Bab 3: Kau, Aku Dan Masa Lalu 3

1614 Words
# Wawan menepati janjinya membawa Jenny ke beberapa tempat wisata terbaik yang tidak mungkin bisa Jenny temukan kalau dia mencarinya sendiri. Berkat Wawan, liburan tidak terencana Jenny kali ini tidak hanya di hiasi oleh sakit akibat alerginya dan kemudian berguling-guling di atas tempat tidur hotel nyaman. “Terima kasih Wan, rasanya menyenangkan bisa melihat semua pemandangan yang ada di semua tempat tadi. Terutama air terjunnya,” ucap Jenny saat mereka dalam perjalanan kembali ke hotel. Tanpa Jenny sadari Wawan merona mendengar ucapannya tersebut. “Berapa lama kau akan berada di Bogor? Masih banyak tempat yang bisa kau kunjungi nanti, aku belum membawamu ke bukit durian, resor terkenal yang ada di sentul, dan farmhouse yang tidak kalah terkenalnya dengan yang ada di Bandung,” balas Wawan. “Entahlah, tidak ada rencana yang pasti. Aku bisa saja berada di kota ini selama seminggu lagi, tapi mungkin besok aku malah akan mencoba mengunjungi kota lainnya,” ucap Jenny. Dia sedang memikirkan pertemuannya dengan Kinan, sahabatnya yang juga adalah sahabat Arther. Sudah dipastikan kalau keberadaannya di Bogor saat ini sudah diketahui oleh Arther lewat Kinan. Mengetahui hal itu, seharusnya dia segera melarikan diri dari kota ini dan pergi ke tempat lain sebelum Arther datang dan menyeretnya kembali ke sisi pria itu. Akan tetapi Jenny tidak tahu kenapa ada sisi dari dirinya yang ingin menguji sampai sejauh mana Arther akan berusaha untuknya? Sejauh ini hubungan mereka sudah terlanjur rusak sampai ke tahap yang membingungkan. Bukan lagi murni sebagai atasan dan bawahan tapi juga belum benar-benar menjadi sepasang kekasih dengan tujuan yang jelas. “Bisakah kau tinggal lebih lama di kota ini? Kita baru bertemu hari ini setelah bertahun-tahun. Kau menghilang dan keluargamu ...” “Wawan, aku senang bisa bersama denganmu hari ini tapi apa bisakah kita tidak membicarakan tentang keluargaku?” potong Jenny. Untuk sesaat ekspresi wajahnya menggelap. Wawan benar-benar mengutuk bibirnya yang hampir saja menyebut tentang keluarga Jenny padahal bahkan sebelum Jenny dan Kakaknya pergi, dia sudah tahu kalau Jenny membenci ketika orang-orang mulai membahas tentang keluarganya. Dia bahkan sempat melihat sekilas tadi kalau tanda pengenal Jenny hanya memuat namanya saja. Hanya Jenny tanpa nama belakang. “Maafkan aku.” Nada suara Wawan terdengar sendu. Namun kemudian Jenny menepuk tangannya pelan sambil tertawa. “Apa-apaan dengan wajah dan suara yang murung itu? Jangan membuat liburanku ternoda dengan wajah murungmu. Astaga, pantas saja kau terlihat lebih tua padahal kita seumuran. Kau masih saja pemurung,” seloroh Jenny. Wawan akhirnya tersenyum saat melihat Jenny yang dalam sejenak sudah kembali ceria. “Kalau begitu, apa aku bisa bertemu lagi denganmu?” tanya Wawan. Jenny mengerjap menatap Wawan. “Wawan, apa mungkin kau memiliki perasaan lebih kepadaku sejak masa sekolah kita dulu?” tanya Jenny tiba-tiba. Wawan merasa jantungnya tiba-tiba seakan berhenti berdetak mendengar pertanyaan Jenny. Dia terdiam selama beberapa saat sebelum kemudian mendengar Jenny kembali tertawa. “Aku hanya bercanda. Bagaimanapun tidak mungkin kau suka kepadaku karena kau adalah penggemar nomor satu Kakakku,” ucap Jenny akhirnya. Wawan terdiam. Dia ingin mengatakan kalau bukan kakaknya tapi Jennylah yang disukainya namun bibirnya terkunci. Rasanya belum tepat mengatakan perasaannya sekarang karena dia tidak ingin Jenny malah berakhir menghindarinya, jadi dia menahan kalimatnya hanya di hatinya saja. “Mungkin kau benar,” ujarnya. “Kita sudah sampai,” lanjut Wawan. Wawan kemudian memarkirkan mobilnya dan membantu Jenny untuk menurunkan beberapa makanan dan kue yang dia beli. “Padahal tadi kau hanya perlu menurunkanku di lobi. Ini hanya kue dan makanan saja. Tidak berat untuk aku tenteng, ” ucap Jenny. “Aku ingin mengantarmu sampai setidaknya kau masuk ke lift menuju lobi.” Wawan bersikeras sambil dengan cepat meraih tas berisi kue dan makanan yang Jenny beli. Jenny hanya tertawa mendengar ucapan Wawan. Tidak ada alasan baginya untuk menolak permintaan pria itu. Keduanya akhirnya berjalan beriringan memasuki lobi hotel sambil bercanda dan tertawa mengenai masa sekolah dulu. Namun tawa di wajah Jenny mendadak menghilang ketika mereka akhirnya berada di lobi. “Aku seharian berputar-putar di Bogor sampai terjebak macet. Liburannya menyenangkan?” Jenny menarik napas panjang mendengar pertanyaan Arther. Dia mengira setidaknya besok atau lusa baru Arther akan menemukannya tapi tidak disangka kalau pria itu akan muncul lebih cepat dibanding perkiraannya. Hal itu membuatnya merasa kesal tapi juga senang di saat yang sama. “Amat sangat menyenangkan sih Pak,” jawab Jenny. “Kau lupa ya Jen? Di luar kantor kau boleh memanggilku Arther,” balas Arther. Sudut matanya melirik kesal ke arah Wawan yang berdiri di samping Jenny dengan memegang beberapa bungkusan dengan logo makanan terkenal di Bogor. “Kak Arther. Baiklah. Seperti ketika aku SMA,” ucap Jenny. “Arther. Tanpa embel-embel Kak. Kau bukan anak SMA lagi,” balas Arther. Mereka memang selalu berdebat tentang panggilan. Jenny memutar matanya. “Aku sudah mengajukan surat resign,” ucap Jenny. “Resign? Apa itu? Sejenis makanan ringan? Aku baru saja membuat aturan baru di kantor kalau semua karyawan tidak diperbolehkan resign, kecuali dipecat. Lagi pula, laporan yang kuterima adalah cuti,” ucap Arther. “Oke. Cuti. Dan cutiku belum selesai.” Jenny tidak mau kalah. Keduanya akan terus berdebat andai saja Wawan tidak menengahi. “Permisi, apa Anda atasan Jenny di kantor?” tanya Wawan. “Bukan,” jawab Arther. “Ya,” jawab Jenny bersamaan dengan Arther. Wawan mengerjap bingung pada jawaban keduanya. Jenny dan Arther saling berpandangan sesaat lamanya dan kemudian sama-sama menarik napas panjang. “Dia waliku,” ucap Jenny akhirnya. “Dia bawahanku,” ucap Arther di saat yang bersamaan. Wawan tampak semakin kebingungan melihat keduanya. Di satu sisi, keduanya tampak lebih akrab dari sekedar atasan dan bawahan namun disisi lain, panggilan yang digunakan Jenny kepada pria tersebut membuat semua orang akan berpikir kalau pria itu adalah atasannya. Akan tetapi, atasan seperti apa yang akan datang menemui bawahannya yang sedang liburan? Bahkan sampai datang ke hotel tempatnya menginap? Jenny menarik napas panjang. “Mau Bapak apa sih?” tanya Jenny kesal. Arther melirik salah satu tentengan di tangan Wawan. “Astaga, Roti mini! Aku benar-benar suka makanan ini dan aku benar-benar lapar!” seru Arther setelah berhasil merampas salah satu tentengan Wawan. Jenny memutar matanya melihat bagaimana Arther yang terlihat jelas sedang berpura-pura di matanya. “Maafkan aku Wan. Kenalkan dulu, ini Arther Subagja. Dia atasan dan juga waliku sampai beberapa tahun lalu, meski dia masih suka bersikap dan merasa kalau dia adalah waliku bahkan setelah aku dewasa,” ucap Jenny. Wawan memaksa senyuman di wajahnya. “Oh begitu. Aku Wawan Kurniawan, teman SMP Jenny,” ucap Wawan. Dia mengulurkan tangan lebih dulu untuk menjabat tangan Arther. Entah kenapa dia merasa seperti pernah mendengar nama Arther di suatu tempat, hanya saja dia tidak ingat. Tapi Arther malah tertawa terbahak-bahak membuat Jenny dan Wawan mengerutkan dahi bingung. “Astaga nama apaan itu? Di dunia ini mana ada orang yang memberi anaknya nama effortless seperti Wawan Kurniawan, kau bercanda kan? Banyak sekali awan di namamu. Apa kau lahir ketika mendung? Kenapa bukan Hendrawan Kurniawan? Sama-sama ada awannya tapi terdengar sedikit ada effortnya.” Arther jelas sedang mengejek Wawan. Ini caranya melampiaskan kekesalan saat menerima laporan dari salah satu orang yang dia minta untuk menyelidiki dan mencari tahu tentang Jenny. Selain itu Arther juga masih ingat dengan jelas foto yang dikirimkan Kinan kepadanya menunjukkan kalau Wawan dan Jenny tidak sekedar akrab namun benar-benar akrab. “Maaf, orang tua saya memang sederhana. Selain itu saya percaya kalau mereka sudah berusaha memberi nama yang baik untuk saya meskipun mungkin terdengar seperti nama yang kurang usaha di telinga Anda,” ucap Wawan. Wawan sudah cukup lama mengulurkan tangannya sebelum akhirnya Arther menyambutnya. “Salam kenal. Wan Wan,” ucap Arther. “Namanya Wawan. Ya ampun Arther,” ucap Jenny akhirnya. Dia tidak mengerti kenapa seorang yang terhormat seperti Arther malah dengan terang-terangan menghina sahabatnya seperti ini. Terlebih lagi ini di lobi hotel dan kehebohan sikap Arther otomatis mengundang tatapan beberapa orang ke arah mereka. “Wan Wan lebih bagus. Ber-a- Wan Wan,” ejek Arther. Dia mengeja pengucapan nama Wawan. “Maafkan sikapnya Wan. Terkadang dia memang seperti ini kalau lapar,” ucap Jenny menyindir Arther dengan meniru slogan salah satu iklan TV. “Tidak apa-apa, kurasa mungkin Arther justru butuh air mineral. Kudengar kalau kurang minum air putih, seorang yang dengan penampilan bonafit sekalipun bisa memiliki pemikiran seperti anak SD,” sindir Wawan pada Arther. Arther menatap Wawan dengan alis terangkat. “Kau bilang apa?” tanya Arther. Kali ini senyumannya menghilang. Dia berdiri tegak dan menatap Wawan dengan tatapan kesal yang kentara. Tapi sebelum Wawan menjawab. Jenny sudah lebih dulu menengahi. “Sekali lagi aku minta maaf Wan, tapi kurasa sekarang sudah waktunya aku beristirahat. Lagi pula aku sangat capek. Terima kasih untuk bantuanmu hari ini,” ucap Jenny. Dia segera mengambil semua bawaannya dari tangan Wawan. Jenny dengan cepat mendorong Arther masuk ke dalam lift. “Kau bilang lapar bukan? Ayo cepat naik supaya kau bisa makan rotinya sampai meledak,” lanjut Jenny. Dia tahu kalau Arther adalah tipe orang yang senang mencari masalah dengan orang yang tidak disukainya. Hanya saja dia benar-benar tidak memahami kenapa Arther terlihat sangat tidak suka dengan Wawan yang ramah dan sopan di pertemuan pertama mereka. Di sisi lain, Wawan hanya bisa terpaku menatap pintu lift yang sekarang tertutup. Hatinya sedang hancur secara perlahan. Jenny membawa seorang pria ke dalam kamar hotelnya dan bahkan mereka terlihat lebih seperti sepasang kekasih dibandingkan atasan dan bawahan atau hubungan apa pun yang dibilang Jenny kepadanya. Wawan bukan orang bodoh yang tidak bisa membaca situasi. Sekali lagi dia harus kehilangan Jenny, cinta pertamanya tepat di depan matanya. Sama seperti bertahun-tahun lalu. “Sepertinya kau, aku dan masa lalu memang harus menjadi kenangan saja Jenny,” ucap Wawan pelan. Patah hatinya kali ini jauh lebih sakit dibandingkan ketika dia masih sekolah dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD