"Ayaaaaaahhhh."
Troy berlari dan menjerit senang melihat seorang pria yang baru saja memasuki rumah besar ini tanpa Daya sadari.
"Halo Jagoan! Lagi apa? Eyang Uti kemana?" Tanya pria itu belum melihat Daya yang tengah duduk di ruang tamu dan sibuk meremas tangannya sendiri demi menenangkan jantungnya yang berdetak cepat, serangan gugup dan panik di saat yang bersamaan.
"Yang Uti lagi masak, aku lagi main sama kakak itu." Troy mengarahkan jarinya ke Daya yang mengangkat wajahnya dan tersenyum.
Pria itu, berusia di awal tiga puluhan, Daya berani jamin. Tubuhnya yang tinggi, ramping, cukup berotot dan tegap, menandakan bahwa jadwal ke gym sudah pasti rutin dilakukannya setiap minggu. Kulitnya kecoklatan bersih sangat kontras dengan bocah dalam gendongannya yang putih seperti s**u.
Hidungnya mancung dan mencuat di ujung sangat manis dan serasi dengan bibir kecilnya yang agak tebal menghitam, perokok aktif. Matanya juga berbeda dengan Troy, jika anak itu memiliki mata yang bulat dan besar seperti Daya, lain dengan ayahnya yang bermata kecil dan dan menjorok ke dalam. Singkatnya, pria ini tampan dan aura kebapakkan yang kental menguar begitu saja dari caranya menatap Troy dan tersenyum pada Daya.
"Yang dibilang Siska kemarin ya?" Pria itu kini berdiri tak jauh dari sofa yang berhadapan dengan Daya.
Daya berdiri dan mengulurkan tangannya, "Iya Pak, saya Daya. Teman Siska."
"Taksa Ezra. Silakan duduk."
Pria itu membalas uluran tangan Daya, singkat dan tegas. Lalu melambaikan tangannya ke arah sofa mempersilahkan Daya untuk kembali ke posisi awalnya.
"Saya hanya punya waktu sampai jam 2 Daya, ehm...saya persingkat deh ya. Kamu bisa menemani Troy 24/7?"
"Setiap hari dalam seminggu?" Ezra mengangguk mantap, senyuman tak lepas dari wajahnya yang tampan. "B-bbisa, Pak."
"Oke. Sebenarnya kami tidak tinggal disini, uhm. Kami tinggal di perumahan tidak jauh dari kantor saya. Sementara tidak ada pengasuh maka Troy saya titipkan dengan Ibu. Tapi ibu juga tidak bisa urus Troy setiap hari. Ditambah kesehatan ayah saya belakangan ini kurang baik, membuat ibu sangat kerepotan." Ezra mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, seraya berpikir. "Kamu keberatan kalau tinggal dengan kami? Karena saya akan sering tidak pulang dan meninggalkan Troy beberapa hari."
Istrinya kemana?
Meski bingung, Daya mengangguk. Toh ia memang sedang ingin bersembunyi dari dunianya Boy, takut-takut jika pria itu kembali dan menariknya lagi untuk terlibat.
"Untuk gaji. Terakhir kamu mendapatkan gaji berapa? Jangan salah paham, saya hanya ingin mengetahui seberapa besar pengalaman kamu."
Daya menelan ludahnya dengan sulit, "t--ttujuhh juta, Pak."
"Oke tujuh---APA?" Ezra tersentak mendengar gaji pengasuh sebesar itu. Kerja dimana dia sebelumnya?
"Di Negara mana? Kamu pernah kerja di luar?" Tanya Ezra lagi.
Daya kikuk, "b-bbukan Pak, tapi pekerjaan saya terakhir itu." Daya merasa mulutnya kering, "sekretaris."
Ezra menatapnya tidak percaya, kemudian ia berhasil mengendalikan keterkejutannya. Alisnya terangkat satu, kedua lengannya menautkan jari-jari di atas meja sekarang. Daya sudah yakin akan membuat calon bosnya terkejut jika mengetahui nominal yang rutin mengalir di rekeningnya sebelum masalah ini terjadi. Daya hanya berani menyebutkan gaji pokok saja, agar pria di hadapannya tidak mempermasalahkan dan berpikir bahwa Daya keberatan dengan berapapun gaji yang ditawarkan.
Bu Elisa datang dari arah dapur, mengajak Troy, Ezra dan Daya untuk makan siang.
"Nanti kita lanjutkan, sekarang ikut makan siang dulu saja."
Ezra berdiri diikuti Troy dan Daya yang kini merasakan punggungnya dingin. Ia takut tidak dapat kesempatan bekerja dengan Ezra. Kemana lagi dia harus mencari penghasilan?
"Kamu asli mana Daya?" Bu Elisa membuka percakapan setelah menandaskan minumannya.
Daya yang sudah selesai lebih dulu, membersihkan tenggorokannya sebelum menjawab. "Jakarta, bu."
"Orangtua tinggal dimana?"
"Saya besar di panti asuhan, Bu."
"Ya ampun, maaf Daya."
Daya tersenyum maklum, "enggak apa-apa, Bu."
"Terus sekarang kamu kost atau tinggal dengan siapa? Siska bilang kamu single." Kali ini Ezra yang bertanya.
"Kost, Pak." Sebenarnya Daya tinggal berdua dengan Boy, tapi dirasa tidak etis jika dia menceritakan hal itu.
Ezra mengangguk, "kalau begitu, siap dong pindah dan tinggal bareng dengan kami?"
Daya mengangguk, berapapun gaji yang diberikan dia akan menerima pekerjaan ini. Soal tempat tinggal dia tidak perlu pusing untuk bayar kost dan lain-lainnya.
"Tapi Mas, kamu cuma bertiga di rumah itu enggak apa-apa?" Bu Elisa menatap wajah putranya.
Daya melihat kemiripan yang sangat pada wajah ibu dan anak itu.
Dan, apa tadi. Bertiga? Ibunya Troy dimana?
"Aku akan jarang pulang juga, Bu, kasian kalau dari sini Troy jauh banget ke sekolahnya." Ezra meyakinkan ibunya.
Daya mengerti kekhawatiran bu Elisa. Seorang pria dewasa dengan wanita dewasa yang bukan kerabatnya tinggal di atap yang sama, hanya ditemani seorang anak sekecil Troy tentu akan mengundang tanda tanya. Tapi Daya akan menjaga diri dan tak akan merayu bosnya yang baru.
Daya bahkan jijik dengan pemikiran ini, mengingat saat dia sedang merayu Lucky untuk mendapatkan uang.
"Ah, kamu juga bisa mengajarkan Troy di rumah nanti. Itung-itung merangkap menjadi guru les pribadinya Troy." Ezra menambahkan, Daya mengangguk sambil tersenyum. "Kapan kamu siap bekerja?"
Daya mengucap syukur dalam hatinya, "as soon as possible, Pak." Jawabnya, "ehm tapi, Pak, ada yang perlu bapak ketahui tentang saya dan alasan saya mau mengambil bidang pekerjaan ini."
Ezra dan bu Elisa saling melirik. "Kamu bisa katakan disini, ibu saya juga perlu tahu."
Daya menghela napas, "saya dalam pengawasan kepolisian."
Daya menanti reaksi dari kedua pendengarnya, kemudian melanjutkan kata-katanya. "Saya perlu melaporkan kemana saya pindah, jika tidak ingin masuk dalam DPO."
"Masalah apa yang sedang kamu hadapi?" Ezra hanya mendapatkan informasi dari Siska, bahwa she's in trouble but she's just a victim. Dan tidak tahu persis pokok masalahnya.
Daya pun menceritakan semuanya. Tentang Boy dan Lucky, juga alasan dia tidak akan pernah bisa bekerja dalam Perusahaan-Perusahaan raksasa di luar sana. Namanya masuk dalam daftar hitam, karena kasus skandal dengan bosnya dan pemerasan yang dilakukan Boy.
"Pacar kamu, sekarang hilang?"
Daya mengangguk, "dan saya enggak tahu dimana dia. Seorang anggota kepolisian membantu saya untuk mendapatkan status saksi, karena bagaimanapun saya tidak tahu menahu kegiatan Boy yang sebenarnya."
"Apakah aman, jika kamu dalam perlindungan polisi, sementara pekerjaan ini adalah menjaga seorang anak kecil." Bu Elisa meremas bagian depan dasternya dengan wajah sarat khawatir.
Ezra meraih lengan sang ibu, menenangkannya.
"Selama Daya tidak bepergian dan tetap dalam rumah selama saya tidak ada, saya pikir itu aman. Lagipula, rumah Ezra kan ada CCTV, Bu. Ezra bisa pantau dua puluh empat jam."
Bu Elisa tampak berpikir ulang, membuat Daya pasrah akan keputusan keluarga di hadapannya ini.
"Berarti kamu dilindungi, apa perlu saya buat laporan tertulis untuk mempekerjakan kamu?"
Daya menatap Ezra tidak percaya, sempat berpikir mungkin ia akan diusir setelah menceritakan semuanya. Reaksi Ezra sungguh diluar perkiraannya. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Sesegera mungkin Daya menghapusnya.
"Saya yang akan buat laporan. Seharusnya Bapak tidak boleh tahu status saya, tapi saya tidak ingin Bapak terkejut di belakang jika mengetahui status saya sebagai saksi."
"I see. Kamu bisa ambil baju-bajumu dan kembali kesini sore nanti? Saya akan pulang jam 7 dan menjemput kalian untuk pulang."
"Bisa."
"Daya, sebisa mungkin jangan sering keluar rumah tanpa Ezra ya? Kecuali sekolah." Pesan bu Elisa yang masih khawatir, Daya mengangguk.
"Saya akan menjaga Troy dengan baik." Jawabnya tegas.
Ezra merasa yakin dengan kata-kata Daya dan tersenyum.
"Oke Jagoan, ayah kembali ke kantor ya. Nanti malam kita pulang." Ezra mengangkat Troy dalam gendongannya.
"Mbak Devi diganti kakak itu, Yah?" Tanya Troy polos.
"Iya. Namanya Kak Daya, Troy mau kan main dengan kak Daya?"
"Mau." Jawab Troy dengan antusias.
Ezra mengecup puncak kepala putranya dengan penuh kasih sayang. Mencium tangan ibunya dan tersenyum pada Daya.
Daya bersyukur, Ezra sepertinya akan menjadi bos yang baik. Seperti Lucky, sebelum bisikan Boy mengubah segalanya.
***
Fortuner hitam yang dikendarai Ezra membelah jalanan Jakarta. Daya yang duduk di bangku belakang, masih tidak percaya dengan keberuntungan yang masih tersisa. Daya pikir, dirinya sudah kehabisan keberuntungan saat masalah bertubi-tubi menyerangnya sejak bayi.
Daya tahu, orangtuanya tidak menginginkan dia. Ibu Penny, pengurus panti asuhan tempat Daya dibesarkan menceritakan bagaimana dia menemukan Daya bayi. Dalam sebuah kardus dan hanya dibungkus selimut tipis dan secarik kertas bertuliskan sebuah nama.
Dengan keadaan tubuh yang membiru, Daya hampir mati kedinginan dan dehidrasi saat itu. Namun sepertinya, Daya memang ditakdirkan sebagai perempuan pejuang. Setelah lolos dari maut saat bayi, bertubi-tubi masalah menghampiri. Seiring dirinya beranjak dewasa. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk lari dari panti bersama Boy.
Ya, mereka melarikan diri saat lulus SMP. Boy yang berusia tiga tahun di atas Daya, menjadi sosok kakak dan keluarga yang tidak pernah Daya miliki.
"Daya--" Daya tersentak, Ezra mengajaknya bicara tapi dia sedang asyik dengan lamunannya.
"Iya, Pak?"
"Umur kamu berapa?"
"Oh, 27. Saya seangkatan dengan Siska, Pak."
"Hmmm." Ezra melirik Daya dari kaca spion, menyadari kebingungannya "tanya aja yang kamu mau tanya, Daya."
"M-mmaaf, Pak, istri Bapak tidak tinggal dengan Bapak dan Troy?"
"Saya enggak punya istri." Ezra menjawab dengan tawa.
"Oh maaf, Pak, jadi ibunya Troy sudah enggak ada?"
"Ada." Jawabnya singkat.
Daya menatap bingung sebelah punggung Ezra yang tengah mengemudi. Di samping kursi pengemudi, Troy sudah tertidur pulas.
"Ibunya Troy tinggal di Hongkong. Kami tidak pernah menikah." Lanjut Ezra, santai.
"Troy tahu?"
"Enggak. Tapi dia mengerti, bahwa tidak semua anak bisa punya ibu."
"Maaf kalau ini terlalu pribadi untuk Bapak, saya mengerti."
"Santai saja, kamu memang perlu tahu. Nanti Troy akan bertanya sama kamu, apa kamu punya ibu atau tidak seperti dia. Hal-hal seperti itu, saya harap kamu bisa menjawabnya dengan bijak." Ezra tersenyum, menolehkan kepala dan kembali fokus pada jalanan di hadapannya.
"Saya mengerti." Jawab Daya pelan. "Seenggaknya Troy lebih beruntung dari saya. Bapak masih menginginkan dia dan mau merawatnya."
"Kamu--" Ezra tidak meneruskan kata-katanya.
"Saya dibuang saat bayi, oleh siapapun yang tidak menginginkan kehadiran saya."
"I'm so sorry to hear that, Daya."
"Anda pria yang bertanggung jawab. Troy beruntung memiliki anda." Lanjut Daya, bibirnya menyunggingkan senyum.
"I hope so." Ezra membelokkan mobilnya di sebuah gerbang perumahan cluster. "Saya ingin menikahinya, tapi dia tidak menginginkan Troy. Anak kami. Dan saya tidak bisa melepaskan Troy, dia darah daging saya."
"Seandainya orangtua saya berpikiran sama seperti Bapak."
"Forget it Daya, hidup harus berlanjut. Mungkin orangtua kamu menyumbang s****a dan darah yang menjadikan dirimu, tapi mereka melepaskan ikatan itu sendiri. Be strong." Daya agak terkejut dengan pilihan kata Ezra, tapi dia menyesuaikan diri.
Daya tersenyum mendengar petuah Ezra, kata-kata yang kurang lebih sama dengan yang Boy katakan saat Daya menangis ingin mencari ibunya.
Tampaknya Ezra pria yang berpikiran bebas. Daya tidak heran saat melihat Troy dan bagaimana Ezra menceritakan hubungannya dengan ibu kandung Troy. Dia juga mudah sekali menceritakan tentang dirinya dengan santai padahal mereka baru saja kenal hari ini.
Rumah Ezra adalah rumah minimalis yang elegan. Memiliki tiga kamar tidur dan satu ruang kerja. Daya bisa melihat bahwa banyak perubahan dari bangunan asli pada rumah ini.
Ezra menggendong Troy dan membawanya ke kamar. Daya mengikuti seraya membawakan tas dan peralatan sekolah Troy.
"Besok saya akan antarkan ke sekolah. Selanjutnya kamu bisa menggunakan ojek online untuk pulang pergi, atau kamu bisa bawa motor? Saya ada motor matic."
Daya menjawab bisa. Ezra mengangguk.
Pria itu menunjuk sebuah pintu, "itu kamar kamu. Saya juga mempekerjaan asisten rumah tangga untuk bersih-bersih dan memasak. Namanya bu Desi, tapi dia pulang pergi."
Ezra duduk di ruang makan, mempersilahkan Daya untuk duduk juga.
"Kamu enggak mau nanya gaji kamu berapa?"
Daya tersenyum canggung, "saya serahkan ke Bapak, saya cukup senang dengan tumpangan tinggal di sini. Meringankan beban saya daripada kost sendiri di luar."
"Hhm oke. Untuk mengasuh dan menjaga Troy, saya berikan dua juta. Dan untuk menjadi guru belajarnya, saya tambahkan satu setengah juta. Ada masalah?"
Ezra meminta maaf karena Daya harus menerima gaji di bawah dari penghasilan terakhirnya.
Daya tersenyum lebar, dalam hati dia bersyukur. "Tidak, Pak, itu sudah lebih dari cukup."
Ezra tersenyum, "saya enggak bisa sepelekan pendidikan kamu juga. Wow! Troy akan diasuh oleh seorang sarjana." Ucap Ezra berlebihan, membuat pipi Daya bersemu merah.
Di benaknya Daya berpikir, apa pekerjaan pria ini? Gaji yang diberikannya lumayan besar untuk ukuran seorang pengasuh. Hampir setara dengan pekerja kantoran.
Ezra meninggalkannya untuk beristirahat setelah saling bertukar nomor telepon mereka. Kamar yang Daya akan tempati sangat rapi, mungkin bu Desi membersihkannya setiap hari, pikirnya.
Membaringkan tubuhnya, Daya tersenyum senang. Terima kasih Tuhan, bisiknya. Dan Daya pun tertidur.
•••