Bab 5

2020 Words
Seandainya tinggal di pedesaan, indra pendengaran Vena sudah pasti akan dimanjakan oleh suara serangga malam yang mendendangkan pujian untuk Sang Dewi Malam. Namun, dia tinggal di kota sebesar Las Vegas yang ramai akan suara khas kota-kota besar. Las Vegas yang dipenuhi oleh kasino dan tempat hiburan lain tidak memperdengarkan suara serangga malam kepada para pengunjungnya, melainkan suara musik keras yang memekakkan telinga. Dia memang tidak pernah memasuki satu pun dari kasino-kasino itu, tapi dia dapat membayangkan bagaimana keadaannya di dalam sana. Bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan bergengsi di Amerika, tentu saja Vena pernah memasuki salah satu tempat hiburan malam itu. Dia menemani Nick. Seorang rekan bisnis mengadakan perjamuan di salah satu tempat hiburan malam ternama di Las Vegas. Seandainya pembicaraan mereka tidak tentang bisnis, tak akan Nick mengajaknya. Pria berambut pirang itu lebih senang mengajak salah satu wanita yang sering menghangatkan ranjangnya, dan itu bukan Miranda Savena Curly. Vena meringis. Hidupnya ternyata sangat menyedihkan. Selama dua puluh lima tahun hidupnya, yang artinya seumur hidupnya, dia tidak pernah dekat dengan pria mana pun. Tidak ada lawan jenis yang mau berdekatan dengannya, seolah dia adalah sesuatu yang menjijikkan. Namun, tak masalah, dia tak pernah memikirkan itu. Dia tak pernah peduli dengan para pria, sebelum melihat Nicholas Craig di salah satu majalah bisnis. Ketika itu, dia sedang berada di salah satu toko buku dan melihatnya. Nicholas Craig menjadi sampul majalah bisnis terkenal. Ketampanan Nick membuatnya terpesona, sampai dia tidak bisa mengedipkan mata. Alhasil, buku pelajaran yang seharusnya dibeli bertukar menjadi majalah bisnis bersampul Nicholas Craig. Pria yang memberikan padanya waktu hanya dua hari untuk bersiap. Dua hari. Astaga, bagaimana bisa? Dia belum mempersiapkan semuanya. Dua hari di akhir pekan memang dihabiskannya untuk membongkar lemari pakaiannya. Rencana awal untuk mempersiapkan semua keperluannya minggu depan yang akan pergi ke luar kota menemani Nicholas Craig. Well, setidaknya dia sudah menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya nanti. Namun, yang terjadi sebaliknya. Isi lemari pakaiannya memang tumpah ruah, tapi tak ada satu pun outfit yang cocok menurutnya. Semua pakaiannya sudah kuno dan ketinggalan zaman. Dia memerlukan pakaian model baru untuk menemani Nick di pertemuan di luar kota itu. Vena mengerang. Apa yang harus dia kenakan nanti? Dua hari bukanlah waktu yang lama, dia hanya memiliki satu hari yaitu besok untuk bersiap, lusa mereka sudah akan pergi. Vena mengerang, kesal pada dirinya yang tidak memiliki pengetahuan tentang mode. Bagaimana dia bisa menarik perhatian Nick jika pakaiannya saja seperti itu? Pantas Nick tidak pernah melirik padanya, meskipun dia mencoba menggodanya dengan cara apa pun. Rasanya ingin menangis menyadari semua itu. Malu, kesal, kecewa bercampur jadi satu setiap kali dia mencoba dan kembali gagal untuk kesekian kali. Dia tidak kesal pada orang lain, melainkan pada dirinya sendiri. Dia kecewa pada kegagalannya, dia malu atas kegagalan itu, dan kesal karena tidak pernah bisa seperti perempuan lainnya yang bisa memikat pria mana pun yang diinginkan. Bagian terburuk dari semuanya adalah dirinya yang sampai sekarang tidak pernah memiliki seorang sahabat pun yang bisa dijadikan tempat untuk berbagi. Vena menjauh dari depan lemari. Sudah sejak hampir satu jam yang lalu dia berdiri di sana, memandangi semua pakaiannya yang tergantung mau pun terlipat rapi di dalam lemari. Dari semua pakaiannya, tak ada satu pun yang mengikuti perkembangan mode. Dia selalu membeli pakaian sesuai yang dia inginkan, tak peduli ketinggalan zaman ataupun sedang trend. Jika suka dia akan membelinya, tanpa berpikir pakaian ternyata juga menunjukkan kelas seorang perempuan. Sekarang dia kena batunya, sikapnya yang cuek dan tidak pedulian dengan penampilan menyulitkannya mencari pakaian yang cocok untuk digunakan menemani bosnya yang akan menghadiri pertemuan di luar kota. Tempat tidur memang selalu menjadi tempat ternyaman bagi setiap wanita, begitu juga dengan Vena. Rasanya sangat nyaman, tak ingin bangun dari tempat tidurnya –terlalu empuk untuk ditinggalkan, apalagi setelah bekerja seharian. Jangan dikira duduk tidak lelah. Duduk –di depan Nick– adalah hal paling melelahkan yang pernah dia lakukan. Lidah kelu, tenggorokan kering, tubuh terasa kaku, berkeringat dingin. Vena berpikir, apakah setiap perempuan juga akan seperti dirinya bila berhadapan dengan pria yang disukai. Entahlah, mungkin hanya dia saja karena perempuan lain bisa dengan mudah menarik perhatian pasangannya. Vena mengembuskan napas melalui mulut dengan keras, kemudian bangun dengan malas. Dia harus selesai menyiapkan pakaiannya malam ini agar besok tidak repot lagi. Bisa saja, 'kan, besok Nick memberinya tugas segunung? Seperti hari-hari sebelumnya jika mereka akan menghadiri pertemuan penting, Nick akan memberikannya tugas yang aduhai banyaknya. Terkadang tumpukan kertas itu bisa lebih tinggi dari saat dia duduk. Hanya ada beberapa potong pakaian dalam lemarinya. Sudah dikatakannya, bukan, jika dia bukanlah seseorang yang mengikuti perkembangan mode? Dia juga tidak peduli jika mengenakan pakaian yang sebanyak beberapa kali dalam satu bulan, dan itu selalu dia lakukan. Vena melirik pakaian yang dikatakannya hanya beberapa potong. Maksud beberapa potong itu adalah tidak sebanyak pakaian perempuan lainnya. Dahinya berkerut, telunjuk mengetuk-ngetuk dagu. Vena sedang berpikir pakaian mana saja yang akan dibawanya. Kejadian selepas makan malam kembali terulang. Sudah hampir satu jam Vena berdiri di depan lemari pakaiannya yang terbuka, tapi dia belum mendapatkan apa yang diinginkan. Vena berdiri masih salam posisi yang sama, hanya kerutan di dahi saja yang sudah tidak ada. Sebagai gantinya, dia menopang dagu dengan tangan kanan yang disangga tangan kirinya. Vena berdecak, kembali ke tempat tidur, duduk. Kakinya terasa pegal, sedikit menusuk di bagian tumit. Malam ini, sudah dua kali dia berdiri, keduanya di depan lemari, dan sama-sama menyentuh waktu hampir enam puluh menit lamanya. Astaga, apa yang dilakukannya selama itu? Vena kembali melangkah ke depan lemari. Bukan untuk menutupnya, melainkan ingin mengambil beberapa pakaian –lagi– yang akan dia bawa lusa. Pakaiannya haruskah pakaian yang berbeda dari biasa yang dipakainya. Bukan berarti harus pakaian baru, yang penting bisa membuatnya tampil beda dan terkesan sedikit lebih berani –hanya sedikit. Dia tidak terbiasa dengan sesuatu yang terbuka, membuatnya sangat tidak nyaman. Sebab itu dia selalu memilih pakaian serba tertutup dan agak kebesaran. Pakaian seperti itu selalu membuatnya merasa aman, meski tidak dapat menarik perhatian lawan jenis. Namun, selalu membuatnya percaya diri. Vena sadar jika dirinya sedikit aneh. Bukan hanya sedikit, banyak orang pasti berpikir jika dia aneh, sangat sangat aneh. Pakaian yang kedodoran, kacamata setebal tembok Jerman –saat belum runtuh– rambut pirang yang tidak ditata dengan sempurna. Padahal dia memiliki rambut yang indah, halus, lembut, dan lurus. Hanya saja dia tidak pernah menata rambutnya seperti perempuan lainnya. Dia juga tidak suka menghabiskan waktu di salon kecantikan. Kebanyakan waktunya dihabiskan di apartemen dan di tempat kerja. Saat akhir pekan, dia lebih suka bersantai di atas tempat tidur dengan sebuah buku di tangan daripada berjalan-jalan dan menenteng tas belanjaan yang isinya barang-barang dengan merk terkenal. Begitu sederhana hidupnya, tetapi membosankan bagi orang lain. Sangat indah hidupnya, bagai neraka bagi orang lain. Vena bukan seorang introvert, bukan juga extrovert, dia gabungan dari kedua kepribadian itu. Namun, terap tak ada seorang pun yang mau berteman dengannya. Baik laki-laki maupun perempuan, bagi mereka sungguh Vena tidak menarik. Bagi kaum perempuan, dia sangat membosankan. Tidak bisa diajak pergi ke pesta, hanya cocok untuk dijadikan bahan perundungan. Sementara untuk kaum pria, tubuhnya terlihat datar, tidak bisa dijadikan partner di atas ranjang. Vena meringis. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri beberapa kali, mencoba mengusir fantasi liar yang mulai memasuki otaknya. Kali ini dia tidak boleh sampai kelepasan dan memuaskan diri sendiri sambil membayangkan Nick yang berada di atasnya. Vena menggelengkan kepala lebih kuat, tubuhnya memanas hanya karena memikirkan Nick. Sialan! Cepat Vena mengambil beberapa potong pakaian secara acak, dia tak ingin berlama-lama lagi berdiri di depan lemari pakaian terbuka. Waktu tidurnya sudah lewat beberapa menit yang lalu, jangan sampai dia menyentuh dirinya sendiri –lagi– seperti malam kemarin. "Nick sialan!" maki Vena sambil terus memasukkan beberapa potong pakaian lagi ke dalam koper berukuran sedang miliknya. Koper itu berwarna biru lembut, warna kesukaannya. Bunyi 'klik' terdengar begitu Vena mengunci kopernya. Masih ada beberapa lagi yang belum dimasukkan, tapi koper sudah penuh. Belum lagi pakaian dalam dan mungkin dia akan membawa lingerie nanti, dia akan mengenakannya untuk tidur. Entah bagaimana rasanya mengenakan baju itu –lingerie, dia belum pernah mencoba. Selama ini dia selalu mengenakan piyama berlengan panjang, dengan celana yang juga panjang. Vena berharap kulitnya tidak alergi pada udara malam atau apa pun nanti saat dia mengenakan lingerie. Jika kau ingin tahu untuk apa dia mengenakan outfit yang belum pernah dikenakan sebelumnya, jawabannya hanya satu. Untuk menggoda Nick. Dua malam lagi dia akan mencoba untuk melakukannya, dan berharap semoga saja kali ini berhasil. Entah apa yang akan dilakukannya seandainya dia mengalami kegagalan lagi. Mungkin dia akan berhenti bekerja pada Nick. *** Matahari bersinar hangat pagi ini. Kicauan burung tak berhenti menyambut cahaya matahari. Angin musim semi berembus lembut, menebarkan aroma padang rumput dan aneka bunga. Wangi pinus dan tanah lembab lebih mendominasi. Beberapa orang terlihat berjalan di depan gedung apartemen berlantai dua puluh lima. Beberapa orang lainnya berhenti di depan air mancur yang berada di taman bersebelahan dengan gedung apartemen. Mereka berbincang-bincang, tak memedulikan udara yang lumayan dingin. Sinar matahari cukup menghangatkan tubuh mereka. Tawa berderai di antara obrolan mereka, sesekali pria tua dengan rambut abu-abu menunduk, menatap titik air dari semburan air mancur, kemudian dia kembali tertawa menanggapi lawan bicaranya. Suasana hangat di taman berbeda dengan keadaan sebuah kamar di lantai delapan belas gedung apartemen itu. Vena masih terlelap, tak terusik dengan suara dari jam alarm ataupun suara kicauan burung gereja yang bertengger di balkonnya. Dia menaikkan selimut sampai menutupi kepala. Namun, hanya sedetik, di detik berikutnya selimut sudah terlempar ke lantai. Sementara Vena duduk di atas tempat, dadanya naik turun dengan cepat, napasnya memburu. Dia terlambat! Cepat Vena turun dari tempat tidur, setengah berlari menuju ke kamar mandi. Langsung menghidupkan keran shower, tak peduli air dingin atau air hangat, dia perlu membersihkan diri secepatnya. Tadi malam dia tidur sangat terlambat. Setelah selesai berberes dia tak langsung tidur, pikirannya melayang ke mana-mana, dan berakhir dengan dirinya yang terhempas karena permainannya sendiri. Sial! Dia baru menyadari memikirkan Nick saat malam menjelang tidur ternyata sangat berbahaya. Tubuhnya terasa sangat lemas, pakaian dalamnya yang berupa kain tipis berbentuk segitiga juga basah. "Mimpi sialan!" Gerutuan itu terus keluar dari bibir Vena sampai dia selesai berpakaian. Bahkan sampai dia selesai sarapan, Vena tetap menggerutu menyalahkan mimpinya bersama Nick. Entah mimpinya bisa dikategorikan sebagai mimpi indah atau tidak, yang pasti mimpi itu sudah membuatnya bangun terlambat. Semangkuk sereal disiram s**u vanilla sidah beralih ke dalam Vena, sekarang saatnya pergi ke tempat kerja. Vena berlari ke stasiun kereta bawah tanah agar tidak ketinggalan kereta. Jarak dari apartemennya ke stasiun biasa ditempuh lima belas menit dengan berjalan kaki. Berhubung dia terlambat pagi ini, dan sisa waktu hanya sekitar lima menit, terpaksa dia harus berlari. Beruntung dia masih keburu, seorang pria berbit gelap dengan mata biru cemerlang menahan pintu itu untuknya. "Terima kasih," ucap Vena terengah. Berlari dengan sepatu berhak tinggi bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan meskipun di pagi hari. Kakinya terasa pegal, menjalar sampai ke paha. Langkahnya gemetar menghampiri tempat duduk kosong di seberangnya. Vena melirik sekilas pada pria yang tadi menolongnya. Pria itu tampak dingin, tidak peduli pada sekitar, juga tidak peduli pada ucapan terima kasihnya. Dengan santainya dia berjalan menuju bagian dalam dan duduk di sebelah seorang perempuan cantik berambut pirang. Mungkin perempuan itu kekasihnya, atau istrinya sehingga dia tidak memedulikan yang lain. Vena mendengkus keras, mengabaikan tatapan orang-orang yang berada di sekitarnya. Semua pria memang sama saja, mereka pasti akan memilih untuk lebih berdekatan dengan perempuan yang cantik dan menarik. Jangan lupakan penampilan yang terbuka. Vena membuang muka ketika mata biru pria berambut gelap itu menatapnya. Bukannya tak sudi bertatapan, tapi dia memang tak terbiasa. Rasanya sangat tidak nyaman. Apalagi di sebelah pria itu ada istrinya –atau– kalaupun bukan perempuan itu pastilah seseorang yang memiliki hubungan dekat dengannya. Dia melihat mereka saling berbisik beberapa kali, diakhiri dengan tawa pria itu yang membuat wajahnya semakin tampan. Ah, sial! Sepertinya Nick sekarang memiliki saingan. Wajah pria itu tak dapat dia lupakan meskipun dia sudah berada di atas kursinya. Entah siapa namanya, tapi dia benar-benar pria yang tampan. Vena berdecak, tak mungkin dia menyukai seorang pria yang tidak dikenalnya, 'kan? Mungkin saja, Miranda Savena Curly. Buktinya kau jatuh cinta pada Nick hanya dengan melihat fotonya di sampul majalah. Astaga!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD