SEBELAS
Inne menatap dengan tatapan teliti kesetiap sudut kamarnya sudah bisa di sebut sebagai kamar saat ini.
Keadaannya tidak semenyedihkan, dan semenjijikkan tadi.
Kamarnya yang kotor, dan baju yang berserakan diatas lantai, dan atas tempat tidurnya tadi, sudah Inne masukan ke dalam karung. Untuk Inne beri, dan bagikan pada orang susah, dan yang membutuhkannya di luar sana.
Eits, itu bukan barang-barang miliknya, maksudnya bukan barang yang ia beli dengan uangnya. Baju yang Inne masukan ke dalam karung, dan dua karung besar dengan isi muatan 75 kilo adalah baju pemberian Athar selama delapan tahun mereka menjalin hubungan.
Inne tidak ingin ada barang kenangan Athar yang tertinggal sedikit'pun di dalam rumahnya. Karena mulai detik ini, ah tidak. Tepatnya tadi, setelah Athar mengucap permohonan kejam padanya, Inne bersumpah akan belajar melupakan Athar walau itu terasa sangat sulit, dan mustahil untuk Inne lakukan.
Apalagi akhir-akhir ini, jujur saja. Inne mengidam ingin selalu berada dalam kukungan, dan pelukan hangat Athar.
Mungin anaknya nanti akan ileran. Tapi, keinginan Inne sudah terobati. Bukan! Bukan terobati sudah memeluk tubuh Athar. Ada baju kotor Athar yang tersimpan dalam keranjang pakaian kotornya di kamar mandi.
Selama dua minggu berlalu Inne selalu memeluk baju itu di saat ia mau tidur.
Walau Inne sangat benci untuk melakukannya, tapi itu keinginan anaknya. Inne menekan rasa bencinya sebisa mungkin. Kembali, lagi karena demi anaknya.
Inne menyapu bak laser pandangannya pada setia sudut kamarnya.
Bersih! Sudah tidak ada barang Athar yang tertinggal di dalam kamarnya. Satupun.
"Tempat tidur."Gumam Inne pahit.
Ranjang dengan ukuran king size itu, adalah tempat kedua yang menjadi tempat bercinta dirinya dengan Athar selama ini. Tempat ia, dan Athar meneguk kenikmatan dunia yang berlumur dosa setiap detiknya.
Inne bergidik jijik, mengingat betapa murahan, dan bodohnya selama ini.
Inne akan membuang ranjangnya itu. Ah, tidak. Inne akan memberikan ranjang yang masih baru, dan layak pakai itu pada orang yang membutuhkan.
Inne segera melangkah keluar dari dalam kamarnya. Inne akan memanggil beberapa para tetangganya untuk mengambil barang-barang yang memang akan Inne bagikan untuk mereka.
Rata-rata tetangga Inne, taraf ekonominya sedang, bahkan banyak yang masih rendah. Inne tetap tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuanya, walau Athar sudah membujuk dirinya untuk meninggalkan rumah ini sedari dulu. Inne tetap menolaknya.
Langkah Inne terhenti di depan sofa empuk, dan mahal yang menjadi tempat favorit dirinya, dan Athar bercinta setelah di ranjangnya yang ada dalam kamar.
Inne bergidik jijik di saat kilasan-kilasan dirinya yang ada di atas dan di bawah kukungan tubuh Athar, dan ia yang ada di atas tubuh Athar lalu menggerakkan tubuhnya bagai wanita panggilan diatas tubuh Athar. Jijik. Inne jijik pada dirinya sendiri yang murahn dan berlumur dosa.
Akan Inne singkirkan sofa itu juga.
"Aku baru sadar. Betapa bodohnya aku selama ini. Mau saja tubuhku di jamah oleh laki-laki yang bukan suamiku. Aku menyesal. Sangat menyesal. Aku berlumur dosa. Ampuni hamba-Mu yang berlumur dosa, Tuhan..."bisiknya lirih, dan setetes air mata berhasil melunucur membasahi pipinya.
Air mata barusan, bukan air mata untuk Athar.
Tapi, air mata yang keluar karena menangisi kebodohannya dulu bahkan sampe tadi. Di saat ia memohon dengan sangat rendah pada Athar agar mau bertanggung jawab, dan tidak membuangnya layaknya sampah seperti saat ini.
****
Inne melangkah masuk dengan tergesa menuju kamarnya. Semua isi rumahnya hampir habis di bagikan Inne pada tetanggana. Semua itu adalah barang milik Athar. Barang-barang yang memiliki kenangan indah, dan pahit dengan Athar.
Lupakan Inne. Jangan memikirkan barang- barang itu lagi. Ada hal yang sangat penting yang harus kau urus, dan kumpulkan saat ini.
Inne berlari kecil menuju uang yang berwarna merah, dan biru yang berhamburan, dan berikat- ikat diatas lantai.
Dengan semyum lirih, dan kedua mata yang berkaca-kaca. Inne mendudukan dirinya diatas lantai tanpa alas itu.
Tangannya dengan gemetar, mengumpulkan uang yang tak terhitung banyaknya itu.
Bahkan tadi, Athar melempar satu plastik kecil uang berwarna merah padanya. Meninggalkan dirinya bagai jalang, dan wanita simpanan yang mengharap uang apabila ia pergi setelah mengunjungi rumahnya.
"Kamu harus tau, Athar. Aku tidak butuh, dan suka uangmu."bisik Inne sedih.
Tapi, senyum lebar kembali terukir di kedua bibir merah tipisnya.
"Tapi dengan uang yang banyak ini, yang selalu kau lempar padaku akhir-akhir ini akan membuat hidupku mudah. Akan ku gunakan, dan
manfaatkan uang ini dengan sebaik mungkin. Membangun usaha sebesar mungkin, kalau bisa usaha yang akan menandingimu nantinya, membuat usaha kedua orang tuamu yang sombong itu bangkrut. Aku berusmpah, akan menggunakan uang ini dengan sebaik-baiknya. Akan aku gertak kamu besok. Akan aku minta lebih banyak dari ini sebagai uang tutup mulut karena tengah mengandung anakmu saat ini! Maaf, aku bukan wanita bodoh!"Desis Inne geram.
Dan dalam sekejap, Inne meraih tiga kotak perhiasan besar yang diberi Athar selama ini untuk dirinya.
Athar adalah tipe cowok yang royal selama ini terhadap dirinya.
"Kamu akan menjadi raja, nak , walau tanpa ayahmu. Dan mama akan menjadi ratu. Hidupmu akan mudah, papamu meninggalkan kita dengan uang yang cukup banyak."bisik Inne dengan senyum terpaksa yang coba ia terbitkan di kedua bibirnya.
Ya, cinta tanpa uang apalah arti hidupmu di dunia. Orang membunuh karena uang, orang korupsi karena uang, orang mencuri karena uang, dan orang bekerja mati-matian karena uang.
Cinta? Akan Inne dapatkan dari anaknya nanti. Cinta tulus seorang anak untuk ibu yang telah melahirkannya.
Tbc
Ada yg baca gk cerita ini? Sepiii eyy yg baca dan komen.....