Kapsul itu menghantam permukaan laut dengan keras, kaca jendelanya nyaris pecah. Evan dapat mendengar suara teriakan, isak tangis seseorang ketika berusaha meminta bantuan, kemudian ia menyadari bahwa para awak telah menghilang, sebagian dari mereka mungkin tewas dalam ledakan yang terjadi beberapa detik lalu, dan suara yang didengarnya tidak lain adalah suara yang muncul di kepalanya.
Matanya mengerjap beberapakali saat air dingin itu menyentuh kulitnya. Wajahnya memerah saat sekujur tubuhnya mati rasa. Evan harus berusaha keras untuk melepas sabuknya, matanya mencari-cari dimana ia dapat menemukan awak kapal lainnya. Namun bangkai mesin itu terbelah dan bertebaran dimana-mana, tak jauh disana ia dapat menyaksikan sisa api yang membakar mesin roketnya. Ketika Evan akhirnya berhasil melepas sabuk, lengannya terkilir, ia menyadari bahwa lempengan besi yang patah melubangi kulitnya. Cairan merah gelap merembes keluar dari pakaiannya, ia mendesis kencang saat rasa sakit itu menggerogotinya.
Satu.. dua.. tiga..
Nafasnya bersembus cepat. Evan menarik lempengan besi yang menancap di lengannya. Wajahnya menjadi pucat persis ketika Evan berhasil membebaskan lengannya dari besi itu. Darah membanjiri pakaiannya. Evan kemudian bergerak untuk mematikan alarm. Ia menekan serangkaian tombol mesin di dalam kapsul itu untuk dapat terhubung dengan seseorang. Suara seseorang yang dikenalinya baru saja keluar dari mikrofon kecil, namun panggilan itu terputus-putus akibat mesinnya yang teredam air. Sementara itu ia berusaha mencari radio panggil manual. Alat berwarna hitam kecil itu masih menggantung di sisi lain kursi, dan ketika Evan mencoba meraihnya, ombak pasang yang muncul tiba-tiba mengguncangkan kapsulnya hingga membuat alat itu terlepas jatuh dari genggamannya.
“Tidak, tidak, tidak! Tolong, jangan! Tidak!!”
Genangan air masuk ke dalam kapsulnya, bagian samping jendela yang pecah hanya membuat air itu mengalir lebih cepat untuk masuk ke dalam kapsul dan perlahan membuatnya tenggelam. Evan tidak memiliki pilihan selain bergerak keluar meninggalkan kapsulnya. Tangannya berpegangan erat pada bangkai roket yang terpecah ketika menghantam air dengan keras. Sementara rasa sakit akibat luka pada lengannya terasa menusuk. Evan nyaris tidak dapat merasakan kakinya yang membeku. Suhu air di sana berada di bawah nol derajat, ombaknya yang pasang membawanya terombang-ambing tak tentu arah.
Lautan kosong membentang di sekitarnya. Ketika ia memandang di kejauhan, Evan melihat sebuah kain putih yang muncul ke permukaan, jadi ia berenang membawa dirinya mendekat dengan harapan bahwa satu atau dua orang awak lainnya dapat diselamatnya. Namun ketika Evan berada semakin dekat, ia menyadari air laut yang mencabik tubuh awak itu, ketika berbalik Evan mendapati satu awak lainnya tewas dengan pecahan mesin yang menancap di tubuhnya. Pakaian yang mereka kenakan membuat tubuhnya mengambang di atas air, sementara wajah pucatnya menatap ke arah langit.
Hawa panas menjalar naik ke atas wajahnya. Evan berenang menjauh, ia berniat untuk kembali ke kapsulnya sebelum menyadari bahwa ombak pasang telah menghisap benda itu ke dalam air. Tubuhnya mengambang di tengah lautan dimana tidak ada apapun selain air dan ombak pasang. Air bah itu seperti mengisapnya. Ia tidak dapat merasakan jari kaki dan pergelangan tangannya yang membeku, jadi Evan membaringkan tubuhnya di atas bangkai mesin yang terpecah. Kedua matanya terpejam dan ketika ia membukanya, langit membentang luas. Suara gemuruh air di sekitarnya menggema keras, kemudian ada suara lain seperti kicauan seekor burung yang terbang bebas. Samar-samar Evan mendengar suara gadis kecil yang bernyanyi di dekatnya. Suara itu seperti kicauan lembut burung di udara. Tatapannya terkunci, sesuatu telah menarik dirinyanya jatuh ke dalam pusaran yang dalam, dimana semua pintu-pintu yang terkunci rapat kini terbuka. Kemudian ia menyaksikan sebuah cahaya di atas langit berkedip. Setelah belasan tahun, cahaya itu muncul kembali dan kali ini cahayanya membesar. Evan berpikir bahwa dirinya telah berhalusinasi karena tiba-tiba, ia menyaksikan portal langitnya terbuka. Seekor burung elang muncul di balik awan tebalnya. Kicauannya terdengar kencang. Bahkan di tengah gemuruh ombak, Evan masih sanggup mendengarnya.
Evan memejamkan kedua matanya dengan rapat, menarik nafas panjang sementara tubuhnya terombang-ambing di tengah lautan lepas, jauh dari daratan, jauh dari pelabuhan – hanya ada air dimana-mana dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan dirinya.
Rasa putus asa menyergapnya. Evan membuka mata untuk menatap ke sekelilingnya. Kemudian ia menyaksikan sebuah ombak pasang di kejauhan menghampirinya. Ia menunggu, berpikir untuk berenang menjauh, namun tubuhnya membeku. Tangannya merogoh ke dalam saku, ia meraih benda logam kecil berbentuk bulat yang ditinggalkan putrinya disana, kemudian ia membuka pengatupnya.
Sebuah kompas.
Evan menarik rahangnya, tersenyum, kemudian memejamkan mata sembari meremas alat itu di tangannya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia berdoa. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia berharap keajaiban benar-benar terjadi. Namun harapan itu muncul bersamaan dengan rasa putus asa. Nyatanya kesedihan dan rasa bersalah telah mendominasi perasaannya dan dalam momen itu – berhasil menggerogotinya.
Air mataya bergulir ketika ia menatap ombak di kejauhan mulai bergerak mendekat. Evan memutar wajahnya menengadah untuk menatap ke atas langit, kemudian mulai berhitung ketika mendengar suara gemuruh air yang besar bergerak ke arahnya dan hal terakhir yang disaksikannya adalah sebuah ombak besar yang bergerak semakin dekat sebelum menghantam tubuhnya dengan keras.