. Inne gadis baik, yang ia buat menjadi gadis nakal, nakal karena Inne merelakan tubuhnya untuk ia sentuh selama kurang lebih enam tahun berlalu. Tapi, mereka mau sama mau. Membuat Athar sedikit terlepas dari rasa sesak yang namanya rasa bersalah pada Inne. "Bagaimana bisa?"pertanyaan barusan meluncur begitu saja dari mulut Inne. Membuat Athar terlihat menegang kaku di tempatnya dalam sekejap. Bodoh, Inne! Jelas mereka berdua main di belakangmu! Hardik Inne dirinya. Helaan nafas panjang Athar, terdengar jelas oleh pendengaran Inne. Athar kembali melangkah menjauhinya, berdiri di depan jendela, menatap keluar membelakangi Inne yang sedang menahan nafasnya kuat menunggu jawaban Athar. "Hah! Malam berhujan tiga bulan yang lalu. Kesalahan itu terjadi tepat pada hari itu. Hari dimana setelah kita merayakan delapan tahun hubungan kita terjalin."Ucap Athar dengan tatapan yang menatap menerawang ke depan. Mencoba mengingat, dan mengumpulkan kembali segala ingatan yang berisi kesalahannya tiga bulan yang lalu. Kesalahan semalam yang ia lakukan dengan Sabira, sahabat kecilnya yang masih terjalin baik, dan erat hingga saat ini. Sabira adalah gadis ketiga yang di prioritaskan Athar, setelah mama, dan Inne'nya. "Bodoh, Inne. Kalian mengkhianatiku di belakang selama ini. Kalau sudah tidak membutuhkan diriku, kamu sudah bosan padaku, rasa cintamu sudah lenyap untukku, kenapa nggak bilang, Athar. Kenapa nggak bilang? Aku akan melepasmu walau berat!"Ucap Inne dengan tangisan yang di tahan kuat oleh wanita itu. Inne enggan membuang air matanya untuk laki- laki seperti Athar. Tidak akan lagi! Karena itu hanya sia-sia. 3 bulan yang lalu? Berarti lebih dulu hamil Sabira di banding dirinya. Usia kandungannya bahkan belum jalan dua bulan. Baru 7 minggu. Sedang, Sabira kandungan sudah berumur 3 bulan. Athar sudah menghamili Sabira satu bulan, berhubungan layaknya suami istri dengan Sabira, tapi kenapa malah...ah, sial! Athar b******n! Malah mengahamilinya juga, dan...sial! "Keluar dari rumahku, Athar! Keluar!"Usir Inne dengan nada dinginnya. Penjelasan Athar selanjutnya tidak ada gunanya lagi untuk Inne dengar. Apa yang keluar dari mulut Athar selanjutnya pasti hanya akan membuat ia sakit hati. Inne tidak ingin hatinya semakin sakit lagi. Mudah Inne putuskan, dan simpulkan dengan otak cerdasnya. Kedua orang tua Athar yang tidak menginginkannya dari awal, jelas lebih memilih Sabira untuk Athar taggung jawab-i. Bukan dirinya yang derajatnya sangat rendah dari Sabira. "Keluar dari rumahku!!" Bentak Inne kuat, melihat Athar yang hanya terdiam membisu di depan jendela sana. Sial, untuk apa laki-laki itu berbalik, dan menatap kearahnya lagi? Inne membuang pandangannya dari wajah Athar. Inne jijik pada Athar saat ini, sangat jijik. "Jangan menuduhku sembarangan, Inne. Aku tidak pernah main hati dengan perempuan lain selain kamu. Aku tidak pernah berkhianat sedikit'pun di belakang kamu, nggak pernah!"Ucap Athar geram. Geram pada dirinya sendiri. "Pembohong!"desis Inne sinis. "Aku mengutuk malam sialan itu! Tapi aku juga merasa lega karena berhasil menyelamatkan, Sabira. Sabira adalah sahabat yang tumbuh, dan kembang bersamaku sedari kami bayi." "Laki-laki tua teman bisnis papanya, hampir memperkosanya, Inne. Bahkan laki-laki tua sialan itu telah menjebak Sabira di rumah Sabira sendiri. Menutup mulut para pekerja di rumah Sabira dengan uangnya! Sabira sahabatku. Kamu tau itu, Inne. Tidak ada unsur pengkhianatan sedikit'pun yang terjadi antara aku, dan Sabira!"Bantah Athar panjang lebar, menjelaskan kronologis kejadian yang terjadi tiga bulan lalu. Inne hanya diam. Muak mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Athar. Benar saja, ucapan Athar barusan hanya akan melukai hatinya. "Laki-laki tua sialan itu mencampur obat perangsang di minuman Sabira. Untung aku cepat datang untuk membawa berkas yang tertinggal oleh papa Sabira di rumah." "Dan menyaksikan kejadian mengerikkan, Sabira tengah di paksa oleh laki-laki sialan itu!"desis Athar geram. Membuat hati Inne menahan rasa nyeri, dan sangat sesak di dalam sana. "Lalu selanjutnya, kamu melanjutkan aksi b***t laki-laki itu pada Sabira? Atau suka sama suka?"sinis Inne dingin. Athar terlihat menegang di tempatnya, dan terlihat menelan ludahnya susah payah. "Ya."bisik Athar pelan. "Sabira keskitan, dan aku tergoda melihat penampilannya yang kau tau, sudah acak-acakan, dan terlihat seksi."Aku Athar dengan nada bersalahnya. "Kami melupakan kejadian itu. Menjalani hari seperti biasanya, sampai tiga minggu yang lalu. Sabira tau kalau dirinya hamil. Hamil anakku juga."Desah Athar dengan nada tersiksanya. "Aku baru mengenalmu delapan tahun, sedang Sabira...aku sudah mengenalnya seumur hidupku, selama 26 tahun berlalu. Ya, lamanya kami saling mengenal, membuatku memilih bertanggung jawab pada Sabira. Maafkan aku."Ucap Athar dengan nada bersalahnya. Athar mendekat ingin meraih tubuh Inne yang sudah meluruh di atas lantai. "Pergi dari rumahku. Penjelasanmu hanya membuat hatiku semakin sakit, Athar. Silahkan keluar, kamu tau letak di mana pintu'nya kan. Keluar cepat!"Ucap Inne lemah. Athar tidak mendengar ucapan Inne. Malah Athar sudah berjongkok di depan Inne. Ingin meraih tangan Inne tapi Inne mengelak. Inne jijik sama Athar. Athar adalah laki-laki terjahat di dunia ini. "Aku ingin memohon satu hal padamu, Inne."Ucap Athar dengan nada seriusnya. Membuat Inne mendongak jijik untuk melihat raut wajah laki-laki b******n di depannya. "Rahasiakan kehamilanmu. Jangan sampai kedua orang tuaku, terutama Sabira tau kalau juga mengandung anakku saat ini. Kebutuhan finansial semuanya akan aku tanggung. Tolong, rahasiakan kehamilanmu dari dunia. Kalau kau mengandung anakku. Cukup kau, dan aku yang tau. Kalau dalam rahimmu sudah tumbuh hasil dari buah cinta kita selama ini."Ucap Athar dengan nada serius, dan terselip nada mengiba juga di dalamnya, berharap Inne mau menurut akan permintaannya. "Cinta tidak'lah harus saling memiliki. Percaya'lah, cintaku untukmu masih utuh, malah bertambah subur di saat aku mengetahui kalau juga sedang mengandung anakku saat ini. Sekali lagi, cinta tidak harus saling memiliki."Ucap Athar masih dengan nada seriusnya. Inne hanya bisa terpaku mendengar ucapan demi ucapan yang terlontar dari mulut Athar. "Maaf. Kalau kau tidak mengerti akan permohonanku untuk merahasiakan tentang anak itu..." "Dengan terpaksa. Kamu harus menggugurkannya, Inne!." Inne limbung, jatuh dengan lemas terbaring di lantai, menangis meringkuk dalam diam tanpa suara, dan isakan. Sakit hati mendengar permohonan keji Athar. Singkat cerita...Athar mengancamnya! Merahasiakan kehamilannya atau anaknya akan di lenyapkan! Binat*ng! Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD