Daya mengetuk pintu kamar Ezra beberapa kali. Tidak ada jawaban. Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Tapi lampu kamar Ezra masih menyala, artinya, pria itu masih terjaga. Kali ini terdengar suara Ezra yang memintanya menunggu dari dalam kamar.
Ezra membuka pintu dengan handuk di pinggang dan jejak basah di wajah.
Daya menelan ludah gugup. Gugup karena tubuh topless Ezra dan gugup karena ingin mengakui dosa.
"Saya ingin bicara sebentar, bisa Pak?"
"Oh. Saya pakai baju dulu. Tunggu saja di sana." Ezra menunjuk sofa ruang tamu yang dijawab Daya dengan anggukan kepala.
Sepuluh menit yang terasa lama bagi Daya, didengarnya suara pintu kamar Ezra terbuka dan pemiliknya tengah berjalan ke arah tempat di mana Daya menunggu dengan cemas.
Ezra duduk di sofa lain, yang bersebrangan dengan Daya.
"Ada apa Daya?" Ezra duduk dengan nyaman sambil bersandar, sementara Daya duduk tegap sambil meremas kedua tangan.
"Ss—saya ingin meminta maaf, Pak."
"Untuk?"
"Malam itu, saya—dengan lancang masuk ke ruang kerja Bapak." Ezra menatap Daya dengan sabar, tidak ada roman terkejut di wajahnya. Membuat Daya berpikir bahwa Ezra mungkin sudah tahu akan hal ini. "Siang hari itu, saya dan Troy sedang mencari kertas untuk membuat layangan. Troy membuka laci meja kerja Bapak dan menemukan ponsel yang berisi video cctv."
Tidak ada tatapan mengintimidasi dari Ezra, sebaliknya, dia tampak penasaran dengan penjelasan Daya.
"Troy membuka file yang ada di dalamnya, saya ikut melihat layar ponsel. Hingga—"
Tatapan Ezra kini semakin tajam, membuat Daya merasa ditusuk – tusuk oleh tatapan itu.
"Troy melihat tante Vivi di dalam rekaman itu dan saya segera mengambil ponselnya saat melihat—" Daya berdeham tidak nyaman.
"Oke," potong Ezra. "Terus, apa yang membuat kamu kembali masuk ke dalam sana malam itu?"
Daya sadar, tidak ada ejekan dalam pertanyaan Ezra. Namun, perasaan bersalah membuatnya merasa diejek oleh kalimat tanya tersebut.
Dia menunduk dalam – dalam, tidak lagi mampu menatap wajah Ezra yang masih tenang.
"Dorongan pikiran iseng saya ingin melanjutkan melihat rekaman cctv itu."
"Rekaman cctv apa?" Kali ini Ezra berbisik, membuat Daya semakin menunduk.
"Rekaman pribadi Bapak dan tante Vivi." Jawab Daya dengan suara seperti tercekik.
"Saya berterima kasih, kamu mengalihkan perhatian Troy untuk berhenti melihat rekaman itu." Jantung Daya berdegup cepat, dia tahu bahwa tindakannya tidak termaafkan.
Dia sungguh lancang melihat hal pribadi milik tuannya.
"Tapi tindakan kamu untuk melihat rekaman itu lagi sangat disayangkan, Daya."
Daya terisak, dia meminta maaf pada Ezra yang kini mendesah berat.
"Maaf, Pak. Saya sungguh menyesal." Isak perempuan itu, membuat Ezra mengusap wajahnya.
"Oke. Jangan ada tindakan yang kedua dan seterusnya ya, Daya." Ujar Ezra bijak. "Yasudah, sekarang kamu tidur. Di kamar Troy saja enggak apa – apa. Hari Minggu saya akan panggil tukang ac untuk benerin yang di kamar kamu."
"Bapak enggak marah?" Tanya Daya polos.
Matanya yang sembab, membuat Ezra terenyuh.
"Salah saya juga yang simpan sembarangan. Kamu jadi tergoda deh." Candanya, bermaksud agar Daya tertawa.
Namun wajah cantik itu semakin merunduk dan Daya kembali meminta maaf, membuat Ezra menyesali candaannya yang tak tepat waktu. Sungguh Ezra tidak suka melihat wanita menangis dan dia berharap kata – kata penghiburan tadi mampu membuat Daya menghentikan tangisan penyesalannya.
"Saya benar – benar menyesal, Pak." Isaknya lagi.
"Iya, Daya. Saya tahu. Sudah ya jangan nangis lagi." Bujuk Ezra, Daya mengangguk dan mencoba menghapus airmatanya.
Namun, sorot lampu yang tidak terlalu terang, waktu yang merangkak tengah malam dan suasana sepi, membuat siapapun yang berada di situasi ini tidak mampu menolak pesona Daya yang terlihat rapuh dan tampak polos dengan wajah sembab. Dan Ezra masih pria normal itu, yang menyadari bahwa hormon testosteron mampu bereaksi dalam keadaan yang menjebaknya seperti ini. Berduaan dengan wanita dewasa, yang secara fisik semua orang tentu bisa menilai bahwa Daya memang menarik.
Ezra menyadari ketika tangan kanannya meraih bahu kiri Daya, membuat wajah cantik itu menoleh kaget. Kemudian, diusapnya bibir bawah Daya dengan jempol sebelum dilumatnya dengan rakus dan membuat gadis itu mematung di bawah serangan mendadaknya.
Dan Daya bukanlah gadis polos yang asing dengan aktifitas itu. Seketika, dorongan untuk membalas ciuman Ezra dilakukannya tanpa ragu. Mereka saling mencium, dengan tangan saling memeluk. Tangan kanan Ezra bahkan tidak ragu menelusuri punggung perempuan itu, hingga turun ke pinggang dan berakhir di b****g milik Daya.
Remasan pada bokongnya membuat Daya semakin b*******h. Disentuhnya punggung Ezra tanpa malu. Hingga suara pintu dan panggilan Troy membuat sepasang orang dewasa itu melepaskan diri dengan cepat.
"Kak Daya!" Suara Troy membuat Daya tersadar dan segera menghapus bekas cumbuan Ezra di bibirnya yang terasa membengkak.
"Iya Troy!" Jawab Daya.
Troy menghampiri mereka berdua yang kini terlihat salah tingkah. Sebut saja, Ezra yang mengambil salah satu majalah dan pura – pura membaca di bawah penerangan yang temaram. Dan Daya yang segera menghampiri anak asuhannya dengan cepat seraya bertanya mengapa dirinya terbangun.
"Aku mau pipis." Rengek Troy dan Daya mendengar desahan napas kasar milik Ezra.
"Ayo Kak Daya antar," Daya membawa Troy kembali masuk ke dalam kamar dan tidak berani melirik Ezra yang masih meredam amukan hormonnya di sana.
***
Daya terbangun pukul lima pagi, ponselnya berbunyi tanda pesan masuk. Sebuah pesan dari bu Desi yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa datang bekerja membuatnya urung untuk melanjutkan tidur. Di sebelahnya, Troy masih terlelap. Daya mengelus rambut Troy perlahan dan berterima kasih dalam diam, interupsi Troy membuatnya tidak melangkah lebih jauh dengan Ezra tadi malam.
Daya tahu, akan sanggat canggung jika dirinya bertemu dengan Ezra nanti. Namun dia harus mengumpulkan akal sehat dan mensugesti diri bahwa kejadian tadi malam tidak ada dan tidak perlu dibahas. Mereka hanya sepasang manusia yang terbawa situasi dan sudah seharusnya tidak diperpanjang lagi.
Selesai menuntaskan aktifitas pagi, Daya sibuk melakukan pekerjaan bu Desi. Menyiapkan sarapan untuk kedua tuannya. Lalu memasukkan baju – baju kotor ke dalam mesin cuci dan meninggalkannya untuk melakukan hal lain.
Suara pintu kamar yang dibuka dan derap langkah ringan yang sudah dipastikan milik Ezra, terdengar. Meski puluhan kali Daya memerintahkan jantungnya untuk tenang, tapi rupanya tidak dapat ia bohongi reaksi keperempuanannya ketika mendengar suara Ezra yang sedang meregangkan badan.
"Bu Desi kemana, Ya?" Tanya Ezra dengan suara serak bangun tidur.
"Uhm—anu, bu Desi izin ke rumah sakit Pak. Anaknya masuk rumah sakit lagi."
"Oh ya ampun."
Ezra menarik salah satu kursi meja makan dan menuangkan kopi yang sudah dibuat Daya dalam coffee maker. Membuat Daya semakin salah tingkah di tempatnya. Daya bahkan mendadak blank ketika sudah menggenggam pisau yang akan digunakannya untuk mengiris sosis.
Ezra yang menyadari hal itu, berdeham membersihkan tenggorokannya dan berkata dengan tegas.
"Saya minta maaf soal malam tadi. Saya tidak bermaksud melecehkan kamu."
Daya mengintip dari rambutnya yang terurai, Ezra tengah menunduk memandangi isi gelas kopinya dan mendesah berat.
"Saya benar – benar menyesal atas kejadian tadi malam."
Daya berbalik dan mengangguk pelan, kemudian kembali melanjutkan memasak. Tidak ingin Ezra meneruskan pembahasan soal malam tadi. Dirinya merasa malu dan canggung karena terhanyut akan pesona Ezra.
"Biar saya yang bangunkan Troy." Pria itu bangkit berdiri, membuat suara kursi yang bergeser terdengar berisik di pagi yang damai.
Kepergian Ezra dimaanfatkan Daya untuk menetralkan detak jantungnya dan bernapas dengan benar.
•••