Macaroon
Aku mencoba memulai pembicaraan sambil memperhatikan mereka makan.
"Sebenarnya kalian ini kenapa?"
"Apanya yang kenapa?"
Ibuku balik bertanya.
"Makan malam kali ini kalian begitu tenang tidak seperti biasanya yang selalu ramai. Ayah selalu bercerita tentang keadaan ayam-ayam atau hal yang lainnua dan Ibu selalu bercerita tentang pesanan kue Macaroon yang tiada habisnya."
"Oh itu kami sedang tidak ingin bercerita saja,"kata ibuku.
"Apa kalian berdua sedang bertengkar?"
"Tidak. Kami tidak bertengkar,"jawab ayahku.
"Aku hampir tidak pernah melihat kalian bermesraan beberapa terakhir ini."
"Kami sering bermesraan di kamar,"jawab ayahku dengan wajah memerah dan menatap malu-malu pada ibu. Ibuku juga wajahnya menjadi semerah tomat.
"Oh ya. Biasanya kalian bermesraan di mana saja dan kapan saja."
"Itu karena kami tidak ingin kamu terkena alergi lagi."
Aku jadi merasa bersalah gara-gara aku, mereka tidak bebas bermesraan lagi.
"Maafkan aku!"
"Kenapa harus minta maaf?"tanya ayah.
"Iya, karena aku."
"Kamu tidak perlu merasa bersalah dan minta maaf hanya karena kami jarang bermesraan."
Aku tersenyum melihat raut wajah orang tuaku. Aku sungguh beruntung menjadi anak mereka berdua.
"Iti karena kalian adalah pasangan yang romantis. Rasanya aneh jika kalian jarang bermesraan lagi."
"Sudah jangan bahas itu lagi,"kata ibuku malu-malu.
Aku kembali memakan makaroni keju sampai habis. Setelah makan malam seperti biasanya kami berkumpul di ruang keluarga. Kami duduk di depan perapian sambil menghangatkan diri. Ibu menyulam dan ayah membaca koran.
"Macaroon, kamu jangan memikirkan ramalan Mrs. Hauston." Ayahku berkata.
Aku mengangguk. Rupanya ibu sudah bercerita soal ramalan itu.
"Terkadang ramalan bisa saja meleset. Kamu sendiri yang menentukan takdirmu akan seperti apa bukan karena ditentukan oleh ramalan. Sebenarnya Ayah tidak terlalu percaya dengan ramalan."
"Aku tidak akan memikirkannya lagi. Aku akan menjalani hidup apa yang aku yakini."
"Itu bagus. Omong-omong tentang Chris, apa kamu serius ingin menikah dengannya?"
"Iya,"jawabku bersemangat.
Ayah menatapku sebentar. "Kamu memang sudah waktunya untuk menikah. Terkadang Ayah lupa kalau kamu bukan anak kecil lagi."
"Aku sudah besar,"kataku dengan wajah cemberut. Orang tuaku tersenyum.
"Ya sudah. Aya merestui jika kamu menikah dengan Chris. Dia pemuda yang baik."
"Tapi aku belum yakin apa Chris memcintaiku juga atau tidak. Aku akan menanyakannya setelah dia kembali."
Ayah mengangguk-anggukan kepalanya. Aku sudah mulai mengantuk dan menguap beberapa kali.
"Sebaiknya kamu pergi tidur saja,"kata ibuku.
"Selamat malam!"
Aku meninggalkan mereka dan naik ke lantai dua. Di kamar aku langsung tertidur. Keesokan harinya, aku hampir bangun kesiangan. Aku cepat-cepat turun dan membantu menyiapkan sarapan pagi. Aroma harum masakan segera tercium olehku. Ibu sedang menaruh orak-arik telur dan sosis goreng di masing-masing piring.
"Kamu sudah bangun."
Aku mengangguk dan membantu menyiapkan minum. Aku melihat ayahku dari kaca jendela dapur sedang membelah kayu di dekat gudang. Cuaca pagi itu terlihat cerah, tapi udara sudah mulai semakin dingin ketika musim gugur semakin dekat. Ayah melambaikan tangan padaku dan aku membalasnya. Persiapan sarapan pagi sudah siap. Ibu berteriak memanggil ayah untuk makan.
Setelah sarapan pagi selesai, aku membantu ayah memberi makan ayam-ayam seperti rutinitas biasa yang setiap pagi aku lakukan. Aku membawa satu ember besar makan ayam dan masuk ke kandang ayam. Suara kokok ayam menyambutku seolah mereka tahu, aku akan memberi mereja makan.
"Selamat pagi, ayam-ayam! Kalian sudah lapar, bukan?"
Mereka menjawabku dengan suara yang lebih myaring dan mulai ribut untuk segera diberi makan. Mereka sudah tidak sabaran. Ayam-ayam itu menjadi tenang lagi setelah diberi makan. Ayahku masuk begitu aku selesai memberi makan.
"Apa semuanya sudah kamu beri makan?"
"Iya, Ayah."
"Bagus. Hari ini kamu tidak perlu mengepel kandang, karena Ayah sudah mempekerjakan seseorang untuk melakukannya."
"Jadi Ayah menerima seseorang bekerja pada Ayah untuk membantu Ayah?"
"Iya."
"Itu berita yang bagus."
"Sepertinya kamu senang sekali."
"Tentu saja sangat senang. Pinggangku selalu sakit setiap kali membersihkan lantai kandang."
Ayah menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu masih muda, tapi sudah sering sakit pinggang. Kamu harus banyak berolahraga."
"Aku tahu dan aku akan melakukannya kapan-kapan. Kalau begitu aku pergi dulu."
Aku keluar kandang ayam dengan hati riang gembira. Ibu melihatku ketika aku masuk dapur.
"Aku tidak tahu kalau Ayah hari ini mempekerjakan seseorang untuk membantu membersihkan kandang ayam."
"Ibu lupa mengatakannya padamu."
"Kenapa Ayah tiba-tiba mau mempekerjakan orang lagi?"
"Itu karena Ayahmu berpikir, jika kamu menikah nanti, kamu tidak akan tinggal lagi di sini."
"Tapi aku belum akan menikah, bahkan aku belum pasti aku jadi menikah atau tidak."
"Sepertinya Ayahmu ingin bersiap-siap jika suatu bari nanti kamu akan keluar dari rumah ini."
"Ya baiklah. Aku senang, karena aku tidak perlu lagi membersihkan kandang ayam. Aku mau merajut dulu di kamar."
Dengan hati riang, aku pergi ke kamarku dan memulai merajut sarung tangan untuk musim dingin nanti. Aku duduk di kursi di dekat jendela sambil menikmati sinar matahari pagi. Tiba-tiba saja aku mengantuk setelah aku merajut baru sedikit. Aku tertidur. Di dalam tidurku, aku seperti melayang-layang di udara. Aku terbang dan aku tidak tahu kemana aku akan pergi, karena aku tidak bisa mengontrol tubuhku. Aku seperti ditarik oleh seutas benang yang tidak terlihat.
Aku tiba-tiba mendarat di lapangan hijau terbuka. Di sekelilingku banyak sekali bunga berwarna-warni dan terlihat sangat indah padahal ini musim gugur seharusnya sudah tidak ada bunga yang bermekaran lagi. Aku berjalan dan terus berjalan tidak tentu arah. Kakiku sudah pegal dan butuh beristirahat. Di kejauhan aku melihat, sebuah rumah. Aku menuju ke sana. Pintu rumah itu terbuka sendiri. Aku masuk.
"Halo! Permisi! Apa ada orang di sini?"
Tidak ada yang menjawabku. Aku berpikir mumgkin saja pemilik rumah ini sedang pergi. Aku kembali berjalan keluar rumah. Rasanya aneh ada rumah di tengah hutan. Entah sudah berapa lama aku duduk di teras depan. Aku ingin pulang, tapi aku tidak tahu jalan pulang. Sudut mataku menangkap sesuatu. Aku melihat ke arah sampingku. Mataku membelalak lebar tidak percaya yang aku lihat. Aku melihat ayah dan ibuku sedang mengendong seorang bayi. Mereka berdua masih sangat muda dan terlebih lagi di belakang mereka ada dua ekor pegasus. Bulu putih mereka nampak sangat bercahaya tertimpa sinar matahari.
Mereka melewatiku seolah tidak melihatku. Sekilas aku melihat wajah bayi itu yang cantik dan lucu. Aku memanggil mereka, tapi mereka tidak menjawabku, lalu aku mencoba menyentuh mereka supaya mereka tahu keberadaanku, tapi tanganku menembus tubuh mereka.
"Apa aku sudah mati?"gumamku.
Mereka masuk ke dalam rumah, tapi kedua pegasus itu tidak masuk. Mereka tetap berada di luar rumah seperti seorang penjaga. Aku kembali masuk dan melihat ibu masih mengendong bayi. Aku bertanya-tanya, apa bayi itu adalah aku?
Suatu kekuatan menarikku keluar dan punggungku menabrak dua pegasus itu. Mereka menatapku.
"Kalian bisa melihatku?"
Aku menyentuh pegasus itu dan tanganku tidak menembus mereka. Mereka padat.
"Seharusnya kamu tidak berada di sini."
"Siapa sebenarnya kalian?"
"Pergilah! Tempatmu bukan lagi di sini."
"Tapi di sana ada Ayah dan Ibuku."
Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan di depanku dan aku berjalan mundur.
"Aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi sini dan kenapa aku ada di sini?"
Tiba-tiba saja pandanganku menjadi gelap dan aku langsung terbangun di kamarku sendiri masih mengenggam rajutanku.
"Apa itu tadi? Apakah itu mimpi?"
Aku melihat ke sekeliling kamarku dan aku berpikir itu hanya mimpi, tapi mimpi itu terasa nyata bagiku.