Bab 4: Kita Ini Apa? 1

1591 Words
# Cape Town Hills adalah sebuah area pemakaman mewah yang dipenuhi dengan banyak pepohonan. Di tempat ini setiap makam berderet dengan rapi. Disisi setiap makam ada sebuah tempat yang bisa digunakan untuk meletakkan foto kenangan dari orang yang dimakamkan di tempat itu. Di salah satu makam, tampak seorang pria berdiri tegap menatap foto di depannya. Foto seorang wanita cantik yang tengah tersenyum cerah sambil memeluk seorang pria. “Indah sekali. Jadi dia menyediakan makam seindah dan semahal ini untukmu sementara aku membusuk di penjara dan merusak lambungku dengan makanan penjara yang sama sekali tidak enak,” ucap pria itu. Pria itu kemudian menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya ke udara. “Kenapa sih kau harus bunuh diri dengan meninggalkan banyak masalah kepadaku? Karena kau mati makanya si bodoh itu bisa menang dan menginjakku seperti ini! Tapi kau tahu? Aku akan mengambil kembali semua yang sudah direbutnya dariku. Aku juga akan mengambil miliknya lagi. Kau tahu kan? Adik kecilmu cantik juga, sama sepertimu. Aku bahkan bergetar hanya dengan melihat fotonya. Dia mirip denganmu. Aku ingin tahu, kalau dia kuambil apa si bodoh itu akan menangis seperti saat aku dulu mengambilmu darinya? Aku penasaran,” ujar pria itu lagi. Seorang pengunjung lain yang tampak melempar tatapan menilai ke arah pria itu karena kalimatnya yang terdengar vulgar untuk di ucapkan di depan makam seseorang. Namun pria itu membalas tatapan pengunjung yang lewat dengan tajam. Dia kemudian mematikan rokoknya di atas makam sebelum akhirnya melemparkan puntung rokoknya sembarangan. Seorang penjaga keamanan yang melihat itu segera menghampirinya. “Pak! Dilarang mengotori makam dan membuang sampah sembarangan!” tegur petugas keamanan makam tersebut. Namun tepat sebelum dia berbicara lebih jauh, pria itu sudah meninju wajahnya hingga dia tersungkur jatuh. “Kau pikir kau siapa?! Kau kira kau bisa mengaturku hah?!” “Hentikan Nathan Subagja! Apa kau ingin kembali ke penjara lagi?!” Suara teguran seorang wanita yang baru datang membuat Nathan Subagja akhirnya berhenti melayangkan tinjunya pada petugas keamanan yang sudah terkapar tidak berdaya di hadapannya itu. “Halo Mama atau haruskah sekarang aku memanggilmu dengan sebutan Tante Anne saja? Mama kan bukan anggota keluarga Subagja lagi sejak menikah dengan orang asing itu,” ejek Nathan. “Tutup mulutmu Nathan. Kalau kau masih menyimpan keinginan untuk menyingkirkan Arther dan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikmu, setidaknya cobalah untuk tidak kembali ke penjara dengan mengendalikan emosimu sendiri!” ucap Nyonya Anne dengan nada tegas. Dia lalu memerintahkan pada asistennya, seorang pria bertubuh kekar untuk membereskan masalah yang sudah diperbuat oleh putranya di pemakaman mewah tersebut. Nathan tertawa mendengar kalimat ibunya. Namun ketika Nyonya Anne menatapnya lagi dengan tajam, segera dia membuat gerakan tangan seperti menarik ritsleting dari kiri ke kanan untuk menunjukkan kalau kali ini dia akan mendengarkan ucapan ibunya tersebut. # Jenny menatap Arther yang sekarang dengan seenaknya berputar-putar dan mengecek mulai dari kamar mandi, tempat tidur, bahkan hingga isi kulkas. Sejujurnya, ada sisi dalam dirinya yang merasa senang saat melihat bagaimana Arther bersusah payah menemukannya seperti ini, meski sisi lain dalam dirinya terus saja mendorongnya untuk menjauh dari pria itu. Jenny meneliti penampilan Arther dan saat itu barulah dia menyadari kalau Arther menenteng helm sejak dari lobi tadi. “Kenapa kau harus membawa-bawa helm segala?” tanya Jenny. Arther menoleh pada Jenny. “Tidak memanggilku Bapak lagi?” ejek Arther. Jenny menarik napas pelan. “Kenapa Bapak membawa-bawa helm segala?” Dia mengulang pertanyaannya lagi. Arther tersenyum memamerkan gigi putihnya yang memang bersih dan terawat sejak kecil. “Coba tebak. Tapi jangan pakai Bapak. Kita kan bukan di kantor dan tidak sedang kerja,” ucap Arther. Jenny mengamati helm di tangan Arther tapi pria itu malah mengambil tangan Jenny dan meletak benda itu di kedua tangan Jenny. “Aku berkorban besar hanya untuk menemuimu di tempat ini dan kau malah sedang bersenang-senang dengan Si Wan Wan itu. Suruh dia kembali ke dalam game. Nama sama terdengar kurang bermanfaat,” tambah Arther. “Wawan. Namanya bukan Wan Wan dan sebagai tambahan informasi, dia tidak suka main game,” balas Jenny kesal. Meski begitu nada suaranya tetap terdengar datar, dia sudah terlampau terbiasa dengan sisi gelap Arther yang memang senang membuat orang kesal. Jenny meletakkan helm itu di atas meja. “Jangan bilang kau menukar mobil mewahmu dengan motor dan helm buluk ini?” tanya Jenny akhirnya. Arther tersenyum sambil mengangkat bahunya acuh. “Helmnya memang bulukan tapi itu Diversion XJ900P! Mesin 892cc, empat silinder segaris, tenaga sampai 89tk dan torsi 83Nm. Yang lebih istimewanya lagi, ini kendaraan khusus Polisi dan hanya bisa dimiliki oleh umum dengan mengikuti lelang. Harganya bisa sampai dua ratus lima puluh jutaan. Keren kan.” Arther menjelaskan dengan penuh semangat. “Mobil mana yang kau tukar dengan motor ‘keren’ ini?” tanya Jenny datar. Arther menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yang hitam, yang sejenis dengan yang pernah kau tabrakan ke pohon dulu,” ucap Arther. Dia enggan menyebut merek dan mobil mana dengan jelas meski dia juga tahu kalau Jenny akan langsung bisa menebak mobil mana yang dia maksud. “Bagaimana bisa kau menjadi pengusaha dan bahkan di anggap saingan oleh Pak Hansel selama ini sedangkan kau bisa-bisanya menukarkan mobil seharga 1,8 M dengan motor seharga dua ratus lima puluh jutaan,” ucap Jenny. Dia sudah terduduk lemas cukup dengan tahu mobil mana yang ditukarkan Arther. “Bagaimana surat-suratnya?” tanya Jenny lagi. “Kan ada dirimu. Nanti kau urus saja balik nama dan lain-lainnya, apa pun itu. Selama ini kan bukan hal yang sulit untukmu mengurus hal-hal seperti itu,” jawab Arther enteng. Jenny tiba-tiba merasa kalau tenggorokannya mendadak kering mendengar ucapan Arther. Dia ternyata salah sudah merasa senang dengan kemunculan Arther dengan embel-embel untuk membawanya kembali ke Jakarta. Pria ini, bosnya ini adalah masalah berjalan. “Aku tidak mau,” ucap Jenny menolak. Arther menatap Jenny sesaat. Lalu kemudian dia tersenyum. “Fine. Tinggalkan saja di sini. Nanti biar asisten yang menggantikanmu itu, si Rina yang mengurus semuanya atau orang lain. Kita punya karyawan yang bekerja di salah satu anak perusahaan yang ada di Bogor?” tanya Arther. “Kau tidak punya anak perusahaan di kota ini, adanya di Yogyakarta. Dan kau juga tidak punya asisten pengganti bernama Rina,” balas Jenny. Terkadang Jenny merasa kalau Arther memiliki kepribadian ganda. Dia bisa konyol dan cemerlang di waktu berbeda atau mungkin alasan Arther bisa menambah kekayaannya seperti sekarang adalah karena kerja kerasnya sebagai asisten selama ini? “Oh, oke. Namanya Rani?” tebak Arther asal. Dia malah dengan santai membuka kotak kue oleh-oleh Jenny dan mengambil satu potong lapis bogor bentuk donat. “Namanya Rian,” ucap Jenny mengoreksi. “Baiklah. Rian. Biar dia saja yang mengurus. Kau akan kembali denganku besok,” balas Arther. “Aku tidak ingin naik motor. Lagi pula, memangnya kau punya SIM khusus moge? Lupakan saja Arther. Aku akan pulang sendiri,” ucap Jenny. Arther menahan tangan Jenny. “Kau akan melarikan diri lagi bukan? Kenapa? Apa yang kurang dari semua yang kuberikan kepadamu? Kalau kau mau, kau malah tidak perlu bekerja dan cukup berada di sisiku,” ucap Arther. Kali ini wajahnya berubah serius. Tawaran itu mungkin akan terdengar menyenangkan atau bahkan menggiurkan untuk wanita lain. Tapi tidak bagi Jenny yang paham benar dengan karakter Arther. Hanya saja, bahkan hingga detik ini dia juga tahu masih ada rahasia yang tersimpan di antara mereka berdua. Sesuatu yang membuat Arther tidak bisa melepaskannya tapi juga tidak benar-benar mampu mengikatnya selain dengan pekerjaan. Terkadang Jenny menyesal telah membiarkan dirinya sendiri masuk dalam hubungan yang tidak seharusnya dengan Arther dan dia merindukan kondisi di mana dia tetap menjadi Jenny si asisten merangkap sekretaris yang bekerja bagai kuda untuk atasan yang seenaknya seperti Arther. Arther menarik tubuh Jenny semakin dekat kepadanya. Membuat Jenny tersadar kembali dari lamunannya. Dia tidak menolak saat Arther memeluknya “Aku tidak bisa tidak bekerja kalau berada di sisimu karena hanya di situlah sedikit harga diriku masih tersisa,” ucap Jenny sendu. “Kau ingin kita menikah? Aku tinggal mempersiapkan semuanya. Kita bisa menikah kapan saja,” ucap Arther. Bagaimanapun dialah yang memulai percikan api di antara mereka berdua dan dirinyalah yang harus bertanggung jawab untuk itu. “Tidak. Hentikan. Kau tahu kenapa Kinan tidak mau menikahimu dulu? Bukan hanya karena Hansel tapi karena dia sadar kalau kau tidak bisa mencintainya sampai kapan pun. Begitu juga aku,” ucap Jenny dengan mata berkaca-kaca. Menyebalkan memang saat dia menyadari kalau ternyata dirinya mencintai pria di depannya tersebut jauh lebih besar dari yang bisa diberikan Arther untuknya. Sementara hati Arther tidak akan pernah bisa menjadi milik orang lain, termasuk dirinya. “Aku bisa belajar,” ucap Arther. Tapi bahkan Jenny tahu, setelah beberapa tahun berlalu Arther masih tidak bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Jenny tidak ingin menjadi pengganti Kakaknya meski dia sendiri tidak bisa mendorong Arther menjauh, terlebih ketika Arther terus menerus mencarinya seperti sekarang. “Aku benar-benar bisa belajar.” Arther mengulangi ucapannya. Jenny menatap Arther. “Arther, cinta itu bukan sesuatu yang dipelajari tapi dirasakan,” bisik Jenny. Perlahan dia menarik wajah Arther mendekat dan mengecupnya lembut. Arther membalas kecupan Jenny dengan cara yang paling primitif yang dia bisa. Ini bukan pertama kalinya untuk mereka. Atau lebih tepatnya bukan kesalahan pertama yang mereka lakukan. Dan satu dosa selalu membawa pada dosa lainnya tanpa bisa dihentikan. Batas profesional di antara keduanya sudah terlanjur ternoda dan meski dengan egois Arther berusaha untuk tetap setia pada hubungannya dengan Jenny. Namun dia tidak pernah bisa memahami betapa menyakitkannya bagi wanita untuk berada di posisi Jenny saat ini. Wanita terkadang bisa menjadi serakah untuk memiliki seseorang baik itu hati hingga raganya. Dan keserakahan itu selalu membawa penderitaan. Apa pun bentuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD