Bab 4

2012 Words
Sangat memalukan! Pipinya terasa panas seolah terbakar, begitu juga dengan ruangan ini. Penyejuk udara yang menyala seakan beralih fungsi, bukan lagi udara sejuk yang berembus dari mesinnya, melainkan menyemburkan api. Vena kepanasan di tengah cuaca musim semi yang sejuk. Mata birunya menatap Nick dengan gugup, seolah pria di depan itu adalah guru yang akan menghakiminya. Vena menarik napas panjang dan pelan –tak ingin Nick menyadari kegugupannya. Astaga! Dia benar-benar malu. Maksudnya, selama ini dia dikenal sebagai seorang perempuan yang tidak banyak bicara kecuali di depan klien. Dia akan diam dan membiarkan apa pun atau siapa pun yang mengusiknya. Lalu, tadi –beberapa menit yang lalu– dia bersikap seperti bukan dirinya, di depan pria yang disukainya. Oh, tidak! Seandainya saja di depannya ada gua, pastilah Vena akan lebih memilih untuk bersembunyi di tempat itu daripada berdiri di depan Nick. Jika dia terus saja berdiri di sini tiga puluh menit lagi dapat dipastikan dia akan pingsan. "A-aku tidak bermaksud bersikap seperti itu, Pak." Vena mencoba membela diri. Suaranya bergetar dan dia terbata saking gugupnya. Udara terasa semakin panas, oksigen semakin menipis. Vena menarik napas berat. "Aku hanya ... hanya ingin lewat dan mereka berdua menghalangi jalanku. Seperti itu." Rasanya sangat lega setelah mengatakan yang sebenarnya. Dia dapat mengembuskan napas tanpa merasa ada ganjalan. Meskipun tetap gugup, tapi sudah tidak segugup tadi –berkurang. Lagipula, dia memang selalu gugup setiap kali Nick menatapnya. "Aku tahu," jawab Nick. Tangannya menjauhkan tablet, dia sudah membaca dan mengingat semua jadwalnya untuk hari ini. "Aku sudah melihatnya. Kau pikir berapa lama aku berdiri di sana melihat perdebatan kalian?" Mata biru Vena melebar sedetik. Benarkah itu? tanyanya dalam hati. Betapa bodohnya dia tidak merasakan kehadiran Nick. Bagaimana mungkin bisa? Biasanya dia dapat merasakannya, aroma manly dari parfum Nick begitu familiar di indra penciumannya. Oh, astaga! Jangan-jangan Nick juga mengetahui semua yang dilakukan –hampir– seluruh karyawan di perusahaannya padanya selama ini? Astaga! Astaga! Vena menundukkan kepala, tak lagi berani membalas tatapan tajam Nick yang seolah bisa menembus kacamata tebalnya. "Ma-maafkan aku, Pak!" pinta Vena lirih. Suaranya semakin bergetar. Dia ketakutan. Dia takut Nick marah dan memecatnya. Jangan sampai itu terjadi, dia tak ingin menjadi pengangguran dan kehilangan kesempatan untuk bertemu Nick lagi. Di cap buruk oleh orang yang disukai itu sebuah malapetaka. "Kejadian seperti tadi tidak akan terjadi lagi. A-aku berjanji." Vena mengangguk, sedikit membungkukkan badannya. Nick mendengkus. Melipat kedua tangannya, menjadikannya sebagai tumpuan dagu. "Aku tidak peduli dengan perdebatan bodoh kalian. Itu urusanmu. Apa pun yang kau lakukan adalah urusanmu, aku tidak akan mencampuri semua urusan kayawanku. Yang penting satu hal, pekerjaanmu tidak terganggu;" Vena mengangguk lagi. "Baik, Pak. Saya mengerti." "Satu lagi, Miss Curly." Vena mengangkat kepala sekilas, hanya untuk menatap wajah tampan Nick. Kemudian buru-buru dia menunduk lagi, Nick menatapnya lebih tajam dan dengan wajah yamg dingin. "Aku bangga atas hasil kerjamu, jangan pernah merusaknya dengan sebuah reputasi buruk karena aku tidak akan memaafkannya!" Vena berhenti bernapas. Oksigen yang tadi menipis sekarang terasa habis. Detak jantungnya berdentam dengan kuat, memukul-mukul kuat seakan ingin keluar dari rongga d**a. Itu sebuah ancaman terselubung. Nick tak ingin dia merusak citranya yang sangat baik atau pria itu akan memecatnya. Oh, tidak! Vena menggeleng tanpa sadar. "Aku yakin kau pasti mengerti apa yang kukatakan, Miss Curly, karena aku tidak akan mengulanginya lagi." Nick berdehem. "Kau sudah tahu itu." Vena hanya bisa mengangguk lagi. Lidahnya kelu, dia tidak bisa bicara. Ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya. Sebuah batu besar yang menghalangi suaranya keluar. Vena hanya bisa meneguk ludah kasar, dia perlu membasahi kerongkongannya yang terasa sangat kering. "Sekarang keluarlah. Selesaikan pekerjaanmu!" "Ba-baik, Pak!" Sekali lagi Vena mengangguk. Rasa lega luar biasa kembali dirasakannya, suaranya sudah dapat keluar. Meskipun masih terbata dan bergetar, yang penting dia dapat menjawab Nick saat dia bertanya. "Permisi!" Vena mengangguk sebelum berlaku. Menyeret kakinya keluar dari ruangan itu. Vena memejamkan mata begitu punggungnya menempel pada sandaran kursinya. Mendongak beberapa detik, dan mengembuskan napas. Mungkin terlalu berlebihan jika dia mengatakan baru saja lolos dari lubang maut, tapi lega yang dirasakannya memang demikian. Rasanya tak terhingga, dan sekarang dia merasa menjadi seringan kapas. Indra penciuman dan perabanya kembali berfungsi dengan normal. Dia kembali dapat merasakan sensasi sejuk dari penyejuk udara. Hidungnya juga sudah dapat menghirup wanginya pengharum ruangan yang bercampur dengan aroma pekat kopi. Well, office girl sudah menyediakan segelas kopi di mejanya. Semerbak wangi kopi membuatnya kembali bersemangat. Vena meraih cangkir kopi, membawa ke mulutnya. Meniup-niup asap tipis yang mengepul di atas permukaan cangkir sebelum menyesap kopi. Vena mengerjap. Dia merasa semakin segar dan bersemangat. Beberapa hirupan lagi sebelum dia mengembalikan cangkir ke atas meja. Sekarang dia siap untuk bekerja. *** Sebagai sekretaris pribadi Nick, Vena tidak memiliki ruangan. Mejanya terletak tepat di depan ruangan Nick, di bagian kanan. Meski tidak memiliki ruangan, Vena merasa jika lantai yang ditempatinya adalah yang paling aman. Tidak ada seorang pun rekan kerja yang mengganggunya di lantai ini, mereka tidak berani dengan Nick. Lantai teratas gedung ini adalah kekuasaannya. Mutlak. Jika ada yang mengganggu keamanan, terutama di lantai teratas, bersiaplah untuk angkat kaki dari Nick's Corps. Tidak ada perusahaan lain yang akan mau menampungmu setelah kau dipecat. Kau akan menjadi gelandangan. Berbeda dengan di kafe. Di tempat ini semua karyawan yang membencinya bisa melakukan apa pun terhadap Vena. Mulai dari mencaci sampai menumpahkan sesuatu ke mejanya, adalah sesuatu yang sering dia terima. Mereka semua beralasan tidak sengaja melakukannya. Sebuah alasan yang konyol dan tidak masuk akal. Oleh karena itulah Vena sangat jarang makan di kantin kantor, dia lebih memilih untuk makan di luar. Jajanan di pinggir jalan pun tidak masalah asal mengenyangkan dan memiliki gizi yang cukup. Selain itu, harganya juga terjangkau. Meskipun dibayar Nick cukup tinggi, Vena tidak suka menghamburkan uang. Dia memiliki jumlah tabungan yang lumayan di salah satu bank Las Vegas. Sejak masih di jalan tadi aroma gurih hotdog bercampur dengan aroma mayonaise dan saus cabai sudah membuat cacing-cacing di perut Vena meronta. Dia yakin jika mereka sudah siap dengan garpu dan pisau serta serbet untuk menyantap makan siangnya. Namun, Vena masih menahan diri. Dia akan makan siang di mejanya saja, masih ada beberapa file yang belum diselesaikan. Dia tak ingin membawa file itu pulang dan mengerjakannya di rumah. Sudah cukup dia lembur minggu kemarin, minggu ini jangan sampai lembur lagi. Vena meletakkan hotdog di atas piring –dia sudah memintanya pada office girl sebelumnya– meletakkannya di samping PC yang baru saja dinyalakan lagi setelah tadi dinonaktifkan selagi dia keluar. Satu cup plastik berisi kopi juga sudah tersedia di atas meja, tepatnya di sebelah piring hotdog. Mata Vena berbinar menatap hidangan makan siangnya. Kali ini dia memilih makanan cepat saji yang gizinya masih dipertanyakan. Tak apa, yang penting perutnya terisi. Makan malam nanti dia akan memasak meatloaf atau makaroni keju yang lebih bergizi. Vena menggigit hotdog sebelum menyalakan kembali PC di atas mejanya. Roti yang empuk dan sosis yang gurih terasa begitu sempurna berpadu dengan mayonaise dan saus cabai. Bagi sebagian orang mungkin makanan ini biasa saja, tetapi bagi Vena yang kelaparan tentu sangat luar biasa. Mulutnya tak bisa berhenti mengunyah. Setelah menelan gigitan pertama, dia tak bisa menahan diri untuk tidak meneruskan makannya. Bau berlemak tidak membuat Vena mual, dia justru merindukan bau ini. Sudah lumayan lama lidahnya tidak bersentuhan dengan hotdog. Dia memilih pizza sebagai teman bekerja beberapa hari terakhir ini. Sebab terlalu menikmati makan siangnya, Vena tak sadar jika Nick sudah berdiri di depan mejanya. Pria itu menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Jika Nick tidak berseru memanggilnya, Vena tidak akan tahu pria itu berada di sana. "Miss Curly!" Vena berjengit. Mendongak menatap Nick dengan mulut yang masih penuh dengan roti dan sosis. Vena mengerjap, buru-buru menundukkan kepala dan menelan makan siang yang tersisa di mulutnya. Dia tersedak beberapa kali saking tergesanya. Astaga, ini sangat memalukan! Lebih memalukan dari saat Nick memergokinya menjadi gadis bar-bar. Vena sudah tahu jika Nick yang berdiri di depannya, tapi dia tetap melakukannya –mendongak. Astaga, apa yang ada dalam pikirannya! Sepertinya otaknya sudah tertutup lemak dari hotdog. Sialan! Vena menangis dalam hati. Bagaimana mungkin dia bisa mendapatkan kesialan beruntun dalam satu hari? "Habiskan dulu makan siangmu, Miss Curly. Setelah itu kau bisa menemuimu di ruanganku." Nick memutar tubuh sembilan puluh derajat, kemudian masuk ke ruangannya. Vena hanya menatap punggung pria yang disukainya menjauh. Dia mengerang setelah Nick menutup pintu ruangannya. Menyembunyikan wajah di antara kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Vena tidak menangis, hanya umpatan-umpatan kecil keluar dari mulutnya. Umpatan untuknya yang sudah mempermalukan diri sendiri. Satu menit dan setelah puas menyesali kesialannya, Vena mengangkat kepala, dia sudah kembali terlihat bersemangat seperti biasa. Dia menghabiskan makan siangnya dengan cepat sambil dalam hati bertanya-tanya kenap Nick ingin berbicara dengannya lagi. Meskipun wajar karena dia adalah sekretarisnya, tetapi ini masih jam makan siang, –waktu istirahat– menemukan Nick berada di kantor adalah sesuatu yang sangat langka. Biasanya Nick berada di salah satu restoran mewah, atau di sebuah apartemen untuk menghabiskan. waktu istirahat siangnya. Nick akan menelepon jika tidak kembali ke kantor. Jadwal Nick hari ini terbilang padat. Hanya sampai makan siang dia memiliki waktu bersantai. Setelah itu ada beberapa pertemuan yang harus dihadiri, tanpa sekretaris. Dilihat dari jadwalnya, kemungkinan besar Nick akan sampai malam berada di luar. Kemudian menghadiri sebuah pesta yang diadakan oleh salah seorang kolega bisnisnya. Untuk urusan pesta sudah ada asisten pribadi yang mengaturnya, kecuali perjamuan makan siang atau sesuatu yang diadakan di siang hari, barulah tugas Vena yang menemani. Asisten pribadi Nick adalah seorang pria, dan tinggal bersama di rumahnya. Maksudnya, Sang Asisten tinggal di rumah Nick karena harus mengurusi semua keperluannya dua puluh empat jam penuh dalam sehari. Berbeda dengan waktu kerja Vena yang hanya beberapa jam. Vena bekerja di siang hari, memiliki waktu bekerja sama seperti para karyawan lain pada umumnya. Vena segera membereskan mejanya, dia sudah selesai.makan siang. Sekarang saatnya menemui Nick dan mendengarkan apa yang ingin dia katakan. Vena menarik napas dalam, menyimpannya sedetik di paru-paru sebelum melepaskan melalui mulut. Dia siap menemui Nick Namun, kesiapan itu berubah saat tangannya memegang kenop pintu. Rasa gugupnya kembali, tangannya yang menggenggam kenop berkeringat. Astaga! "Masuklah, Miss Curly!" Seruan dari dalam ruangan menyadarkan Vena jika Nick pasti melihatnya yang sedang berdiri di depan pintu ruangannya. Oh, astaga! Kenapa dia sampai lupa pada beberapa kamera pengawas yang terpasang di lantai ini? Bahkan sekarang dia berdiri di bawah salah satu kamera pengawas itu, Nick juga memasang di atas pintu ruangannya. Dengan keberanian diri yang menipis Vena membuka pintu dan memasuki ruangan. Napasnya kembali tercekat, udara yang dihirupnya kembali terasa menipis di ruangan ini. Kedua telapak tangannya juga berkeringat. Musim semi tahun ini adalah yang terburuk bagi Vena sepanjang dia bekerja di Nick's Corps. "Duduklah!" Nick mempersilakan dengan gerakan tangan. Pelan dan sangat hati-hati. Itulah yang dilakukan Vena, seolah takut kursi itu akan meledak jika bersentuhan dengan bokongnya. Vena mengembuskan napas lega begitu sudah duduk. Mata birunya liar ke sana kemari, menghindari agar tidak menatap wajah Nick. Dadanya berdentum keras menyadari pria tampan berambut pirang di depannya kini tengah menatapnya dengan intens. "Keberangkatan kita ke luar kota dipercepat, Miss Curly." Suara berat dan dalam Nick terdengar merdu di telinga Vena, seperti suara desahan yang memujanya. Perlahan Vena berani memfokuskan tatapan pada Nick. Seketika sebuah orkestra mengalun dari dalam dadanya, membuatnya semakin hanyut dalam buaian asmara tak kasat mata. "Kuharap kau sudah mempersiapkan segala kebutuhanmu selama kita di sana karena kita akan menginap dalam jangka waktu yang masih belum ditentukan." Sedetik mata biru Vena melebar. Segala macam orkestra dan sejenisnya langsung lenyap. Suara Nick juga tak lagi terdengar merdu, tapi seperti suara seorang hakim yang sedang menjatuhkan hukuman terberat pada terdakwa. Celakanya, dirinyalah si terdakwa. Vena menghela napas berat, dadanya naik turun dengan cepat. Kalimat 'menginap dalam jangka waktu yang tidak ditentukan' sukses membuatnya sadar dan kembali ke dunia nyata. Vena mengangguk gugup, menanggapi perkataan Nick. Lagi-lagi sebuah batu besar mengganjal di kerongkongannya, membuatnya tak bisa bersuara. Susah payah Vena menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Bahkan ludahnya terasa pahit dan sangat pekat. "Dua hari lagi kita akan berangkat." Dengan entengnya Nick mengatakan itu. Tidakkah dia melihat bagaimana wajah Vena sekarang? Meskipun tertutup kacamata tebal, tapi Vena yakin Nick masih dapat melihat bagaimana pucatnya wajahnya sekarang. "Bersiaplah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD