Bab 8 - Kantor Singapura

1058 Words
Kantor yang berada di 6 Toa Payoh Central, Perpustakaan Umum Toa Payoh, Level 1, Singapura sangat lengkap fasilitasnya, yang sangat dekat dengan stasiun MRT agar bisa ke mana saja tanpa mengeluarkan biaya berlebih di negara tetangga, pikir Ghista.  Memasuki ruangan ber-AC yang dilengkapi dengan Wifi, ia meminta pembicaraan Wifi-nya setelah bertanya pada Chika kode kata sandi Wifi. Akan menghemat kuota jika selama beberapa hari di sini.  Ghista ingin mengecek keuangan selama beberapa bulan terakhir. Bagaimana melaporkan dan memasukan di sini sangat bagus sistem laporannya. Dengan menggunakan Singapura Pelaporan Standar Akuntansi Keuangan atau yang biasa disebut SFR dan disediakan pada IFSR. Pada usaha yang dimiliki oleh Janta Leonard adalah SFR, yaitu Ukuran Kecil dan Menengah.  Ini perusahaan yang disetujui sebagai entitas yang dapat menerima dua dari tiga syarat berikut ini; - Jumlah Penghasilan tahunan tidak lebih dari S $ 10.000.000  - Jumlah aset bruto tidak lebih dari S $ 10.000.000  - Jumlah total karyawan tidak lebih dari 50  Jelas di sini adalah karyawan Janta tidak lebih dari 50 orang, juga pendapatannya tidak lebih dari S $ 10.000.000.  Mengecek keuangan di kantor ini harus benar-benar teliti, karena Ghista tidak memerlukan keteledoran pada pekerjaannya. Hingga malam, ia harus bekerja lembur untuk menuntaskan pekerjaannya. Sudah pukul malam belum pulang.  "Ghis, kopi?" Janta menawarkan kopi, mereka dan satu karyawan Janta yang masih lembur ditawarkan Emma untuk menemani Ghista.  Ghista melihat ke arah lelaki jangkung itu berdiri. "Boleh, Pak, kalo nggak ngrepotin."  "Tunggu sebentar, ya!" Ghista melanjutkan aktivitasnya.  Janta pergi ke ruang pantry yang berada di depan, dekat dengan meja resepsionis. Ia membawa kopi arabika yang dibawa dari Jakarta. Kopi yang dihasilkan dari Aceh atas pembubidayaannya yang asli dari India yaitu berjenis Linie S. Kopi dikembangkan menggunakan Kultivar Bourbon.  Lelaki sulung, yang kembali seperti model itu kembali ke meja Ghista memberikan kopinya. "Diminum, Ghis."  "Makasih, Pak." Perempuan itu menghentikan aktivitasnya untuk meminum kopi buatan orang yang mencintainya.  Emma menghampiri, kala mereka santai menikmati kopi yang baru saja selesai dibuat. “Bisa tak ai pulang? Pekerjaan sudah selesai."  "Bisa. Thank you so much sudah menemani lembur. ” Janta tetap duduk dan gelas kopinya ia diletakkan di meja tempat Ghista mengerjakan laporannya.  Setelah kepergian Emma, perempuan yang mengeluarkan laporan keuangan itu menyesap kopi, lalu berkata, "Pak, kita nggak .... pulang?" tanya Ghista hati-hati.  “Baiklah. Saya siap-siap dulu, kamu beres-beres. Nanti saya ke sini lagi. " Janta kembali ke ruangannya membereskan yang masih berantakan di meja.  Mereka keluar dari kantor sekitar jam sembilan malam. Janta mengajak Ghista untuk mampir makan malam di kedai sekitar Toa Payoh Central.  Makan nasi lemak dan meminum kopi lagi adalah pesanan mereka. Ghista merenggangkan ke dua tangan, kepala digelengkan ke kanan dan ke kiri. Terasa seperti mau lepas bekerja seharian ini.  Kembali ke rumah, mandi langsung tidur adalah kegiatan yang menyenangkan jika tidak diganggu dengan suara manja Angel yang membuat Ghista geleng-geleng kepala. Baru saja masuk rumah, sudah dihebohkan dengan teriakannya yang tiba-tiba keluar kamar sambil terbirit-b***t.  “Itu ada kecoa terbang di kamar. Janta, gue takut, ”adunya sambil memeluk lengan lelaki jangkung yang berdiri di sebelahnya.  “Ntar juga pergi, nggak bakalan gigit lo. Kecoa juga tau mana yang layak digigit dan nggak layak digigit. Jadi, tenang aja. ” Melepaskan tangan Angel, lalu pergi ke kamarnya sambil melihat Ghista dan mengusap rambutnya perlahan. "Istirahat, ya, Ghis!"  Perempuan yang mendapat usapan manja dari tangan orang yang mencintainya dengan tulus itu mengiyakan dan tersenyum sambil berlalu dari pandangan Angel.  Angel mencebikkan bibirnya, melihat lelaki yang ingin ia rebut dari Ghista ternyata ketus padanya. Ia mengambil minum ke dapur setelah ditinggal sendirian. Ingin ke kamar, tapi masih takut dengan kecoa yang belum pergi dari kamarnya.  ***  "Ghista kapan pulang, Bun?" Alex menyalakan televisi, untuk menonton berita hari ini.  Mada yang sedang memasak untuk makan malam pun menjawab tidak tahu dan menasehati suaminya agar berhenti membuat anak perempuannya menderita. Dengan mengecilkan api masakannya yang tinggal menunggu matang, Mada menghampiri Alex. Duduk di sebelahnya dan memeluk lengan suami yang sudah bersamanya selama dua puluh sembilan tahun. “Yah, Ghista udah sabar dan kuat banget ngadepin Ayah. Setiap Ayah pulang dari mabuk pasti mukul Ghista. Bunda tau Ayah nggak ada niat buat mukul Ghista, tapi Ayah sadar nggak? Tanpa Ghista, kita nggak tahu mau makan apa buat besok. Bunda nggak kerja, Ayah yang sebagai kepala keluarga malah menghabiskan uang buat mabuk dan judi. Kapan Ayah mikir buat bahagiain anak-anak Ayah?”  “Kamu ngomong apa, sih? Udah sana masak, aja! Bentar lagi ayah mau keluar. " Alex langsung menuju kamarnya, meninggalkan Mada sendiri.  Terkadang hati bimbang  Menentukan sikapku  Tiada tempat mengadu  Hanya iman di d**a  Yang membuatku mampu  Selalu tabah persetujuan  Lagu legendaris dari sang Lady Rocker kelahiran Bandung ini bernyayi di ponsel milik Mada. Ia berjalan menuju dapur, menarik tombol warna hijau ke atas untuk menjawab telepon dari anaknya yang sedang berada di negara tetangga.  "Iya, Sayang?"  “Bunda sehat? Gimana ayah, Bun?"  “Puji Tuhan sehat, Ghis. Ayahmu ada di kamar. Seperti biasa, selalu marah-marah nanyain kapan kamu pulang. Kamu jangan lupa istirahat yang cukup.”  “Ghista belum tau kapan pulang, Bun. Kerjaan banyak di sini. Iya, salam buat ayah, ya, Bun.”  Saat akan mematikan teleponnya, ponselnya sudah diambil paksa oleh Alex. "Ghis."  Ghista melihat ponselnya, akan dipencet tombol merah yang tertera pada layar, suara sang ayah membuatnya urung melakukannya.  "Ghista," teriak Alex dengan kencang. Ibu dari tiga orang anak yang berdiri di sebelahnya langsung menarik lengan, setelah mematikan kompor.  “Jangan pernah bentak Ghista, Yah! Pake suara pelan juga Ghista bakal denger. ” Mada terlihat emosi kala Alex membentak anak perempuannya.  “Iya, Yah? Kenapa?”  “Buruan pulang! Bunda nggak bisa ngasih uang ke ayah. Kenapa kamu nggak ninggalin uang buat ayah?”  "Maafin Ghista, Yah. Ghista nggak ada uang. Di sini kerjaan banyak, jadi belum tau kapan pulang.”  Teman satu kamarnya yang berada di kamar mandi mendengarkan ucapan Ghista. Ia merasa Ghista hanya diperbudak oleh ayahnya. Kerja lembur, hasilnya dipakai untuk mabuk dan judi. Chika geleng-geleng kepala mendengarkan dari dalam kamar mandi.  Gerah dengan ucapan Ghista terhadap ayahnya, Chika keluar dan melihat perempuan itu buru-buru menutup teleponnya.  "Siapa, Ghis?" Chika pura-pura tidak mendengar semua ucapan Ghista di telepon tadi.  "Ah, bunda, Chik, nanyain kabar. Dapat salam dari bunda tadi."  'Oh, salam balik, deh. Gue mau keluar dulu, ya. Lo tidur dulu aja kalo capek."  Setelah memakai krim malam dan SMS ke sepupunya, Chika keluar menuju balkon di lantai atas. Di sana ia mengajak Janta bertemu untuk mengungkap apa yang ia dengar.  "Kenapa?" Janta membawa segelas kopi hangat, lalu berdiri di dekat pagar pembatas.  Chika yang duduk langsung berjalan mendekat ke sebelahnya. "Tadi Ghista telepon nyokapnya."  "Terus?"  "Ya terus bokapnya marah-marah, minta duit."  "Berapa?"  “Mana gue tau. Gue langsung keluar dari kamar mandi pas denger dia diomelin bokapnya.”  Janta terlihat memikirkan sesuatu membuat Chika penasaran. Ia masih diam melihat suasana malam yang begitu indah dengan bintang-bintang di langit. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD