Pemuda tampan berkulit putih yang memiliki badan gagah tegap itu berkacak pinggang, berjalan mondar-mandir di hadapanku. Mau tidak mau kepalaku mengikuti kemanapun ia melangkah. Satu yang aku sukai darinya, mulutnya ceriwis hingga melengkapi karakterku yang sebenarnya pendiam. "Ini tuh udah enggak bener, Sayang. Masa iya si Tante Sari tuh minta kamu nikah sama suaminya! Terang-terangan minta kamu jadi madunya, mereka berdua tuh udah enggak waras kayaknya! Terus kamu bilang apa? Jangan-jangan kamu setuju?" Cerocosnya setelah mendengar ceritaku. "Ya enggaklah. Gila apa, aku setuju!" tegasku. "Ya kadang 'kan kamu suka gitu, mengikuti rasa iba kamu ke orang lain tanpa memikirkan diri kamu sendiri!" katanya sambil menarik dan membalik kursi hingga ia duduk dengan posisi terbalik, memeluk