Dokter Sahara! Dokter! Dokter Sahara! Dokter Sahara!
"Dokter Sahara?"
Sahara tersadar dari lamunannya. Menatap lebar Kara yang berdiri membungkuk di depannya. Wajah perempuan itu tampak khawatir. Matanya melihat tangan Sahara yang penuh darah - bergetar sangat hebat hingga darah itu menetes ke jalanan. Namun bukan darah itu yang membuat Sahara terpaku.
Sama sekali bukan darah itu.
"Dokter baik-baik saja?" tanya Kara.
Sahara mengangguk kecil. Tangannya masih menengadah di depannya. Kara membantu tubuh Sahara yang kaku untuk berdiri. Sahara sekilas melihat perawat yang membawa tandu Aron sudah masuk ke pintu UGD rumah sakit. Kerumunan mulai bubar, berganti dengan beberapa mobil polisi di jalan itu.
"Dokter pasti terkejut. Kenapa dia bisa tertabrak di depan Dokter?" kata Kara yang masih menuntun Sahara berjalan kembali ke rumah sakit.
Langkah sahara terasa sangat berat. Seperti masuk ke ruang kerjanya itu adalah akhir dari hidupnya. Sahara bertahan hidup dengan pikiran bahwa ia tak akan pernah melihat laki-laki itu lagi. Tapi setelah sepuluh tahun lebih, laki-laki itu datang. Begitu tiba-tiba - jatuh di depan Sahara dengan penuh darah dan luka.
Kenapa Aron kembali ke Indonesia? Bukankah laki-laki itu dan grup band-nya sibuk berkarir di Amerika selama sepuluh tahun ini? Rush adalah band pertama yang bisa menembus pasar Amerika dan sukses menjadi salah satu band terhebat di sana. Lalu kenapa laki-laki itu harus kembali ke negara kecil ini?
"Dokter, minum teh hangat ini dulu," kata Kara sambil memberikan segelas teh hangat untuk Sahara.
Sahara hanya menatap gelas itu dengan mata kosongnya. Tangannya penuh dengan darah. Sahara tak mau menyentuh apapun dengan tangan yang penuh darah seperti ini.
"Dokter terlihat sangat pucat. Apa Dokter begitu terkejut?" tanya Kara lagi sambil meletakkan gelas teh hangat itu di samping Sahara.
Sahara menelan ludahnya dengan susah payah, lalu berdiri. "Aku cuci tangan dulu," kata perempuan itu sambil berjalan lurus ke toilet.
Sahara mencuci tangannya dengan cepat. Menggosok tangannya dengan kuat hingga telapak tangannya memanas. Darah sudah menghilang dari tangannya, tapi Sahara tak berhenti menggosok tangannya. Menatap aliran air itu mengalir melalui tangannya yang kini sudah pucat. Pikiran Sahara kosong. Perempuan itu masih belum menerima apa yang baru saja dia lihat.
"Ah..."
Sahara berhenti ketika kukunya menggores sela-sela jarinya. Sedikit darah mengalir dari luka kecil itu. Sahara mengernyit kesakitan dan mengaliri lukanya itu dengan air hingga darah tak lagi keluar. Sahara mematikan keran dan menatap wajahnya di kaca depannya.
Apa yang kau lakukan, Sahara? Memangnya kenapa kalau laki-laki itu kembali? Kau tak mengenalnya! Dia tak mengenalmu! Dia tak bisa melakukan apapun padamu! Jangan terpengaruh olehnya seperti orang bodoh! Kau tak boleh lemah seperti ini!
Sahara menarik napas panjang untuk kembali sadar, lalu membasuh wajahnya dengan air. Mengambil tisu untuk mengelap wajahnya, lalu keluar dari toilet itu. Masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan malam ini. Sahara tak boleh menghabiskan waktunya untuk memikirkan hal tak berguna seperti ini.
Benar. Laki-laki itu sama sekali tak berguna. Tak ada yang perlu Sahara khawatirkan.
Tak ada sama sekali.
"Saya sudah melakukan CT Scan dan melihat ada cidera kecil di otak kanannya. Pasien harus segera di operasi malam ini atau keadaannya akan segera memburuk, Dok."
Sahara berhenti. Melihat Hanif tengah berbicara dengan Rehan - salah satu senior di UGD itu. Mereka terlihat sangat serius dan Sahara tahu siapa yang mereka bicarakan. Darah yang mengalir dari kepala laki-laki tadi cukup banyak, kemungkinan besar dia mengalami luka di kepalanya.
"Apa kau sudah menghubungi keluarganya?"
"Orang tuanya ada di Amerika jadi butuh waktu untuk kemari. Saya sudah menghubungi manajernya dan beberapa anggota band-nya sedang perjalanan kemari," kata salah satu perawat di samping Hanif.
"Baiklah. Kau segera jelaskan pada walinya nanti ketika datang dan aku akan mencari dokter bedah yang bisa operasi malam ini," kata Dokter Rehan lalu pergi meninggalkan ruang UGD.
Hanif berbicara pada perawat di sampingnya, lalu melirik Sahara yang berdiri kaku tak jauh darinya. Laki-laki itu mendekati Sahara dengan wajah serius.
"Kau tak apa-apa? Ku dengar kau tadi yang menolong laki-laki itu?" tanya Hanif.
Sahara menggeleng pelan. "Aku tak menolongnya."
"Apa pun itu, kau harus tahu berita besar. Kau tahu siapa laki-laki yang kau tolong tadi? Dia Aron Rush, Sahara. Rush! Kau tahu Rush, kan? Betapa tak pedulinya kau pada artis-artis, tapi kau pasti tahu Rush, kan?"
Sahara tak menanggapi Hanif dan berjalan melewatinya. Sahara butuh menenangkan diri di ruangannya. Meskipun berulang kali ia menyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja. Tapi Sahara tak bisa membohongi dirinya sendiri. Sahara sedang tak baik-baik saja sekarang.
"Keadaannya tak begitu baik. Luka di kepalanya cukup parah. Dan kau tahu betapa sulitnya mencari dokter bedah saraf malam-malam seperti ini? Bedah saraf adalah departemen yang paling sibuk dan hanya tiga dokter yang tinggal di rumah sakit sekarang. Sepertinya vokalis Rush itu harus dipindahkan ke rumah sakit lain," kata Hanif di belakangnya.
Hanif ikut masuk ke ruangan dan terus mengoceh di belakangnya. Tak seperti dokter di departemen lain, dokter di UGD tak mendapatkan ruangannya sendiri. Satu ruangan diisi oleh dua orang dan selama sepuluh tahun ini, Sahara satu ruangan dengan Hanif. Karena itu juga mereka menjadi akrab.
"Tapi dia akan baik-baik saja, kan? Pasti membutuhkan waktu banyak jika berpindah-pindah rumah sakit. Keadaannya sekarang sangat tak baik."
"Lalu kenapa kau di sini? Bukankah kau harus merawatnya?" tanya Sahara.
"Dokter Rehan dan Jenny yang menanganinya. Ini sudah habis waktu shift-ku. Aku juga butuh pulang. Aku sudah dua hari menginap di rumah sakit asal kau tahu," kata Hanif sambil memakai jaketnya.
Sahara menarik kursinya tanpa menatap Hanif. Melihat foto Sean di meja kerjanya itu. Entah kenapa Sahara sangat merindukan anaknya itu. Padahal belum ada lima belas menit Sahara berpisah dengannya. Satu tetes air mata jatuh dan Sahara segera menghapusnya sebelum Hanif melihat.
"Kau benar-benar tak apa-apa, Ra? Tak biasanya kau terkejut seperti ini," kata Hanif.
Sahara tersenyum kecil, "Aku tak apa-apa. Pulanglah," kata Sahara.
"Oke. Aku pulang dulu. Semangat malam ini. Dan cobalah tidur paling tidak satu jam. Kau tak harus berjaga semalaman utuh. Ada banyak dokter di sini. Dan kalau pun nanti banyak pasien yang datang, mereka akan membangunkanmu," kata Hanif dengan wajah serius.
Sahara hanya mengangguk kecil. Hanif menghembuskan napas kesal, tahu bahwa Sahara tak akan mendengarkannya. Laki-laki itu keluar dari ruangan, sedikit terkejut ketika melihat Rehan di depan pintu. Rehan - dokter yang seumuran dengan Sahara itu pun masuk ke ruangan Sahara.
"Sahara, bisakah aku minta bantuanmu?" tanya dokter itu.
Sahara menatap teman kerjanya itu. "Ada apa, Dok?"
"Itu - Dokter Fahlan memintaku untuk bertanya padamu apa kau bisa membantunya mengoperasi pasien korban kecelakaan tadi," kata Rehan dengan wajah penuh permohonan.
Pasien korban kecelakaan tadi? Apa maksudnya adalah Aron Roosevelt?