"Bunny?"
Shween segera menggigit pipi dalamnya. Dia keceplosan. Tak seharusnya dia memanggil pemuda di depannya ini dengan panggilan itu. Mungkin saja dia bukan orang yang dikenalnya. Wajah mereka memang sama persis, tapi sekali lagi kenyataan menamparnya. Kemungkinan pemuda kenalannya menggunakan nama dan foto pemuda tampan ini masih terbuka lebar. Shween mengerang frustasi menyadari hal itu.
Apa tadi? Bunny? Apa dia tidak salah dengar? Dav mengernyit. Sudah lama tak ada yang memanggilnya seperti itu. Sejak dia meninggalkan media sosial yang hanya membuatnya semakin terpuruk karena seorang perempuan yang dia tidak tahu kebenaran identitasnya. Memang hanya perempuan itu yang memanggilnya dengan nama panggilan itu. Hanya Shreen yang memanggilnya Bunny, dan perempuan muda dengan tubuh bak gitar Spanyol di depannya ini sama sekali bukan Shreen. Lalu, dari mana perempuan cantik ini tahu nama panggilan itu?
"B-bunny? Is it really you? (Bunny, benarkah itu kau?)"
Dav tidak menjawab, masih fokus pada suara perempuan itu. Berarti benar dia tidak salah dengar kan? Perempuan yang berdiri di depannya dengan wajah memerah memang memanggilnya dengan sebutan 'Bunny'.
Dav menggeram. "Lu tadi bilang apa?" tanyanya dingin. Netra hitam Dav menatap lurus ke mata cokelat yang indah itu. Sepasang alis tebalnya berkerut.
Shween menggeleng cepat. "I'm sorry (Maaf)." Menatap gelisah pemuda tampan di depannya yang sialnya juga sedang menatapnya tajam. Shween menggigit bibir. Tatapan pemuda itu seolah menelanjanginya dan membuatnya merasa lembab di bawah sana. s**t! "Salah panggil tadi." Shween tersenyum kaku. "Aku kira kamu ... temen aku. Ternyata bukan, cuma mirip." Shween tertawa kecil dipaksakan, bergerak gelisah untuk mengurangi hawa panas yang mulai menyerangnya.
Nada suara itu terdengar kecewa. Dav mengembuskan napas kasar. Perempuan ini ingin membohonginya. Senyum sinis terbit di bibir sexy Dav. Perempuan yang kata Ron bernama Shween sepertinya mengira dia tuli. Tapi tidak, dia tidak tuli, pendengarannya malah termasuk tajam. Masih dapat mendengar dan menangkap kata-kata yang tadi diucapkan bibir berlipstik merah itu.
"Gue nggak tuli. Lu tadi manggil gue Bunny."
Mata Shween melebar. Pemuda ini mendengar perkataannya. Celaka! Shween semakin bergerak gelisah. Tubuhnya semakin terasa panas, tatapan datar dan dingin itu seolah bukan hanya menelanjanginya tetapi juga merayapi seluruh tubuhnya. Shween mengambil napas berat, membuangnya pelan melalui mulut. Sialan! Bagaimana dia bisa terpancing hanya karena tatapan saja? Shween mengerang kesal di dalam hati.
"Dari mana lu tau panggilan itu?"
Dav maju mendekati Shween. Sekarang mereka hanya berjarak beberapa inchi saja. Napas Shween semakin berat dan tercekat, apalagi mendengar pertanyaan dengan suara dingin itu. Shween menggigil tanpa sadar.
"Nggak ada yang manggil gue kayak gitu kecuali Shreen." Dav menurunkan kepala. Wajah mereka sangat dekat sekarang, sampai-sampai dia dapat merasakan kalau perempuan ini menahan napasnya.
"Take a breath ... Shween (Bernapaslah ... Shween)."
Shween benar-benar berhenti bernapas sekarang. Sepertinya seluruh oksigen di bumi berganti dengan karbondioksida, sehingga sangat sulit baginya menghirup udara. Shween memekik dalam hati, jantungnya menabuh kencang. Pemuda ini memang Dav-nya.
"Shween ... bukan Shreen! Karena lu bukan dia."
Shween menggeleng kuat, berusaha mengatakan kalau Dav salah. Dia memang Shreen. Dia sangat ingin bersuara dan mengatakan yang sebenarnya, tapi lidahnya kelu tak bisa digerakkan. Shween mengumpat dalam hati.
"Siapa lu?"
Shween masih diam. Kepalanya masih menggeleng walau tak sekuat tadi. Membuat Dav frustasi. Pemuda itu menggeram kesal.
"Jangan panggil gue Bunny!" sentak Dav kesal. Panggilan itu membuatnya mengingat kembali semua kenangan tentang Shreen. Mengingat? Bukankah dia memang tidak pernah lupa? Dav mendengus, mengalihkan fokus dari Shween yang sepertinya gemetar.
Shween menggigit bibir untuk kesekian kalinya.
"Nggak ada yang boleh manggil gue dengan nama itu kecual hmph...."
Perkataan Dav terhenti. Shween menciumnya, melumat bibirnya dengan tubuh gemetar yang sangat kentara. Sedetik Dav terpaku, dia tidak menyangka kalau perempuan di depannya ternyata perempuan agresif. Dav tersenyum miris, mengasihani hatinya. Seharusnya dia sudah tahu, tidak ada perempuan baik-baik kalau sudah berada di tempat ini. Dav mengerang kesal, menyadari dirinya menikmati ciuman perempuan yang tak dikenalnya ini. Dadanya bergemuruh. Tubuh bagian bawahnya bahkan bereaksi. Sesuatu yang sangat jarang terjadi. Dav bukan pemuda yang mudah terangsang. Ciuman saja tak kan membuatnya panas. Namun sekarang lihatlah, adiknya sudah bangun. Sial!
Shween tak berhenti. Dia terus saja melumat dan mengulum bibir pemuda di depannya. Bibir Dav-nya! Perasaan tak terlukiskan membuncah di dadanya. Dia menemukan Dav-nya, bahkan sekarang menciuminya. Ternyata Dav tidak palsu seperti dirinya. Kenyataan itu membuat Shween tersenyum kecut dalam hati. Apakah Dav akan marah kalau tahu yang sebenarnya? Entahlah, semoga saja tidak. Tadi dia tidak mengatakan siapa dia sebenarnya, suaranya masih tercekat di kerongkongan. Dia langsung menerjang Dav untuk menghentikan pemuda itu yang terus bertanya memojokkannya. Shween mengumpat dalam hati menyadari betapa agresif dirinya. Sementara Dav hanya diam, seolah pasrah dengan apa yang dilakukannya. Shween menggeram kesal.
"It's me (Ini aku). Shrenn!" ucap Shween disela-sela ciumannya.
Dav terbelalak. Shreen? Bagaimana mungkin, wajahnya sangat berbeda.
"Bunny, honey, love, cinta, my vampire prince, I'm Shreen!" Shween terengah setelah mengakhiri ciuman sepihaknya. Wajah cantiknya memerah.
"Nggak! Ini nggak mungkin!" Dav menggeleng. "Kamu bohong. Kamu bukan dia!"
Shween tersenyum menggoda. Dia sudah dapat mengendalikan dirinya. Shween berjingkat, kembali memainkan bibir Dav dengan bibirnya, menggigit pelan. "Yes, I am (Iya, ini aku)." Shween mengangguk manis sambil memainkan mata.
Dav membuang muka, mengawasi Ron yang tak tampak. Mungkin pemuda itu sedang menuntaskan nafsunya. Ron tadi nampak sangat b*******h pada perempuan yang sekarang sedang memeluknya ini. Astaga, benarkah perempuan ini Shreen? Shreen-nya? Kenapa mereka tampak berbeda? Shreen yang dikenalnya tidak secantik dan sememesona ini. Maksudnya, Shreen memang cantik dan memesona tapi tidak ... menggoda dan sepanas ini. Shreen yang dia kenal adalah perempuan kaku dan cuek, tidak agresif seperti perempuan di depannya ini.
"Bunny?"
Dav kembali menatap Shween yang sedang menggambar pola abstrak di dadanya yang tertutup kaus. Menggeram tertahan di dalam hati menyadari tubuh mereka tak berjarak. Shween atau yang mengaku Shreen atau siapa pun, menempel di tubuhnya.
"What are you looking at? (Apa yang kau lihat?)" Shween mendongak. Menggigit bibir untuk kesekian kali manakala matanya bertemu dengan mata hitam Dav. Dia terhanyut dalam jelaga hitam itu, larut dalam arusnya yang tak tak bertepi.
Dav menggeleng. Mengusap wajah dan meremas rambut hitamnya pelan. Berusaha meredam gairah yang diciptakan perempuan penggoda yang masih menarikan jari di dadanya, dan dia gagal. Dav menggeram. Persetan siapa perempuan ini sebenarnya, memang benar Shreen atau hanya perempuan lain yang berpura-pura menjadi perempuan yang dirindukannya. Yang pasti, Shween terlalu menggoda untuk dibiarkan. Seluruh tubuh perempuan itu seolah memanggilnya untuk menyentuh setiap lekukannya.
"Bunny?"
Bibir sexy itu kembali memanggilnya. Dav menggeleng, mengusir pening karena berusaha meredam sesuatu yang terus meningkat seiring tarian jari-jari Shween di dadanya. Namun, dia tetap kalah. Seberapa keras dia berusaha melawan, secepat itu pula rasa itu menguasainya.
Shween mengernyit melihat smirk terbit di bibir sexy Dav. Mata cokelatnya menyipit, mencari tahu arti senyum miring yang menghiasi wajah tampan itu. Shween tahu, Dav masih belum memercayai kata-katanya, Shween juga tahu arti kabut di manik obsidian Dav. Shween mengembuskan napas kuat, membalas senyum Dav dengan senyuman menantang. Dav sudah tergoda olehnya, tapi masih ragu dengan dirinya. Shween memutar otak, mencari cara agar Dav percaya.
"Bunny, do you believe me? Do you believe with what I say?" (Bunny, kamu percaya padaku kan? Kamu dengan dengan yang aku katakan kan?)
Dav kembali mengerang. Sungguh dia sudah benar-benar kalah. Kali ini dia akan pasrah pada rasa yang semakin ditahan semakin membuatnya tersiksa. Dav kembali menggeleng. Kepalanya semakin pening dengan napas panas dan memburu.
"Shreen..." Dav memeluk Shween erat. Menekan tubuh itu agar makin menempel di tubuhnya. "Kita kan udah putus." Sebelah alis tebal pemuda itu terangkat. Mulutnya meniup-niup telinga Shween usil menggoda si empunya telinga.
Sungguh, Dav masih sangsi siapa perempuan cantik ini sebenarnya. Otaknya menyangkal tapi hatinya menyuruh untuk memercayai apa yang dikatakan Shween. Namun, kalau Shween adalah Shreen, berarti selama ini perempuan ini sudah membohonginya. Dav mengumpat dalam hati menyadari kemungkinan Shreen menggunakan foto orang lain. Baiklah, sepertinya bermain beberapa menit sebelum balapan bukan ide yang buruk. Memang sangat bukan dirinya sekali, tapi dia perlu meredakan sesuatu yang akan meledak kalau tidak dituntaskan. Dia yakin masih dapat memenangkan balapan dan menambah koleksi mobil di garasi apartemennya. Persetan dengan Ron dan taruhannya, tapi kalau benar Shreen yang dijadikan Ron taruhan, dia tidak akan memaafkannya. Dia akan menghabisi Ron malam ini juga.
Shween menggigit bibir. Rasanya semakin tidak nyaman dengan bagian bawahnya yang terasa semakin lembab melihat bagaimana Dav menatapnya.
"Putus ya?" tanya Shween serak. Sebelah alisnya juga terangkat. "Kok meluk aku?"
Dav mengangkat bahu, membela diri. "Kamu duluan yang nyerang aku."
Shween mengangguk-angguk kecil. Perempuan cantik itu berjingkat, mendekatkan mulutnya ke telinga Dav. "Cause you are mine! (Karena kau milikku!)" bisiknya seduktif, kemudian menggigit daun telinga itu.
"Oh ya?" Dav terkekeh. Suaranya juga terdengar serak, antara geli dan b*******h. Napas Dav semakin memberat.
Shween mengangguk manis. "No Echa or any other women! (Tidak ada Echa ataupun perempuan lainnya!)"
Dav tersentak. Shween mengenal Echa? Dav sangat tahu kalau Shreen membenci Echa. Dav kembali menjalin hubungan asmara dengan Echa, padahal dia dan Shreen masih berstatus sepasang kekasih. Astaga! Kalau Shween mengenal Echa, apakah dia memang benar Shreen?
"What? (Apa?)" tanya Shween judes. "Are you still in touch? You and Echa? Then it's time for revenge, I mean ... it's time to take back what should be mine! (Apakah kalian masih berhubungan? Kau dan Echa? Kalau begitu sekarang saatnya balas dendam, maksudku ... sekarang saatnya untuk mengambil kembali apa yang seharusnya memang menjadi milikku!)"
"Wow!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Dav. Pemuda itu masih terpukau pada kenyataan di depannya. Kata-kata Shween barusan memperjelas kalau dia memang benar-benar Shreen. Bertemu Shreen di dunia nyata setelah hampir setahun mereka tak berhubungan. Sungguh sebuah kejutan yang terasa seperti mimpi. Namun, Dav tidak menyangka kalau Shreen ternyata bukan perempuan seperti yang dibayangkannya selama ini. Dia membayangkan kalau Shreen adalah perempuan kaku dan formal, tidak menyangka kalau Shreen sebenarnya agresif dan sangat panas. Dav berani bertaruh, siapa pun yang memandang Shreen akan terbakar. Termasuk dirinya. s**t!
"Yeah! I hate them!" Shween menggeram rendah. Wajah cantiknya madih terlihat memerah dengan napas memburu. Kesal dan gairah menguasainya.
Dav kembali fokus pada wajah cantik yang terlihat judes. Shreen tidak cemberut, wajahnya menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Angkuh dan sulit ditaklukkan. Buktinya Ron sampai sekarang tidak berhasil menyeret Shreen ke atas ranjang. Membayangkan itu Dav menggeram, kedua tangannya mengepal. Namun dia tetap memaksakan diri untuk bertanya, dia masih penasaran.
"Siapa?" tanya Dav berpura-pura tidak tahu dengan 'them' yang tadi disebut Shreen.
Shween menatap Dav dengan mata menyipit. Semakin kesal karena mengingat perempuan tak tahu malu yang menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Mendengus, Shween mendorong Dav kuat hingga pemuda itu merapat ke badan mobil.
"Echa dan mantan-mantan kamu yang lain of course! They are annoying! (Mereka menyebalkan!) Nggak tau malu terutama Echa!"
Dav semakin yakin kalau perempuan bar-bar di depannya memang benar Shreen. Tak ada yang berbicara dengan bahasa campuran seperti itu selain dia.
"Ishh mulutnya, awas ya!" Dav memencet hidung mancung Shween gemas. "Lupa ya sama apa yang aku bilang?"
Shween membelalak kesal, menepis tangan Dav dan menjauhkan tangan itu dari hidungnya. "Nggak tuh!" jawab Shween dengan bibir mengerucut.
"Dasar cemburuan." Dav mengacak rambut Shween yang tergerai.
"Yang suka bilang putus siapa?" Shween menarik kerah jaket Dav, menyatukan kening mereka. Shween memejamkan mata, napas Dav terasa panas menyapu wajahnya.
"Aku," bisik Dav di depan bibir Shween dengan wajah tak berdosa.
Shween membuka mata. Bibir merahnya mengerucut. Kesal dengan jawaban pemuda itu yang terlewat jujur. Juga apa-apaan wajah itu. Sungguh, wajah sok polos Dav membuatnya kesal. Shween menjauhkan diri, memalingkan muka. Wajahnya terasa memanas, Dav tak boleh melihatnya merona.
"Pipinya merah." Dav berusaha membawa wajah Shween untuk berhadapan dengannya. Tak mudah karena perempuan itu menolak. "Nggak nyangka ternyata kamu bisa malu juga ya, Mancung." Dav terkekeh.
Shween membelalak lagi. "What do you mean? (Apa maksudmu?)" tanyanya.
Dav mengangkat bahu. "Kamu kan kaku, nggak asyik, nggak perhatian...."
Shween menatap Dav dengan mata memicing. Gemas dan kesal, Shween menggigit leher Dav. Membuat pemuda itu mengerang tanpa sadar.
"Jujur banget sih, Bunny." Shween mendusalkan hidungnya di ceruk leher Dav. "Good boy!" Mengecup leher itu beberapa kali.
"Yeah." Dav menggeram tertahan. "So kiss me then. (Ayo cium aku)"
Shween menggeleng, menggigit bibir menggoda. "Nah nah. (Tidak tidak)"
Namun perempuan itu berjingkat, memeluk leher Dav kemudian melumat bibir pemuda itu rakus.