Evan membuka kedua matanya ketika mendengar suara kicauan burung. Awalnya, semua tampak kabur: suara gemuruh ombak di kejauhan, air yang bergerak menghampirinya, langit cerah yang terbuka di atasnya dan juga pasir putih di bawah tubuhnya.
Mustahil!
Tubuhnya tersentak. Evan mengerjapkan matanya berkali-kali hingga ia dapat melihat dengan lebih jelas. Seekor elang merentangkan kedua sayapnya dengan gagah, terbang persis di atas kepalanya, kemudian berkicau keras. Suaranya familier. Elang itu kemudian pergi menghampiri deretan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya, kemudian menghilang di dalam hutan.
Kini pandangannya menyapu ke sekitar. Ia mendapati dirinya dikelilingi oleh pantai. Lautan lepas terbuka di hadapannya, gemuruh ombak di kejauhan menghampirinya, namun surut begitu mencapai tepi pantai. Sementara itu, persis di belakangnya, pohon-pohon tinggi berdiri berjejer menutupi hutan. Ada begitu banyak pohon di sana, setiap pohon dipenuhi oleh buah-buhan segar. Dahannya menunduk rendah di atas permukaan tanah sehingga siapapun dapat memetik buahnya dengan mudah.
Evan bangkit berdiri dengan susah payah. Luka pada lengannya masih terbuka dan entah bagaimana ia bertelanjang kaki. Pasir di sana telah menutupi luka di pergelangan tangannya. Tidak ada yang tersisa kecuali seragam yang dikenakannya dan sebuah kompas pemberian Melissa yang masih tersimpan di dalam sakunya.
Evan melangkahkan kakinya menyusuri tempat itu, terheran-heran ketika melihat ke sekelilingnya. Namun sejauh ia memandang, tidak ada dermaga di dekat sana. Jika ia terdampar di sebuah pulau, maka seharusnya ia menemukan kapal-kapal nelayan, namun seisi tempat tampak kosong kecuali karena pohon-pohon yang membatasi tepi hutan dengan lautan lepas. Evan menengadah menatap langitnya yang cerah, tidak ada kabut hitam tebal yang menggantung disana. Ia menatap ke laut lepas di kejauhan, berusaha menemukan bangkai roketnya, namun laut tampak polos dan tak berujung. Belasan ekor burung bergerak bersamaan di ujung sana, kicauannya terdengar sampai ke telinganya.
Dimana aku?
Evan mengelilingi tempat itu dengan bingung, bertanya-tanya bagaimana ia dapat sampai di daratan. Jari-jarinya meremas rambutnya dengan kuat, wajahnya memerah. Evan dapat merasakan darah mengalir deras ke sekujur tubuhnya. Rasa panik melandanya. Bagaimana ia dapat memastikan bahwa ia tidak sedang tertidur dan memimpikan semua yang dilihatnya saat itu? Atau bagaimana ia dapat memastikan pikirannya tidak dimakan oleh halusinasi semu tentang apa yang dilihatnya. Namun semua yang hadir disana tampak nyata: Evan dapat merasakan desauan angin lembut di tepi pantai menyapu wajahnya, ia merasakan luka pada lengan dan kakinya yang berdenyut-denyut, mendengar suara gemuruh ombak di kejauhan, atau bahkan merasakan denyut jantungnya yang berdetak lambat.
Tempat itu nyata! Daratan itu tampak seperti sebuah pulau dengan pepohonan tinggi dan jalur setapak menuju hutan. Belasan ekor burung terbang di atas kepalanya, seolah-olah menyambut ke datangannya. Namun ia masih bertanya-tanya bagaimana ia sampai disana.
Kemudian kemunculan seorang wanita dengan pakaian kasual menarik perhatiannya. Wanita asia itu berambut hitam, memiliki sepasang mata sipit dan hidung yang kecil. Evan melihatnya ketika wanita itu muncul di balik pohon-pohon tinggi sembari menggenggam sebuah wadah kayu di satu tangannya. Evan mengamatinya berjalan dengan kaki t*******g, berjalan menyusuri pantai dan mengisi embernya dengan air laut. Angin yang bertiup lembut menyisir rambut hitam gelapnya. Evan mengamatinya sambil terperangah. Ketika sepasang mata gelap itu menatapnya di kejauhan, Evan dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas. Wanita itu tersenyum ke arahnya dan disaat yang bersamaan suatu perasaan familier muncul begitu saja. Rasanya Evan dapat mengenali wajah itu, hanya saja ia tidak benar-benar mengingatnya. Namun momen itu berlangsung dengan cepat.
Lamunannya buyar ketika ia menyaksikan wanita itu mulai bergerak meninggalkan pantai. Rok putih sepanjang lututnya mengayun saat tertiup angin. Sama seperti Evan, wanita itu bertelanjang kaki ketika menyusuri jalan setapak untuk kembali ke dalam hutan. Sembari menahan rasa sakir pada pergalangan kaki dan lengannya, Evan melangkah dengan tergesa-gesa untuk mengejar wanita itu.
“Hei! Hei, tunggu!”
Tatapannya mengikuti kemana wanita itu pergi. Sang wanita asia telah menghilang ke dalam hutan. Evan menatap ke sekelilingnya dengan gelisah. Ia telah melangkah jauh mendekati tepi hutan, sebuah jalur setapak terbuka di hadapannya, pohon-pohon tinggi dengan dahan yang lebat dan buah-buahan segar, siap untuk menyambutnya. Evan memutar wajahnya dan menatap laut lepas di belakangnya untuk kali terakhir sebelum memutuskan untuk melangkah memasuki hutan.
Jalur itu ditumbuhi oleh tanaman hias di kedua sisinya. Belasan warna-warna indah berbaris memanjang dengan rapih. Tanah di bawah kakinya terasa lembab, tidak ada kerikil atau lubang yang terisi oleh genangan air di permukaannya. Meskipun bertelanjang kaki, ia tidak merasa kesakitan ketika menginjak rumput liarnya yang tumbuh sepanjang mata kaki. Udaranya terasa hangat. Pepohonan rindang yang berdiri mengelilingi memperlihatkan lanskap langit cerah di atasnya. Burung-burung terbang dengan bebas. Sekilas ia menyaksikan seekor kijang mengintip dari balik batu besar.
Tempat itu seperti sebuah hutan tropis – hanya saja tampak lebih indah. Tanaman yang tumbuh disana tidak kekurangan air sehingga hewan-hewan yang hidup di sekitarnya tampak makmur. Mereka berkeliaran melompati semak-semak tinggi dan dahan pohon yang tumbang dengan bebas. Dua ekor kelinci melompat-lompat di bawah pohon oak besar, belasan serangka berkeliaran mengelilingi bunga tulip yang tumbuh subur di dekat sana. Evan merasa terpukau dengan pemandangan di sekelilingnya, namun itu belum semuanya. Ketika ia melangkah lebih jauh memasuki pedalaman hutan, ia menemukan sebuah sungai kecil di dekat sana. Airnya yang tampak jernih mengalir dengan tenang menuju pusaran air terjun di kejauhan. Evan mengetahuinya karena ia dapat mengamati air sungai itu bergerak lurus menuju pusaran air yang bereru keras di ujung sana.
Kedalaman sungai hanya setinggi tumitnya. Karena airnya sangat jernih, Evan dapat melihat kedua kakinya menapak di atas permukaan sungai dengan jelas. Selain itu arusnya yang tenang juga membantu Evan untuk menyebrangi sungai itu dengan cepat. Pemandangan lain di seberang sana menanti giliran untuk memanjakannya. Evan melihat lebih banyak warna di sekelilingnya. Duri tanaman itu sama sekali tidak membahayakan telapak kakinya. Di dekat sana, Evan melihat sebuah tangga yang tersusun dari bebatuan sungai, mengarahkannya ke sebuah jembatan kayu. Ia memijaknya tanpa ragu-ragu, kemudian berdiri di atas jembatan kayu itu dan menyaksikan pemandangan arus sungai di bawahnya dan juga air terjun di kejauhan.
Ketika Evan sedang mengamati tempat itu sambil terheran-heran, sang wanita asia muncul kembali di kejauhan. Sontak Evan berlari untuk mengejarnya.
“Tunggu! Tunggu!”
Wanita itu terus berjalan menuju sebuah tempat tanpa menghiraukannya. Evan berpikir bahwa (mungkin) wanita itu tidak berbicara dengan bahasanya, namun instingnya telah menuntuh langkah kakinya untuk berjalan mengikuti kemana wanita itu pergi. Wanita itu menunduk ketika melewati terowongan kecil tanpa bersusah payah. Ketika Evan mengikutinya di belakang, ia mendapati sulur-sulur tanaman yang menggantung di atas terowongan itu memerangkapnya. Kemudian Evan memutuskan untuk melompatinya saja. Anehnya, ia tidak lagi merasakan luka padangan pergelangan kaki dan lengannya. Meskipun begitu, luka itu tetap ada disana. Evan menyadari darah mengalir keluar dari lukanya, karena itu ia menutupinya dengan kain. Sementara itu tatapannya terus mengikuti kemana wanita itu pergi hingga mereka berhenti persis di dekat sebuah pondok bambu yang dibangun memanjang ke atas.
Sang wanita memasuki pondok bambu itu dan menghilang disana. Ketika Evan berniat untuk menyusulnya, ia mendengar suara tawa seseorang di dekat sana. Kali ini instingnya memintanya untuk mencari dimana sumber suara itu berasal. Tidak sampai seratus meter jauhnya, ia melihat sebuah rumah dengan cat dinding berwarna hijau berdiri. Tidak ada pagar kayu yang mengelilinginya. Rumah itu hanyalah sebuah bangunan kecil yang berdiri di tengah hutan. Udaranya terasa sejuk di sekitar sana karena sebuah pohon oak besar yang berdiri di sampingnya.
Dari tempat persembunyiannya di balik semak-semak tinggi, Evan menatap ke arah teras dan melihat seorang wanita bertubuh gemuk dengan kulit pucat yang sedikit merah berdiri di sana. Seorang pria tua berada tak jauh di sampingnya. Pria itu menggenggam sebuah gelas yang terisi oleh air di satu tangannya saat berusaha menghibur sang wanita. Evan melihat sang wanita tertawa lepas. Pria tua dengan setelan sweter biru hangat yang dikenakannya menyipitkan kedua mata saat tersenyum lebar. Semburat warna keperakan pada rambutnya menegaskan usianya yang tidak lagi muda. Ada senjumlah kerutan di dahi dan di bawah matanya. Ketika menyaksikan keduanya terseyum lebar, Evan merasakan keakraban yang aneh. Ia dapat mendengar benaknya memintanya untuk mendekat dan bergabung dengan mereka dan ketika Evan melangkahkan kaki mengikuti kehendaknya, ia baru menyadari keberadaan pria lain yang berdiri di dekat pekarangan. Pria bertubuh tinggi, dengan sepasang bahu lebar kulit berwarna kecoklatan dan sepasang mata gelap yang familier itu sedang meletakkan potongan daging di atas pemanggang ketika Evan menghampirinya. Namun, wanita bertubuh gemuk itulah yang pertama kali menyadari kehadirannya. Sepasang mata biruya berkilat saat memandangi Evan, bibirnya mengulas senyuman lebar, ekspresinya tampak hangat dan kedua tangannya terbuka lebar ketika wanita itu menyambut kedatangannya.
“Permisi..” Evan belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika wanita itu berjalan mendekat dan mendekapnya erat.
“Oh! Kami sudah menunggumu,” katanya.
Reaksi kejut yang dialaminya membuat Evan tersentak mundur. Kini ia memandangi sepasang mata biru sang wanita yang familier. Bibirnya masih mengulas senyuman lebar sementara Evan memandanginya dengan terheran-heran.
“Aku tersesat,” ucap Evan ketika semua orang yang hadir disana mulai memandanginya. Pria tua yang berdiri di teras tersenyum dengan cara yang sama seperti wanita bertubuh gemuk yang mendekapnya. Sementara itu, pria lain yang lebih muda – kira-kira berusia akhir empat puluhan, bergerak mendekat sembari meletakkan kedua tangannya di atas pinggang.
“Kau berada di rumah sekarang,” sahut wanita itu akhirnya.
“Tidak, aku serius! Aku tersesat. Pesawatku jatuh dan.. dan kemudian aku terdampar di pantai. Aku melihat seorang wanita, wanita berambut gelap dan aku mengikutinya untuk meminta bantuan, kemudian aku menemukan kalian. Aku butuh bantuan.”
Ketiga orang itu masih berdiri di tempat mereka sembari mengamatinya. Kemudian satu dari dua pria itu menghampirinya, melingkarkan lengan ke seputar bahunya sembari tersenyum lebar.
“Apa kau kelaparan? Aku membuat barbeku.”
“Tidak!” Evan bergerak menjauh. Wajahnya memerah. “Aku rasa kalian tidak mengerti. Ini benar-benar penting, aku perlu menghubungi seseorang untuk meminta bantuan. Apa kalian memiliki telepon yang bisa kugunakan?”
Kini ketiga orang itu saling bertukar pandang. Selama beberapa detik yang berlangsung hening, Evan dilanda oleh perasaan gelisah bahwa mungkin saja ia sedang tertidur dan memimpikan semua itu. Sementara ketiga orang itu menatapnya, matanya mencari-cari ke sekeliling, namun ia tidak menemukan apapun yang terlihat janggal kecuali sebuah bangunan yang berada di tengah hutan tertutup dengan sejumlah pemandangan indah yang mustahil berada di dalam hutan belantara.
Kemudian, kemunculan wanita asia yang sama dari belakang bangunan menimbulkan lebih banyak pertanyaan di kepalanya. Segera setelah wanita asia itu berjalan mendekati teras dan memandanginya sembari mengulas senyum, wanita yang lebih gemuk berkata, “wanita berambut gelap yang kau maksud pasti Susan.”
Evan mengamati wanita itu sembari mengernyitkan dahinya. Sementara itu, Susan yang menyadari luka pada lengannya, berkata, “kau terluka. Biarkan kami membantu mengobati lukamu!”
Reaksi pertamanya adalah bergerak mundur. Evan masih menatap keempat orang itu satu persatu ketika ia memutuskan untuk meninggalkan mereka dan kembali ke persisir pantai. Pikirnya, mungkin ia akan menemukan sebuah dermaga atau pos penjaga di dekat sana. Namun Evan sudah melangkah belasan meter jauhnya ketika ia memutar wajah untuk kembali menatap ke belakang. Di kejauhan sana keempat orang itu masih memandanginya. Tatapan mereka mengisyaratkan sebuah tawaran untuk kembali kesana, tapi insting alaminya mengatakan untuk meninggalkan tempat itu dan Evan melakukannya dengan cepat.
Dengan langkah tergopoh-gopoh Evan berusaha mengingat jalur setapak yang diambilnya untuk kembali ke pesisir pantai. Namun setiap jalur tampak membingungkan. Evan menyadari bahwa selama berjam-jam ia hanya berputar-putar disana. Sementara itu, langit di atas kepalanya masih terlihat cerah. Siang terasa lebih panjang dari biasanya.
Karena panik, Evan berusaha mengikuti jejak kakinya di atas permukaan tanah. Ia berhasil menemukan sungai, namun jalur setapak di seberang sungai yang sebelumnya terbuka, kini ditumbuhi oleh pohon-pohon tinggi yang nyaris menutupinya.
Mustahil!
Evan mengingat dengan jelas pohon-pohon itu tidak berdiri disana ketika kali pertama ia melihatnya. Sementara itu, jalan lain yang diambilnya hanya membawanya ke tempat yang sama berkali-kali. Rasanya ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam berada disana, tertegun dan memikirkan jalur mana yang harus di ambil untuk dapat kembali ke pesisir pantai. Namun langit cerah tidak kunjung bergulung hingga ia akhirnya mutuskan untuk mengistirahatkan kedua kakinya dan duduk di bawah pohon oak.
Evan memetik sebuah apel dari dahan yang menggantung rendah di dekatnya dan makan dengan lahap. Namun ia baru menghabiskan sebagian apelnya ketika menyaksikan keanehan lain yang terjadi disana. Semburat cahaya berwarna jingga memenuhi langit di bagian timur. Evan menatap ke kejauhan dan menyadari bahwa cahaya itu berasal dari matahari yang tenggelam. Kemudian, ia merogoh saku dan mengeluarkan kompas pemberian Melissa dari dalam sana. Ketika Evan membukanya, jarum kompas itu bergerak tak menentu arah. Evan mengguncang kompas itu dan berharap jarumnya akan berhenti untuk menunjuk ke sebuah arah, yang terjadi jauh di luar kendalinya. Jarum kompas itu terus bergerak hingga membuatnya duduk terpaku karena bingung.
Sejumlah pertanyaan bermunculan di kepalanya. Sembari mengabaikan rasa hausnya, Evan menyapukan tatapannya ke sekeliling. Sejauh ia memandang, semuanya masih tampak sama. Tempat yang dikelilingi pohon-pohon rindang dengan buah-buahan yang segar dan air sungai yang jernih itu sejak awal telah membuatnya terpukau. Itu adalah sebuah tempat seperti yang selalu diimpikannya. Langitnya terlihat lebih dekat, dan atmosfer bumi terasa lebih tipis di sana. Setiap mamalia yang hidup di sana berkeliaran dengan bebas. Tidak ada satupun yang merasa terganggu dengan kehadirannya, ataupun mengganggunya. Alam sepenuhnya terbuka. Makanan didapatkan dengan cara yang mudah, air jernih tersedia dimana-mana. Evan dapat menghirup udaranya yang segar setiap saat. Namun disaat yang bersamaan, ia berharap menemukan jalan untuk dapat keluar dari sana karena satu-satunya hal yang ia inginkan saat itu adalah kembali ke rumah, menemui Hannah dan mengatakan kalimat sederhana yang selalu tersimpan dalam benaknya, bahwa wanita itu begitu mahir dengan pekerjaannya sebagai seorang guru, dan Evan sangat beruntung memilikinya.
Evan berusaha menghibur dirinya dengan memejamkan mata dan berharap ketika ia membukanya nanti, mimpi aneh itu akan segera berlalu.