Chapter 26

2060 Words
Jika ditilik dari jalanan yang sudah kembali mulai beraspal, dan beberapa rumah dan wewarungan mulai terlihat berjajaran di pinggir pinggir jalan, berarti mereka sudah seutuhnya keluar dari area desa desa terasingkan disana. Pun yang mana artinya, perjalanan mereka sudah berjalan selama tiga jam, yang artinya mereka akan sampai di tempat tujuan sekitar kurang lebih dua belas jam lagi. Dibalik kemudi, terlihat Syden yang kini terduduk untuk menyetir mobil kantor mereka. Dengan Britta yang ada di sampingnya. Keenam pemuda lainnya berhimpit himpitan di belakang yang dibagi tiga orang per row –tentu saja-. Mata gadis satu satunya disana sibuk menengok kearah jendela. Memperhatikan pemandangan asri, dan terkadang beberapa hewan gembala muncul di pengelihatannya. Ah.. countryside dimana pun itu, memanglah menjadi tempat yang terbaik untuk menjernihkan mata dan pikiran. Terkadang, Syden membunyikan klasksonnya jika mobil bak atau mobil milik warga sekitar lewat. Sepertinya, meskipun daerah yang masih mereka lewati ini bukanlah bagian dari desa terpencil bak desa Asgardia dan desa sebelahnya, namun daerah disini memang masihlah kental dengan lingkungan yang sangat agraris. Beberapa kali terlihat ada sepetak sawah kecil milik pribadi yang bersampingan langsung dengan ruko ruko sembako yang sepertinya menjadi satu satunya tempat untuk memenuhi kebutuhan warga sekitar hingga tak perlu jauh jauh ke pasar untuk membeli bahan makanan. Pun, sejauh mata memandang, gadis itu masih bisa melihat gunung gunung pendek yang sangat hijau terpampang jelas tanpa adanya gangguan dari polusi sekitar yang biasanya ia rasakan ketika bekerja di daerah perkotaan. Biasanya, melihat awal pun tidak akan sejernih itu saking kotornya udara akibat polusi. “Menurut kalian...” suara Eric tiba tiba terdengar di penjuru mobil. Pria yang kini duduk di paling belakang bersama Farren dan Zale itu pun masih sibuk memperhatiakan jendela, sama seperti yang lainnya. Mencoba untuk menghalaukan pikirannya dari berbagai hal buruk dengan pemandangan, namun sepertinya tidak berhasil. “apa yang membuat izin kita dicabut?” Kini, mobil mobil pribadi dan motor sudah banyak melewati mobil mereka. Entah dari arah yang berbeda atau dari arah yang sama namun meminta izin Syden untuk menyalip dengan cara membunyikan klaksonnya. Sejujurnya, ini tidaklah seperti Syden yang biasanya. Pria yang sangat menyukai kecepatan itu tidak pernah sekalipun dalam hidupnya semenjak bisa menyetir mobil, menyetir dengan kecepatan yang sebegini leletnya. Jika dihiperbolakan, mungkin bisa disamakan dengan seekor kura kura yang umuranya sudah lebih dari seratus tahun. Entahlah.. pria itu rasanya enggan untuk cepat cepat sampai ke tujuan mereka yaitu kantor pusat. Sepertinya akan terjadi hal buruk begitu mereka menginjakkan kaki mereka disana. “Apa kita tak sengaja membuat kesalahan yang kemudian didengar oleh orang pusat??” panik Kael mencoba mengingat ingat kesalahan apa yang mungkin ia buat. Ia tahu jelas bahwa ia merasa –atau memang- tidak terlalu berguna untuk team. Maka dari itu, ia mencoba untuk tidak bertingkah aneh aneh yang menyebabkan teamnya akan kesusahan. “Apa kasus ku dan Zale, lalu Eros kemudian Farren dan Britta membuat kepala kepolisian mencabut izin kita?? Apakah separah itu dampaknya??” ujarmya lagi dengan panik yang membuat Dylan menepuk pelan pahanya, mencoba menenangkan. Gelap kini mulai memenuhi seluruh indra pengelihatan mereka. Syden bahkan harus menghidupkan lampu agar mereka tidak menabrak sesuatu. Bukan, bukan tanpa sadar matahari sudah tenggelam. Hanya saja mereka melewati terowongan yang sangat gelap selama mungkin kurang lebih sepuluh menit.  Keheningan menyelimuti mereka ber menit menit kemudian. Tak ada satupun dari mereka yang ingin bicara lagi karena takut merusak suasana. Namun semuanya, tak ada satupun yang tidak merasa aneh mengenai ditariknya izin mereka mengusut saat ini. Selesai melewati terowongan, mulailah mereka melihat jalanan yang kini pepohonannya semakin sedikit, tergantikan oleh ruko ruko bahkan perumahan yang terbangun kokoh menggantikan sawah yang sedari tadi menjadi pemandangan mereka. Terik cahaya matahari yang tadinya berlindung dibalik rimbunnya daun di pepohonan mulai menampakkan dirinya karena hari ini kebetulan tak ada awan yang bisa memblokir cahaya panasnya. “Kau tahu, dua minggu pertama, disaat kita tidak menemukan bukti apapun, tak ada yang peduli apa kerja kita selama disana. Disaat minggu ketika dan keempat kita menemukan cukup banyak bukti, bahkan ada satu kasus pembunuhan dimana kita mencurigai pelakunya adalah orang yang sama, semua izin kita dicabut” ujar Zale kebingungan. “maksudku, kenapa timingnya sangat aneh sekali?? Aku tidak bisa tidak curiga jika seperti ini” ungkapnya blak blakkan. “Maksudmu mencurigai ada oknum didalam kepolisian?” “Tidak tahu” hela nafasnya panjang. “Aku tidak implisit langsung bilang ada pelakunya di suatu instansi yang membawahi kita. Maksudku seperti kepolisian, pemerintah, kejaksaan dan sebagainya- tapi maksudku tuh ada seseorang yang mempermainkan kita semua bak puppet saat ini” keluhnya lagi, membuat Farren yang mendengarnya cukup merasa terkejut. Bertahun tahun bekerja sama dengan pria itu, baru kali ini ia gamblang menaruh kecurigaannya tanpa ada bukti satupun. “Sudah sudah, kita coba istirahatkan diri saja” titah Farren. “mungkin saja izin kita dicabut karena akan digantikan oleh orang yang lebih ahli. Atau mungkin kita akan dapat kasus lain yang dirasa kepolisian akan cocok untuk kita” ujarnya mencoba menenangkan, namun malah sedikit menyulut emosi Eric. “jadi maksudmu, segala kerja keras dan pengorbanan kita di Asgardia –bahkan sebagian dari kita hampir mati- akan sia sia karena bukti dan informasi yang kita dapatkan dengan sulit akan diberikan dengan mudahnya ke team lain yang dirasa mampu?” “Aku tak tahu akhirnya akan bagaimana, Eric” jawab pria itu yang sejujurnya ia pun mencoba mendinginkan kepala. “maksudku, untuk saat ini, selama perjalanan ini, kita coba tak usah pikirkan dahulu. Jika nanti saat kita sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, baru kita bertindak” ujarnya lagi menenangkan. Tak mendengar sebuah suara apapun lagi dari rekannya yang lain, Farren melongokkan pandangannya ke depan- “Syden, jika lelah, bilang saja. Kita akan bergantian” –lalu mencoba memposisikan tubuhnya senyaman mungkin di sandaran mobil. Merilekskan tubuhnya lalu memejamkan mata. Bukan untuk tidur, melainkan berpikir keras yang diselingi doa kepada Tuhan. Namun, sepertinya doa tersebut tidak tersampaikan, atau memang Tuhan yang memiliki jalan cerita lain untuk kedelapan anak muda yang bondingnya semakin kuat meskipun baru empat minggu bersama. Ini pukul sepuluh malam. Dengan Syden yang semakin gelap semakin meningkatkan intensitas kecepatan mobil, mereka akhirnya sampai dengan wajah lelah dan badan yang remuk setelah berjam jam duduk diam didalam mobil. Baru selangkah kaki mereka menjejaki ubin teras kantor kepolisian pusat yang lampu lampunya masih bersinar dnegan terang, masih banyak orang didalamnya berlalu lalang, baik saff biasa, kepolisian hingga terdakwa, mereka malah menemukan rekan satu kantornya menatap mereka berdelapan dengan tatapan aneh. Sebuah tatapan yang tak dapat dideskripsikan karena tiap orang memiliki sorot mata yang berbeda beda. Beberapa orang menunjuk ruang pribadi milik sang kepala polisi. Maksudnya adalah agar kedelapan orang yang ternyata kedatangannya ditunggu tunggu itu untuk segera masuk dan berhadapan langsung dengan atas mereka. Mengetuk pintu kaca, lalu masuk satu persatu secara perlahan, namun yang mereka dapatka adalah puluhan kertas yang beterbangan karena dilempar ke wajah salah satu diantara mereka. Ke wajah seseorang yang ketika ia tak sengaja menatap sekilas kalimat kalimat yang ada di kertas itu, ia tak mampu melakukan apapun selain mematung dan menunduk di hadapan sang atasan. “Kalian mau tahu mengapa izin kalian beroperasi dicabut? ITU SEBABNYA” semprot lelaki paruh baya itu. Beberapa tahun bekerja dibawah arahan atasannya itu, semarah marahnya beliau, baru kali ini mereka melihat beliau meninggikan dan mengeraskan nada suaranya karena sebuah amarah. Biasanya, pria picik satu itu hanya akan bergumam menyebalkan atau bicara dengan nada meremehkan. Farren dan Kael yang tepat dibawah kaki mereka ada salah satu bagian dari kertas tadi, lekas menunduk untuk mengambil dan membaca dengan jelas apa yang terketik di kertas berwarna keabu abuan itu. “jelaskan, Syden” suaranya merendah, namun geraman masih sedikit terdengar. Belum lagi rahang yang mengeras dan mata yang semakin menajam. “Kau tahu- kau membuat malu seluruh instansi. Kau membuat malu nama kepolisian. Kau membuat NAMA KU JELEK KARENA DISANGKA TAK BECUS MEMBAWAHIMU, b******n” umpatnya sembari melemparkan gelas kecil yang biasnya digunakan untuk meminum teh panas. “Pak” sanggah Syden. “Saya memang kesana sebelum keberangkatan misi kali ini, tapi bukan untuk memperkosa seorang gadis, pak!!” ujarnya sembari berlutut dan secara tak langsung membuat Britta dan Eros yang memang belum kebagian untuk membaca isi kertas karena mereka ada di paling pojok sedikit menjengit terkejut mendengarnya. Syden?? Seorang Syden memperkosa gadis? Satu bulan hidup bersama, tidak sekalipun Britta berpikir bahwa pria jangkung itu adalah seorang pemain wanita, apalagi pemerkosa. Dia tidak pernah memanfaatkan ketampanannya untuk tebar pesona, meskipun banyak gadis di desa yang secara terang terangan mengagumi dirinya. Malah Eros dan Kael yang sesekali terlihat menangapi gadis gadis tersebut. “lalu kenapa wajahmu bisa ada disana, hah!?” ujar pak John lagi yang kini kembali isertai banyak umpatan di akhir kalimat. Pria paruh baya itu nampak menopang tubuhnya hanya menggunakan tangan yang berpegangan di meja, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk di kursi putarnya dan ia terlihat memijat tulang hidungnya kencang hingga menimbulkan bercak kemerahan bak bekas cubitan. Ketujuh orang lainnya diam tak dapat menanggapi. Semuanya menunduk tanpa bisa berkata apapun. Farren pun tak bisa mengeluarkan sepatah kata pembelaa apapun karena pria itu memang tidak tahu asal usul awal masalahnya. “Saat itu saya-“ belum sempat Syden mengeluarkan kalimat sanggahan, ucapanya kembali terpotong ketika pria yang di mejanya ada sebuah tanda dengan nama John itu mengibaskan tangannya malas. “apapun yang kau katakan sekarang, tidak akan mengubah hal lain. Mau kau buat alasan apapun” “Tapi ini bukan alasan palsu, pak! Ini nyata” “Masyarakat sudah terlanjur marah. Bisa bisanya seorang polisi, detective dalam team terkemuka yang sedang menjalani kasus yang sangat di antisipasi warga ternyata polisi yang memperkosa anak dibawah umur” ujar pria itu sembari menghidupkan cerutu mahalnya. “Kelompok kalian saya bubarkan, dan kamu-“ menunjuk asal kearah Syden- “kamu saya pecat” ujarnya kemudian berlalu keluar ruangan tanpa mau mendengarkan Farren dan Syden yang mencoba bicara. “tapi PAK” Terlambat. John sudah keluar dari ruangan dengan air wajah yang benar benar tidak enak. Eros yang ada di samping Syden tergerak untuk mengelus punggung rekannya itu pelan. Meksipun ia tak tahu pihak mana yang harus dipercaya. Ia tak tahu apakah Syden berbohong atau tidak mengenai anak dibawah umur yang katanya diperkosa oleh pria itu. Kini, semuanya keluar dari ruangan tadi, yang lagi dan lagi pergerakannya diikuti oleh banyak pasang mata akibat keributan percakapan yang sempat mereka buat. Bingung akan kemana, kini kedelapannya tengah berkumpul di atap kantor dengan mie instan cup yang ada di tangan masing masing. Perjalanan jauh dan kejadian mendadak tadi membuat kepala mereka semua berdenyut nyeri. Setidaknya mereka membutuhkan sesuatu untuk masuk ke lambung yang sedari tadi sudah berteriak protes untuk diberi asupan. “Syden” panggil Farren ketika pria itu terlihat sudah selesai menyesap air dari mie instan kuah di tangannya. Yang dipanggil hanya diam karena kedua pipinya penuh dengan makanan cepat saji tak sehat itu. “Kau tak benar benar melakukannya, kan?” dan kini anggukan yang diberikan atas pertanyaan tersebut. “Bicara dengan baik, Syden. Kau tidak melakukannya kan?” “For the god shake- AKU. TIDAK” umpatnya frustasi. “aku tidak mungkin melakukan hal sebejad itu” Sejujurnya, sedari tadi, semenjak di ruang pak John, tak ada satupun orang yang berani bersuara. Sisanya kebingungan ingin bicara apa karena malah takut semakin memperburuk suasana. Tapi Eric benar benar tak tahan. Ada banyak hal berkecimuk didalam kepalanya. “Zale dan Kael. Lalu Eros. Kemudian Farren dan Britta” ujar Eric menggumam. “Saat itu, saat di desa, sejujurnya aku takut aku yang menjadi sasaran selanjutnya” ujarnya ambigu yang mendapat nyalang tatapan kebingungan dari rekannya yang lain. “ternyata malah Syden lebih dahulu yang terkena umpannya” lanjutnya yang membuat mereka mengerti arah pembicaraan ini. “kau... benar benar hanya korban fitnah kan??” “Iya. Aku sudah mengatakannya berkali kali. Aku bersumpah demi Tuhan” ujarnya. “Aku tak ingin berspekulasi sangan cepat. Namun... namun ya ini namun. Mungkin saja Syden adalah salah satu korban terbaru dari psikopat sialan itu. Mereka terus terusan mempermainkan kita ketika menyadari bahwa lima orang yang akan dia bunuh telah lolos dari maut. Jadi mungkin saja dia merubah caranya. Dari membunuh, menjadi menyingkirkan kita dari hal yang bisa membuat kita menangkapnya. Yaitu polisi.” Ujarnya lagi. “Jadi maksudnya, nama baik Syden sengaja diperburuk agar dia tak bisa lagi jadi polisi, dan setidaknya musuh dia berkurang satu?” ujar Dylan mencoba mempersingkat, yang diangguki oleh Eric. “Kalau begitu, aku bersedia membantumu membersihkan nama baikmu”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD