5 - Berhenti Meratapi

1737 Words
“Hallo pak Untung? Sudah ada kabar dari orangtuanya?” Tanya Mike di panggilannya. “Hallo Pak Bos, tidak Ada.” Sambutnya dengan Nada kecewa. Mike seketika mengingat kembali ucapan Adis padanya tadi tentang orang tuanya yang tidak mungkin datang secepat itu. Bandara mana? Surabaya-Jakarta 28 jam. “Saya akan ke kelab nanti, saya mampir kesana.” “Jam besuk sudah habis Bos, anda langsung ke Klab saja, Teh Nina baru saja datang mau menemani.” “Sudah datang? Tidak masalah saya hanya ingin lihat saja, ini juga sudah akan sampai” “Ah, baik Pak Bos!” *** Di dalam ruangan perawatan Adis terus menatap pada pintu. "Mana mereka? Mana? tidak ada bukan! Bahkan tidak menghubungiku untuk menanyakan kabar atau setidaknya berbasa-basi jika terlambat datang." Sudah menjelang malam Adis masih terbaring dipembaringan ia kini mulai merasakan nyeri pada kaki dan tangannya sebab efek obat bius sudah hilanh . Adis tampak menggeser-geser layar ponsel miliknya, ‘Wafda’ Apakah aku harus mengabarinya? Bukankah diamasih menjadi kekasihku? What kekasih? Sejenis apa itu? Tidak! Adis mengurung niatnya. Wafda bahkan tidak pernah mengabari sudah seminggu ini. Cklak “Assalamualaikum, Mbak Adis! Ya Allah mbak kok bisa seperti ini!” Teriak Teh Nina melihat perban-perban pada tangan dan kaki Adisa. Adis menoleh pada pintu yang dibuka, Sudut bibir seketika tertarik,“Waalaikum salam, biasa teh Adis kan sedang cari perhatian, gitukan kata Ayah seperti biasa.” “Mbak Adis jangan gitu mungkin ibu sama bapak benar-benar sedang sibuk.” “Sibuk?” Bibir adis menyimpul sebuah cibiran, “Berikan Adis alasan lain teh Adis sudah capek mendengar kata sibuk, sedang operasi, sedang pertemuan.” “Ya sudah ya mbak yang sabar, saya tau Mama sama ayahnya mbak Adis itu sebenarnya sayang sekali sama mbak Adis cuma saja terkadang kesibukan mereka membuat semua sayang itu seperti tidak ada.” “Untuk Adis, kalau untuk kak Tasya?” Adis menyunggingkan bibirnya. “Teh sudahlah berhenti menyenangkan hati aku teh” “Mbak—" “Stop teh! Sudah Adis capek!” “Maafin Adis Ya Allah, Adis ngeluh, Adis tidak kuat lagi”Lirihnya mulai mulai meloloskan bulir beningnya. Pembantu rumah Adis pun mengangguk pelan membiarkan Adis bergelut pada fikirannya, Adis yang terlihat keras, ceria, periang kini menangis di pembaringannya. Teh Nina tidak tahu harus apa sebab terkadang tidak bisa dipungkiri kedua orang tua Adis memang tampak memperlakukan berbeda antara Tasya dan Aeisa. “Astagfirullah, kok ya jadi ikut-ikutan!” Bathin wanita yang tidak muda lagi itu sembari membereskan pakaian Adis beberapa barang-barang penting milik anak majikannya itu. “Teh, ada paket baju dari butik tidak?” Adis mengingat sesuatu sedikit bangkit menyeka air matanya. “Ada Mbak, Eh itu baju—" Mbak Adis besok Wisuda bukan ya?” Adis mengangguk kemudian melihat pada kaki dan tangannya bagaimana bisa dia menghadiri acara yang akan menjadi sejarah untuknya sebagai moment berakhirnya ia yang telah bersusah payah menempuh pendidikan. “Selain ayah yang sudah bilang tidak bakalan datang menghadiri wisudaku karena malu karena aku pernah buat masalah sama Pak Handoyo Rektor dikampusku, sepertinya keadaan juga tidak mendukung ku untuk datang ya teh.” “Itu kan kejadiannya sudah lama toh Mbak, coba deh tanya bapak lagi, kali aja bapak sudah lupa dan besok datang ke rumah sakit sekalian anterin Mbak Adis wisudaan. ” Adis tergelak mentertawai dirinya sendiri, “Mustahil teh, Ayah tidak pernah menarik ucapannya. Apa lagi saat itu teteh lihat kan ayahmarah sekali padahal jelas si Renata yang salah mukul aku duluan mentang-mentang bapaknya rektor jadi ya…. sudah aku yang tanpa bukti bisa apa?” “Tapi mbak Adis memang dulu itu badung banget, tengil Ya Allah gusti!” Adis menarik nafasnya berat “Maafin Adis Teh , terimakasih selalu udah belain Adis dulu sampai sekarang.” Lirihnya. “Nyesel Mbak?” “Kalau dibilang nyesel ya nyesel tapi mau gimana lagi sudah terjadi” “Kata orang, Itu kenakalan remaja yang sedang mencari jati dirinya sih mbak. Nggak apa-apa mbak yang penting sekarang itu bisa jadi acuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik justru kalau tidak sadar dan tidak menyesal itu yang bahaya.” “Mungkin itu ya Teh alasan Mama dan Ayah lebih sayang kak Tasya atau jangan-jangan aku anak nemu kali ya atau anak dibuang dirumah sakit terus di pungut mereka.” “Husssss Mbak Adis, ada-ada saja! tidak ada orang tua yang tidak sayang sama anak, selama ini Mbak Adis itu salah paham saja, Mbak Tasya itu kan sering sakit jadi perhatian terkadang terlihat hanya kepada mbak Tasya saja.” “Tu kan, lagi-lagi teteh lagi-lagi berusaha menenangkan hati aku...” Kelakar Adisa. *** Malam ini harusnya ia sudah bersiap-siap untuk acara besok, acara yang sangat ia tunggu setelah lama. Tapi kembali lagi manusia hanya bisa berencana dan berusaha jika belum di kehendaki oleh sang pemilik kekuasaan aku bisaapa? Bathin Adisa mencoba menerima keadaan yang tengah terjadi. Di luar ruangan Mike baru saja tiba ia membawa beberapa bawaan ditangannya. “Pak Untung…” Tegur Mike pada lelaki tua yang tampak lelah dan kini sedang tidur dibangku teoat didepan ruangan. Lelaki tua itu cepat tersadar, Mengusap wajahnya seketika, “Eh-eh iya Pak Bos sudah sampai? Pak Bos diizini masuk?” “Ah itu bukan hal sulit. Bagaimana keadaannya?” Mike terlihat terburu-buru melihat lada arlojinya sudah pukul 23:24 malam. “Sudah tidur, tadi dia kesakitan tapi sudah di tangani perawat, jika mau lihat silahkan, Si Nina juga sudah tidur!” Lelaki dengan outfit kaus dan celana jeans biru tuanya itu memberikan bungkusan bawaannya kepada pak Untung ia pun gegas masuk untuk melihat keadaan Adisa pelan-pelan membuka pintu tidak ingin membangunkannya. Mike menatap pada orang yang dipembaringan gadis itu tidak tidur melainkan sedang menatap kosong kedepannya. Air mukanya seperti menyiratkan ia seperti sedang memikirkan sebuah beban dan permasalahan. Ya lagi-lagi tentang Wafda dan Kak Mayra, orang tua ditambah ia yang gagal ke acara besarnya. Seketika Adis menyadari ada yang mengintip di daun pintu ia menatap lamat-lamat pada pintu yang samar pencahayaan itu. “Om?” Mike pun melangkah masuk saat Adis melihat kehadirannya. “Kenapa tidak tidur?” “Sudah tadi.” Pak Untung pun menyusul masuk kemudian “Mbak Adis kok bangun lagi?” “Aku capek tidur terus, Om itu kenapa datang lagi, Pak Un juga kenapa tidak pulang, kenapa mau kasihani aku ya!” Serganya. “Tengil! Bersyukur ada yang menjengukmu, kau sangat tidak bisa menghargai kebaikan orang lain!” “Bukan tidak bisa Om, tapi Adis memang tidak kenapa-kenapa, kalian itu sudah buang-buang waktu untuk aku yang bukan apa-apa ini, bahkan orang tuaku saja tidak sudi memberikan waktunya untukku,” Lirihnya. “Mbak Adis sudah-sudah jangan seperti itu. Ayo istirahat lagi!”Alihkan Pak Untung ucapan Adisa. Mike tidak bisa berkata apa-apa lagi ini bukan porsi dia untuk turut campur namun entah kenapa ia merasa lirih pada gadis itu. “Apapun itu istirahatlah, saya juga harus pergi!” Tandasnya. Kalau bukan karena Tasya tidak mungkin aku mau susah payah seperti ini. Umpat Mike masih terus melihat kepada Adisa. “Mbak Adis, katanya besok wisudaan ya mungkin Pak Un sama Teh Nina bisa anterin, mau? Atau Om Mike bisa ikut anterin juga?” “Apa saya?” Tunjuk Mike pada dirinya sendiri Pak Untung tergelak, “Sekali-kali Pak Bos!” “Terimakasih Pak Un. Aku tunggu ayah dan Mama saja, kalau mereka tidak mau ya sudah aku tidak akan pergi” “Mbak Adis—" Lirih Pak Untung ia tau kedua orang tua Adis tidak akan pergi sebab malu anaknya yang selalu membuat onar dikampus. Adis melengkungkan senyuman dengan mata yang memancarkan kesedihan.“Iya Adis tau pasti Pak Un yakin itu tidak akan terjadi kan?” “Bukan itu mbak—" “Dimana acara wisudaannya, aku saja yang akan mengantarkannya!”Potong Mike kemudian. Adis melihat pada lelaki yang ia panggil Om itu melampirkan smirk mengejeknya. “Yang benar saja?” “Kenapa? Jika tidak mau tidak masalah aku juga tidak—" “Tidak apa? Tidak perlu membuang-buang waktu untuk ku? Ya sudah siapa juga yang mau.” Sanggah Adisa menekankan ucapannya. Mike memijat pada pelipisnya, “Ketengilan yang membatu!” Ucap Mike pelan ia bisa lihat gadis itu begitu keras akan tetapi ia sedih, ia merasakan sakit itu sebabnya ia cukup sensitif dia rasa semua orang hanya mengangapnya adalah beban. Kali ini Mike mendekat pada Adisa berusaha berbicara lebih dari hati ke hati, “Aku pernah sepertimu, marah pada keadaan benci pada hidupku kenapa semuanya pergi. Aku hancur, aku sendirian, aku kesepian saat kedua orang tua ku meninggal secara bersamaan pada kecelakaan helikopter, rasanya semua yang mendekat hanya mengasihaniku beberapa ada yang berkhianat aku kecewa marah dendam. Tapi aku lihat aku sadar jika terus seperti ini terus mengutuki diri sendiri menyalahkan yang tidak perlu disalahkan aku hanya akan semakin membuang semua hal berharga yang sudah aku punya, waktu dan juga kesempatan baik dihidupku, perlahan aku pun mulai bangkit mulai menata hidup. Aku belajar mencari peluang yang lebih baik, belajar banyak hal yang bermanfaat lakukan apa yang ku suka, apa yang aku mau, ku acuhkan semua yang ku anggap hanya menghalangi langkahku." “Tapi orang tuaku masih hidup Om! Cerita Om sangat berbeda denganku” “Aku lebih menyedihkan bukan? Tidakkah kau bersyukur kau mempunyai orang tua? “Sekarang masalah mu dimana? Apa kau sudah melakukan yang membuat orang tuamu bangga ketika kau tidak memilih yang mereka pilihkan? setidaknya kautidak membuat mereka sakit dengan hal-hal yang kau buat!” “Bagian mana aku menyakiti mereka?” “Tengil, sini ku beritahu? Kau akan selalu kalah dimanapun jika tentang orang tua, kau hanya seonggok daging tidak berguna jika bukan karena mereka, sekarang apapun yang kau rasakan, Merasa salah atau benar, sakit atau marah, luka atau kecewa, hidupmu harus terus berjalan, setidaknya kau harus menjadi sesuatu bukan hanya selalu menentang dan merasa paling terluka!” Wajah Adisa menunduk, Mike benar ia hanya terus tenggelam dalam perasaannya saja begitu banyak waktu yang ia buang hanya untuk meratapi diri. Beberapa saat ia merenung mencerna ucapan Mike hingga ia merasa tertampar akan dirinya. Hemmm… “Temani aku besok Pak Un, teh Nina—" Adisa merasa ragu meminta kepada Mike sebab tadi sudah menolaknya. “Baiklah jika kau tidak mau aku antarkan! Apapun itu bangkitlah!” “Mau.” Mike Menyeringai “Dasar tengil!! Baiklah aku, Nina dan Pak Untung akan menghantarkan mu!” “Hanya dua kursi!” Sergah Adisa. “Ya sudah Teh Nina sama Pak bos saja saya tunggu diluar. ” Pak Untung menimpali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD