3. Perjalanan ke Geneva

1126 Words
3. Perjalanan ke Geneva Christophen Aku langsung menuju kamarku setibanya di rumah dan langsung mengganti pakaianku. Di tempat tidur, aku berbaring. Rakyat Harsengard berpikir aku sudah mati. Sebenarnya aku tidak mati, tapi lebih aman bagi mereka untuk tetap berpikir begitu. Dua tahun lagi sesuai dengan ramalan, aku akan menghancurkan Harsengard akibat dari kutukan yang ditimpakan padaku. Aku sama sekali tidak tahu kenapa aku bisa terkena kutukan yang sudah berlangsung ratusan tahun secara turun temurun. Ayah angkatku tidak memberitahuku secara detail, karena dia sudah keburu meninggal dua tahun yang lalu. Aku syok mengetahui siapa diriku sendiri dan berusaha menerima siapa aku sebenarnya. Hal itu tidak akan mengubah apa pun mengenai diriku sendiri. Aku tetaplah seorang tukang s**u. Saat itu dua tahun lalu masih belum terlalu sore, tapi di luar sudah gelap, hujan turun dengan deras. Aku menemani Ayah angkatku di kamar. Dia memegang tanganku dengan erat seolah dia tidak mau terpisah sedikit pun denganku. Saat itu Ayahku sakit. "Dengarkan aku baik-baik apa yang akan aku katakan padamu." "Aku akan mendengarkannya." "Terima kasih." "Kalau kamu sebenarnya adalah seorang pangeran Harsengard yang terkutuk." "Apa?!"serunya terkejut. "Kamu adalah anak Raja Garret dan Ratu Vivien. Sejak kamu lahir ada seorang peramal kerajaan kalau kelahiranmu akan membawa sial dan kehancuran bagi kerajaan Harsengard. Mereka menyuruh orang tuamu membunuhmu, tapi orang tuamu tidak tega melakukannya. Itu sebabnya mereka menitipkannya kepadaku untuk aku asuh. Aku menyayangimu seperti anakku sendiri. Satu-satunya cara untuk mematahkan kutukan itu adalah meminum air mata cinta dari seorang manusia pegasus." Setelah mengatakan itu, ayahku meninggal dan mewariskan peternakan sapi dan pabrik susunya kepadaku. Selama dua tahun ini, aku tidak pernah mempedulikan kutukan itu, tapi kutukan itu sudah membuatku agak resah terlebih lagi saat aku menyadari telah jatuh cinta pada Macaroon. Aku tidak ingin membuat gadis itu terluka karena kutukan. aku sudah memutuskan akan pergi ke kerajaan Harsengard yang ada di Geneva untuk mencari informasi. Aku bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap pergi ke Geneva. Aku mencium aroma kopi dan roti yang baru selesai di panggang, ketika aku turun ke bawah. "Selamat pagi!"sapa Hansel, asistennya ayahnya yang sekarang jadi asistennya. "Pagi!"jawabku. "Apa Anda tidur nyenyak tadi malam?" "Iya." "Itu bagus." Aku mengambil beberapa wafel ke piring dan langsung memakannya. Aku terkejut dengan rasa roti itu. Lembut dan manis. Ini wafel terenak yang pernah aku makan. "Aku butuh banyak tenaga untuk menghadapi hari ini,"gumamnya. Hansel menaruh banyak wafel di piring yang baru selesai dimasaknya. "Aku ingin kamu hari ini ikut aku ke Geneva." Hansel terkejut. "Ini mendadak sekali." "Itu benar, karena aku baru memutuskannya tadi malam." "Baiklah. Aku akan bersiap-siap." Hansel pergi dan aku memakan wafel-wafel itu. Setelah selesai makan aku juga bersiap-siap untuk pergi. Setengah jam kemudian kami bertemu di pintu depan. Hansel sudah siap pergi dan ia membawa tas punggungnya. "Baiklah. Sudah waktunya kita pergi." Kami naik kuda masing-masing dan mulai meninggalkan rumah. "Berapa lama kita akan sampai ke Geneva?"tanya Hansel. "Kira-kira dua hari." "Lama sekali." Selama perjalanan kami melewati ladang gandum, perkebunan sayuran, dan buah-buahan. Para penduduk sudah melakukan aktivitasnya pagi itu. Aku memacu kudaku agar berlari cepat dan Hansel berada di belakangku. Rambut panjang Hansel berkibar-kibar, karena hembusan angin selama berkuda. Setelah melewati ladang jagung kami melewati bukit-bukit rendah. Setelah tiga jam perjalanan tanpa henti, kami memutuskan untuk beristirahat dan makan siang dengan bekal yang kami bawa seadanya. Setelah makan siang, kami kembali melanjutkan perjalanan tanpa ada yang bicara. Kami harus melewati sungai dengan menyeberangi jembatan Boulderpond kira-kira panjangnya 10 meter. Kami tiba di desa Springwell menjelang sore hari. Springwell merupakan desa yang subur. Hampir semua penduduknya bekerja sebagai petani. Desa ini juga jalan pintas menuju Geneva. Saat kami mendekati desa, penjaga gerbang langsung berdiri dan menanyakan tujuan kami datang ke desa ini. Penjaga gerbang itu menatap kami satu persatu dengan tingkat kewaspadaan tinggi. "Tujuan? Bertemu siapa?" "Kami mau ke Geneva dan dengan siapa kami akan bertemu, itu urusan kami,"kataku. Penjaga gerbang sekali lagi menatap kami dengan pandangan menyelidik dan kemudian mengizinkan mereka masuk. Suasana desa ini sangat ramai banyak pedagang yang menjajakan makanan. Aku menemukan sebuah kedai makan yang nampak ramai. ''Sebaiknya kita makan malam dulu di sini,''kataku. "Baiklah." Suasana kedai makan cukup ramai. Para pelayan terlihat hilir mudik melayani para tamu. Aku dan Hansel mencari tempat duduk yang kosong, karena hampir semua tempat duduk sudah terisi. ''Selamat malam,Tuan-tuan!''sapa salah seorang pelayan pria dengan wajah ramah. ''Malam! Apa masih ada meja kosong untuk kami?''tanyaku. ''Oh tentu saja." Pelayan pria itu memberi isyarat supaya kami mengikutinya. Kami pun mengikutinya.Pelayan itu membawa kami ke sudut ruang kedai dan di sana masih ada satu meja kosong. ''Silahkan !''kata pelayan itu sambil mendorong beberapa kursi dan menyuruh kami untuk duduk, lalu pelayan itu menyebutkan macam-macam menu. Pelayan itu kemudian pergi setelah mencatat pesanan makanan yang kami pesan. ''Berapa lama lagi kita akan sampai ke Geneva?'' "Besok sore,"jawabku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh kedai makan dan memperhatikan para tamu yang ada di sini. Suasana kedai ini cukup terang dengan banyak lilin dan lampu minyak dinyalakan, kemudian pelayan tadi datang lagi dengan membawa makanan yang kami pesan dan kami langsung memakannya dengan lahap. Setelah makan malam, kami meneruskan perjalanan lagi dan mencari penginapan. Akhirnya kami menginap di Blackhorn, sebuah penginapan berlantai dua. *** Keesokan harinya, kami melanjutkan perjalanan dengan melintasi dataran tinggi yang luas dan setelah berjam-jam berkuda akhirnya kami tiba di Geneva pada sore hari. Aku memandang ke sekeliling. Dari sini aku bisa melihat keseluruhan kota Geneva. "Kota yang indah." Hansel berkomentar. Kota itu di lindungi oleh benteng yang besar dan kokoh dengan tembok-tembok pertahanan dengan menara-menara tinggi yang memukau. Di atas bukit berdiri sebuah istana yang megah. Aku juga melihat rumah-rumah penduduk yang bertengger di bukit sekitar benteng dengan asap yang keluar dari cerobong. Kami bergerak secepatnya menuju kota itu. Setengah jam kemudian, kami tiba di sana dan tembok-tembok kota dikelilingi oleh parit dengan sebuah jalan utama, yaitu jembatan batu yang melengkung di atas parit. Di sana banyak orang yang keluar masuk. Ada yang membawa hewan ternak, buah-buahan, sayuran, dan gandum. Kami masuk melalui para penjaga gerbang dan untuk masuk harus mengantri dulu. Giliran kami yang diperiksa dan kami diperbolehkan masuk. Pertama yang aku lakukan adalah mencari penginapan dan beristirahat sebentar sampai makan malam tiba. *** Pagi hari, aku dan Hansel mulai berkeliling di kota Geneva yang terlihat sibuk. Para penduduk hilir mudik. Beberapa orang ada yang menjajakan dagangannya. Aku bingung harus memulai cari informasi kemana. "Anda di sini sedang mencari apa?" "Informasi." "Informasi apa?" "Sejarah kerajaan Harsengard." Hansel memandangiku dengan raut wajah bingung mungkin dia sedang bertanya-tanya kenapa aku ingin mencari informasi itu. "Perpustakaan adalah tempat yang tepat untuk mencari informasi itu." "Kenapa tidak terpikirkan olehku. Kita ke sana."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD