Part 7 : Plans

1886 Words
Kejadian yang terjadi beberapa waktu ini benar benar menyita perhatianku, aku tak memberi perhatian lebih pada sekolahku dan aku juga belum memberi kabar sedikitpun pada Liam. Semua perhatianku terpusat pada Mike. Aku tak menyangka hidupku akan berjalan seperti ini, bertemu secara tidak sengaja dengan makhluk dari dimensi lain, berteman dengan mereka, dan kini Mike harus terlibat dengan semua yang terjadi.  Aku menatap beberapa baju dari lemari pakaian di rumahku, sesekali mencoba menimbang nimbang baju yang akan kubawa, kuambil 3 buah jeans panjang dan beberapa kaos, mencoba mencari baju sesantai dan senyaman mungkin, walau sebenarnya aku selalu tampil santai dan sederhanan, kuangkat beberapa baju yang telah kupilih lalu memasukannya dengan rapih kedalam ransel coklat kesayangku. Mataku melirik Lean yang menungguku mengemas baju dengan duduk di sofa, lelaki itu tampak sangat santai memanjangkan kakinya di atas meja sambil memainkan kukunya dan bersiul. Sudah menjadi kesepakatan bahwa aku akan tinggal bersama mereka untuk sementara waktu, mengingat Alexa yang kapanpun bisa muncul dihadapanku dan kembali membahayakanku, dan aku juga harus mencari cara untuk menyelamatkan Mike, adikku. Rasanya tak mungkin, bahkan sangat mustahil bila aku bisa menyelamatkan Mike sendirian, aku tak akan mampu. Terkena racunnya saja aku sudah tidur 3 hari, bagaimana jika bertemu dengannya . Lagi pula aku masih bingung, apa aku bisa mempercayai para calux ini? Sedangkan dulu Lean hampir membunuhku hanya karena hal kecil.. "Jangan bawa bawa aku kepikiranmu Rose" Lean beralih menatapku dengan tatapan dingin dan datar, perkataannya berhasil membuatku terlonjak sadar dari lamunanku. "Aku juga tak akan menerkammu bila kau tak menguping masalah orang lain" Ia masih mempertahankan tatapannya yang tajam walau aku hanya mengumpat kecil dan menyibukan diriku dengan beberapa barang bawaanku. Lean selalu membaca pikiranku kapanpun. Dan itu memang menyebalkan. "Lalu bagaimana denganmu? Kau kan sering mengikuti aku dan Ares?" Aku berbalik melirik Lean sambil mengangkat sebelah alisku, mencoba kembali menyerang lelaki yang kini duduk dengan santai di sofa rumahku saat ini. Apa dia fikir hanya dia yang bisa bersikap seperti itu? "Jangan banyak bicara, cepatlah. Aku bosan disini" Lean beranjak bangkit dari bangkunya, berlalu kearah pintu tanpa memperdulikan aku yang berbicara padanya saat ini, tingkahnya benar benar menyebalkan. Bila aku tak bergantung pada mereka, aku benar benar ingin melempar kepalanya dengan sepatu yang kupakai. "Dasar menyebalkan" Lekas kuraih ransel coklatku dengan cepat lalu mengunci pintu rumahku rapat rapat, Aku tahu mungkin Liam akan datang dan berkunjung mengingat aku tak datang selama beberapa hari kesekolah tanpa kabar yang jelas. Tapi aku tak punya waktu untuk menjelaskan semuanya, menceritakan semua yang terjadi pada Liam hanya akan membuat semuanya semakin rumit. Kakiku melangkah cepat menyusul Lean dengan menyamai langkah kakinya yang besar saat mulai berjalan memasuki hutan. Suara binatang dan langkah kaki kami memecah keheningan hutan saat ini, semilir angin dan daun daun yang beradu dengan langkah kami memecah keheningan saat ini, suara binatang masih bisa terdengar walau tak seperti malam hari. Jelas sekali tak ada percakapan antara aku dan Lean, lelaki ini memang cuek dan menyebalakan. Aku masih berjalan di belakang Lean, langkahku tak sebesar Lean, dan hal itu membuatku sedikit lelah karena terus mencoba mengimbangi langkah kaki Lean. Belum lagi ia melangkah dengan cepat. Keringat kecil mulai muncul di dahiku, memang cuaca tak sedingin kemarin, aku bahkan tak memakai jacket tebal kesayanganku saat ini. Tapi sungguh aku cukup lelah dengan ransel yang kubawa di pundakku, ransel ini cukup berat mengingat aku membawa beberapa potong celana jeans dan kaos untuk ganti. Aku tak mungkin bermalam di rumah mereka tanpa membawa baju bersalin. Mataku melirik Lean yang masih cuek berjalan tanpa menolehkan pandangannya padaku sedikitpun, jangankan untuk membantuku membawa ransel, menolehpun tidak. "Berat?" Lean melirik kearahku secara tiba tiba, namun sama sekali tak berniat menghentikan langkah kakinya atau sekedar berhenti sejenak. Ini terlihat seperti ia tahu aku kesulitan, namun ia sama sekali tak berniat membantuku. "Yap, Berat? Akhirnya kau sadar ada seorang wanita disini yang tampak lelah membawa ranselnya, tanpa berniat sedikit pun membantunya!" Lean menghentikan langkahnya saat mulutku mengeluarkan sebuah perkataan yang cukup sarkastik, lelaki ini berbalik menatapku dari kepala sampai kaki. Dan tatapannya berhasil membuatku tak nyaman. "A ... apa?" "Tidak" Lelaki itu hanya bergumam dan membalikan badannya dengan cepat, kembali berjalan tanpa membantuku membawa ranselku saat ini. Mulitku membulat, sedangkan alisku mengkerut karena gemas. Apa disini ada panci? Aku bersumpah ingin mendaratkan benda tersebut di kepalanya agar ia bisa berfikir lebih baik. "Kau tak ada niat membantuku?"  Tanyaku dengan mulai berlari menyusul Lean yang berjalan semakin menjauh. "Siapa suruh membawa baju sebanyak itu" Mataku kembali melotot. Perkataannya meluncur dengan mudah. Aku tak habis berfikir apa ia pernah berbicara menggunakan otaknya dengan benar. "s****n" Aku mendengus kasar sambil berjalan menyusulnya, kakiku melangkah cepat berharap rumah yang kami tuju akan segera terlihat dan penderitaanku akan berakhir. Tapi sepertinya tidak, tuhan belum mengabulkan permintaanku yang satu ini. Aku merasa semakin lelah, seandainya yang ada didepanku Ares. Ia pasti akan membantuku untuk membawa ranselku. Ares dan Lean sangat bertolak belakang, aku heran mengapa Ares bisa sabar menghadapi teman seperti Lean. "Bila yang menemaniku berkemas Ares, aku pasti tak perlu kerepotan sepe-" "BERISIK" Lean berhenti melangkah dan mengambil ranselku dengan kasar, raut wajahnya datar, namun ada sorot kesal yang tersorot dari netra cokelatnya. Ia berbalik tanpa berucap sepatah katapun lagi, berjalan meninggalkanku yang masih mematung menyaksikan kemarahan Lean yang tiba tiba. Aku hanya bercanda, lagi pula itu salahnya sendiri. Ia tak mau membantuku sama sekali, dan justru berbicara kasar padaku. Bila ada satu satunya orang yang berhak marah, seharusnya itu aku. Tapi lihat sekarang, Mengapa jadi ia yang marah? ~¤~ "Ah, Aku menunggumu, akhirnya kau datang juga" Waren melambaikan tangannya padaku dengan badan yang tersandar di depan sebuah pohon saat aku melangkah semakin dekat menuju rumah para Calux. Aku melanjutkan perjalananku sendiri tadi, tanpa Lean. Sedangkan lelaki itu pergi entah kemana dengan membawa ranselku.  Ia meninggalkanku begitu saja, beruntung aku sudah hafal jalan menuju rumah ini. "Kemari Rose" "Mengapa kalian tak berjalan bersama? Lean sudah datang dari tadi, dan kau datang lama sekali" Aku hanya tersenyum tipis, aku tak mau mengungkitnya. Toh itu tak menyelesaikan apapun. "Kau lelah, aku ingin menunjukan sesuatu padamu" Waren meraih tanganku, membawa tubuhku untuk mengikuti langkah kaminya. Aku hanya menurut, toh aku juga tak mau berdiam dirumah itu bila ada Lean disana. Aku masih ingat saat ia marah dan meninggalkanku begitu saja. menyebalkan. Aku tak yakin, namun kurasa Waren membawaku ke sungai. Aku bisa mendengar gemercik air saat ini. "Nah, indah bukan?" Aku mengangguk, memandang kesungai disekeliling kami dalam diam. Sungai ini jernih walau tidak terlalu luas. Aku pernah kesini dulu, namun itu sudah sangat lama. dan aku juga hanya kehutan untuk mencari kayu bakar Kuhempaskan bokongku di bebatuan pinggir sungai, pandanganku kosong menatap ke air sungai yang tampak tak begitu deras, tampak begitu jernih. Tak seperti pikiranku saat ini yang penuh dengan pertanyaan yang melintas di pikiranku . Bagaimana keadaan Mike sekarang? Apa yang dilakukan Alexa padanya? Bagaimana aku bisa menyelamatkannya? Aku masih terus memikirkannya sekalipun aku diam, Diamku hanya upaya agar aku sedikit tenang. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, namun aku tahu para Calux ini akan mencari jalan keluar untuk menemukan adikku.  "Rose? Kau melamun?" Waren menepuk bahuku pelan, membuatku terlonjak sadar dari lamunanku, wanita ini mengambil tempat disebelahku, kakinya menjulur kedalam sungai, memainkan jernihnya air dengan kedua kakinya. "Apa ada sesuatu yang kau fikirkan?" Kuhela nafasku sesaat, mencoba merangkai kata yang berkecambuk dalam fikiranku. Entah dengan menyampaikannya beban dihatiku dapat berkurang atau tidak. Waren masih menatapku dengan pandangan sendu, sesekali mengusap tanganku yang ada di genggamnya. "Adikku....bagaimana aku bisa menyelamatkannya?" Aku menarik nafas, memandang lurus pada aliran air sungai dihadapanku, "Sebenarnya, apa yang wanita itu mau? Kenapa adikku yang ia bawa?" "Tenanglah sayang, Aku, Ares, dan Lean akan menemukan adikmu dalam keadaan selamat. Aku berjanji" Aku menatapnya, memandang netra biru Waren yang masih menatapku sendu. Seakan ia dapat merasakan beban fikiran dan rasa gelisah yang kurasakan.  "Bagaimana caranya? Aku akan ingin membantu"  Waren menggeleng cepat, netranya yang sendu kini berubah memandangku dengan tegas. Gadis itu benar benar menolak permintaanku. Tapi aku hanya ingin membantu, diam dan menunggu semuanya baik baik saja bukanlah diriku.  "Tidak, kau tidak boleh ikut, itu terlalu berbahaya. Lagi pula Lean tak akan membiarkanmu terlibat lebih jauh" Aku menatap Waren dengan mendelik, mengapa Ares dan Waren selalu menjadikan keputusan Lean sebagai keputusan akhir? "Kenapa aku harus mendengarkan Le-" "Berhenti bersikap keras kepala" Hentakan suara seseorang membuatku mendengus kesal,  suara itu berasal tepat dari belakangku. Datar dan dingin. Tanpa perlu menengokpun aku sudah tau siapa pemilik suara tersebut.  Aku bangkit dari dudukku dan berbalik menatap Lean dengan sinis. "Aku akan menyelamatkan adikku. Titik!" Lean berdecak kesal dan menatapku dengan tatapan menusuk. Kedua tangannya bersidekap, menunjukkan gelagat bahwa ia tak akan setuju dengan perkataanku tadi.  "Kau tau, mengapa aku bisa mengetahui keberadaannu yang sedang menguping?" Lean maju selangkah mendekat, sedangkan aku menahan posisi tubuhku, mencoba tidak terintimidasi dengan tatapan dan sikap yang ia tunjukkan padaku.  "Karena aku bisa merasakan getaran dari tanah, aku bisa menyium baumu, bahkan sampai kedasar bumi sekalipun!" tambahnya masih mempertahankan tatapannya yang tajam dan mengintimidasi. "Tapii..." Suaraku terdengar lirih, aku bingung, aku benar benar merasa frustasi sekarang. Ucapanku terpotong saat Lean kembali membuka suaranya. "Dan Alexa? Dia bahkan bisa membunuhmu hanya dengan tatapan matanya saja, dan Bila Alexa murka, mungkin aku bahkan Waren, dan Ares tak mampu melawannya" ucapnya menghela nafas, sorot matanya yang tajam sedikit memudar, mungkin ia tak tega melihat diriku yang semakin kacau dari hari ke hari. "Lean benar Rose, jika kau mau membantu kami, maka tunggulah disini" Aku merasakan Waren yang berucap dibelakangku, gadis ini menepuk pundakku lembut. seakan memberikan suatu semangat dari tepukkannya.  Aku mengangguk lemah, aku sudah terpojokkan sekarang. Perkataan mereka memang benar.  Tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu para calux itu menyelamatkan adikku, memang siapa aku ? Aku hanya manusia yang tak bisa apa apa. Benar. Itu semua benar. hanya. manusia. lemah. "Hilangkan raut wajamu itu ...  aku bosan melihatmu kusut seperti ini, lihat wajahmu .. kau seperti mayat hidup" Lean memandangku dengan tatapan jijik yang dibuat buat, bahkan menurutku ekspressinya yang terpaksa itu lebih menjijikan dari diriku saat ini,  disaat seperti ini ia masih bisa menunjukkan sifat menyebalnya padaku. Aku mendengus kesal dan menendang tulang kaki Lean dengan kencang. Dug!! "Aaargh" "Kapan kalian akan membawa Mike pulang?" Aku mengabaikan erangan tertaha Lean dan menatap Waren dan Lean bergantian.  "Secepatnya, dan aku minta kau jangan kemana mana selama kami mencari adikmu" Ujar Waren. sedangkan Lean masih sibuk mengurus kakinya yang kutendang. kurasa aku menendang tepat ditulang keringnya.  "Jika sesuatu terjadi padamu" Waren bergerak maju, Aku menatapnya dengan alis berkurut, hanya diam saat ia mendekatkan kepalanya pada telinga kananku. "Aku takut Lean jadi khawatir" Byurrrrrr.... Aku memekik kencang saat Waren melompat cepat kedalam sungai , membuat percikan air berhasil membasahi diriku dan Lean, dan lagi lagi aku harus mendengar u*****n kesal dari lelaki disampingku. Apa ia tak punya kegemaran lain selain memaki dan mengumpat? "s**l dia kabur" Lean mendengus kesal dengan  berkacak pinggang, aku memalingkan pandanganku ke air, memandang ketempat Waren melompat sebelumnya.  Waren melompat disana, tapi ia tak ada disana sekarang. Air sungai ini sangat jernih, bahkan aku bisa melihat dasarnya dari sini. Apa wanita itu benar benar menghilang? "Tak perlu kaget, Waren Calux water, jangan heran jika ia dapat melakukan banyak hal hebat dengan air" Aku membulatkan mulutku membentu huruf 'o', setelah melihat Ares yang terbang kemarin, ini keajaiban kedua yang kulihat dari mereka. Aku mulai berfikir bila mereka seorang pesulap, pasti mereka sudah sangat terkenal.    "Sampai kapan kau mau disini terus? Aku ingin pulang" tambahnya dengan membalikkan tubuhnya cepat, menunjukkan gelagat bahwa ia akan meninggalkan aku lagi sekarang.  "Lean, sebentar" Aku menarik lengan lelaki tersebut, membuat Lean menghentikan langkah kakinya dengan cepat.  "Kau berjanji akan membawa adikku pulang?" Aku berucap dengan memandang wajahnya, berharap mendapat suatu kepastian darinya. Aku tahu mungkin aku tak pantas menuntutnya seperti ini, namun aku harap ia dapat mengeluarkan kata kata yang membuat kegelisahan dihatiku sedikit berkurang.   Ia m******t bibir bawahnya selama beberapa detik, sebelum aku merasakan kepalanya bergerak mendekat. Cup! "Aku berjanji" ujarnya datar, kemudian berlalu meninggalkanku yang masih terdiam dan mematung ditempatku saat ini. tanganku terangkat menyentuh keningku. Di ... dia menciumku? 》》》》 To be continue《《《《
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD