CVC 60. Kembali ke Apartemen Elliana
I sing the national anthem while I'm standin'
Over your body, hold you like a python
And you can't keep your hands off me, or your pants on
See what you've done to me, King of Chevron ....
Aaron melihat Cassandra menari di hadapannya, dengan pakaian minim dan siluet tubuh meliuk- liuk di remang- remang. Gadis itu tertawa kecil menggoda, akan tetapi berujar menyindirnya. "Kamu manusia yang dikuasai hawa nafsu semata, tidak ada bedanya dengan binatang, Aaron."
Sekejap kemudian Aaron merasakan kerasnya lantai dan ia tertelungkup tidak bisa bergerak. Kepalanya sangat sakit seperti dihantam gada dan Elliana menginjaknya, menyenggol pundaknya dengan kaki bersepatu karet serta menyindirnya. "Heh, kam.pret! Nagapain lo di sini? Kurang kerjaan banget sih?"
"Aku berusaha menyelamatkanmu dari masalah, dasar pegawai durhaka!" teriak Aaron, tetapi tidak ada suara dikeluarkannya. Elliana tersengih sinis lalu melangkah menjauhinya. Aaron berteriak lagi —yang tidak ada suaranya— "Balik lo ke sini, Elliana! Elliana!"
Gadis itu mengabaikannya dan menghilang.
"Uugh ...." Aaron mengangkat kepala dan menyadari ia baru saja terbangun dari pingsan. Belakang kepalanya sakit dan penglihatannya masih berbayang, tetapi cukup bisa mengenali ia masih berada di kamar hotel, hanya saja cahayanya sangat minim. Aaron berusaha melihat jam tangannya. Melihat tubuh dan tangannya masih kekar langsing, Aaron cukup yakin ia belum berubah wujud dan masih punya waktu pergi dari hotel.
Ia memicing melihat sekeliling sambil berusaha merangkak, meskipun sangat sulit. Aaron merasa ia sendirian di kamar itu. "Sialan!" gerutunya terpikir Celine telah menjebaknya sehingga nekat mencederainya. Apa Celine dan rekannya hendak menutupi jejak pencurian formula kosmetik itu, dengan menuduh Elliana? Siapa Elliana yang menemui Valentino de Dimer? Jika ada rekamannya, ia akan melacak wanita itu. Sekarang ia akan membereskan Celine dan orang yang memukulinya. Segera, setelah tenaganya pulih.
Aaron terengah, susah payah berhasil bersandar ke kaki ranjang, mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gabriel, tetapi tidak dijawab juga. Jam menunjukkan 23.21. "Ah, sialan! Ngapaian aja dia sampai gak ngangkat telepon?" Aaron beralih menelepon Elliana, tapi juga mendapat respons yang sama. Tidak menjawab panggilannya.
Aaron kemudian menelepon pengacaranya agar mengurus laporan bahwa ia dicederai seseorang, akan tetapi Aaron tercenung melihat sepasang kaki terlihat dari sisi sebelah kanan ranjang. Kaki berstoking yang Aaron kenali sebagai kaki Celine. Aaron mengabaikan suara sahutan di teleponnya. Ia berdiri perlahan-lahan dan mendekati Celine dengan hati- hati. Seketika Aaron terperangah. Celine terbaring telentang di lantai. Wanita itu tidak bergerak, masih dalam pakaian dalam seksinya, di belakangnya tampak genangan merah tua yang Aaron yakin itu adalah darah. Mata Celine terbuka lebar menyorot hampa, bibirnya sedikit terbuka seakan habis berteriak. Ada bekas pukulan benda keras di jidatnya.
"Oh, sialan!" desis Aaron yang menyadari Celine sudah mati dan ia satu-satunya orang yang ada di kamar itu bersama Celine.
Sayup-sayup suara lantang pria dari telepon. "Pak? Bapak Aaron?"
Tanpa berkedip dan mengalihkan pandangannya dari tubuh Celine, Aaron mengangkat telepon ke telinga dan berujar pada pengacaranya. "Pak Fariz, saya mau melaporkan pembunuhan."
"Hah? Apa, Pak? Bapak serius? Siapa korbannya?"
Aaron berujar lirih. "Celine Oktavia."
Sebentar saja kepolisian sudah datang ke TKP, parahnya, dibarengi wartawan. Untungnya, pengacaranya juga mendampingi. Aaron dibawa ke paramedis untuk divisum cederanya dan tes narko.ba. Cedera kepalanya cukup parah dan mengganggu sehingga Aaron diperbolehkan menunda pertanyaan kepolisian.
Aaron masih berusaha menelepon Gabriel, tetapi tidak dijawab. Ia sangat gusar. Pak Fariz, pengacaranya, terus mendesak agar ia rawat inap di rumah sakit. "Nggak, aku mau pulang saja!" tampik Aaron sambil bergegas ke mobilnya di parkiran. Di kejauhan wartawan mengambil gambarnya serta evakuasi jenazah Celine.
"Pak, kepala Bapak baru saja kena pukulan keras, biar dirawat dokter dulu," nasihat Pak Fariz, tetapi Aaron mengabaikannya. Ia memaksa diri menyetir mobil sendiri, pergi dari kawasan hotel itu.
Saat mengemudi, penglihatan Aaron sempat menggelap dan ia menjadi khawatir kenapa- kenapa kalau sendirian. Karena Gabriel tidak bisa dihubungi, ia memutuskan pergi ke apartemen Elliana. Petugas jaga mengenalinya, sehingga tidak melarangnya naik. Jam perubahan wujudnya sudah memasuki menit- menit kritis. Aaron berjalan sempoyongan dan mulai melonggarkan kemejanya. Ia tiba di depan pintu apartemen Elliana, membunyikan bel tanpa henti.
Elliana terbangun oleh Gabriel yang menggoyang bahunya. "Ell, ada yang bunyiin bel tuh," ujar Gabriel. Elliana bergegas bangun, mengenakan bra, kemudian atasan piamanya, lalu berlari kecil ke pintu depan. Bunyi bel sangat ribut mungkin ada sesuatu yang penting, tetapi siapa yang datang hingga bisa naik ke lantai apartemennya?
Gabriel mengenakan kaos oblong, mengiringi Elliana beberapa meter di belakang. Ia bersandar di dinding supaya tidak terlihat langsung dari pintu, berjaga- jaga kalau ada apa-apa.
Elliana mengintip lubang pintu dan terkejut melihat Aaron dalam keadaan kacau balau. "Bapak Aaron," ujarnya memberitahu Gabriel dan segera membuka pintu karena tahu Aaron akan segera berubah wujud.
Ketika pintu terbuka, Aaron melangkah masuk dan langsung jatuh ke dekapan Elliana. Gadis itu mematung. Aaron tersenyum tatkala wajahnya meringis menahan sakit. Ia berujar getir yang membuat sekujur tubuh Elliana meremang. "Mereka bisa berkata apa pun tentangmu, tetapi aku memilih tidak mempercayainya, Ell. Aku tahu kau tidak akan melakukan itu. Kau tidak akan menghancurkanku. Kau justru ... menyelamatkanku ...."
Aaron mulai meregang dan kesakitan. "Aaargh!" erangnya, mencengkeram lengan Elliana. Mereka berdua terdoyong hingga Elliana terduduk di lantai, sementara Aaron roboh di pangkuannya. Tubuh pria itu gemetaran dan mulai membesar. Badannya merah dan berkeringat bak direbus, Elliana tidak bisa membayangkan sakitnya perubahan wujud itu. Ia terpana kemudian gelagapan membantu Aaron melepas pakaiannya hingga pria itu telanjang bulat, menggelepar di lantai untuk beberapa menit sampai akhirnya berhenti membesar dan tidak bergerak lagi.
Aaron sempurna menjadi Novan. Pria gemuk itu bak bayi besar yang meringkuk tidur di lantai. Elliana menelan ludah dan mengerjap beberapa kali mengumpulkan kesadarannya. Gabriel mendekat dan membungkuk hendak memapah Novan. "Ayo, kita pindah dia ke kamar."
"Tunggu dulu!" seru Elliana. Ia merangkak memeriksa Novan dari dekat. "Keknya tadi saya liat ada bengkak di sini, Pak," gumamnya. Ia meraba kepala Novan dan menemukan lengkungan tak wajar di kepalanya. "Nah, iya, ada benjolan."
Gabriel mengambil selimut untuk menutupi tubuh Novan. Bersama Elliana ia memindahkan Novan ke kamar tidur tamu dan membaringkannya dengan hati- hati. Elliana menggerutu, "Bapak Aaron tuh habis ngapain sih sampai begini? Ngeseksnya keras banget ya sampai benjol. Pantesan kalo digetok kepalanya dia warasan dikit. Ih, kalau dia geger otak mah wajar aja."
"Nggak, Ell, ini bukan karena ngeseks," sahut Gabriel. "Ia gak bakalan kesakitan kalau ngeseks."
Elliana tergamam. "Oh? Jadi, apa yang terjadi dengan Bapak Aaron?"
Kening Gabriel berkerut dalam. "Entahlah," jawabnya lalu membenahi selimut Novan agar tidur nyaman. Ia mengambil ponselnya yang berada di ruang tengah dan terperanjat setelah memeriksanya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Aaron.
Elliana berjalan ke dapur untuk mengambil es batu guna mengompres kepala Novan. "Itu gimana kalau kenapa- napa? Apa gak sebaiknya Novan kita bawa ke rumah sakit aja, Pak?"
"Ntar kita tunggu Novan bangun," sahut Gabriel sambil menggulir layar ponsel. "Ell, coba cek ponsel kamu. Apa Aaron juga menghubungi kamu?"
Elliana mencari- cari ponselnya yang ditemukan di nakas televisi. "Iya, Pak, ada 4 kali telepon sekitar jam 11an tadi." Elliana bergegas ke kamar Novan untuk menemaninya.
Nomor Pak Fariz ada di daftar panggilan tidak terjawab. Gabriel menelepon pengacara itu dan terperanjat mendengar ceritanya. "Bapak Aaron diserang orang, Pak pas sekamar dengan Nona Celine Oktavia. Nona Celine- nya tewas karena pendarahan di kepala. Kayaknya dipukul pakai benda yang sama dengan yang mukul kepala Bapak Aaron. Dugaan sementara mengarah ke pencurian formula kosmetik itu. Ini saya lagi di kantor polisi, Pak, buat memantau penyelidikan. Bapak Aaronnya sudah sampai di rumah kah?"
"Iya, sudah," sahut Gabriel.
"Syukurlah. Tadinya saya khawatir soalnya beliau maksa pulang sendiri."
"Hm. Ntar kalau Aaronnya sudah bangun akan saya bawa ke rumah sakit."
"Nah, iya, Pak. Semoga gak kenapa- napa sih."
"Iya."
"Oh iya, sekalian ini saya mau bilangin, di hotel tadi ada juga check in pegawai Novantis yang namanya Elliana, lengkapnya Cassandra Elliana, tapi dicari orangnya gak ada lagi. Polisi mungkin mau nanyain dia."
Gabriel heran bukan main sehingga dahinya berkerut dalam. "Elliana?" gumamnya. Bukannya Elliana di apartemen aja bersamanya? "Jam berapa dia check in?" tanya Gabriel.
"Sekitar jam 9an."
"Soal Elliana ini, bisa gak polisi jangan rilis namanya? Soalnya ntar ada kerancuan identitas dengan Cassandra. Novantis dan Diva Cosmetics ada kontrak dengan dia."
"Baik, Pak. Akan saya aturkan."
"Oke. Terima kasih, Pak Fariz. Tolong pantau terus penyelidikannya, ya." Gabriel lalu menutup ponselnya. Ia menarik napas dalam sembari dalam kepalanya menyusun kepingan teka- teki kematian Celine. Ia ke kamar Novan untuk melihat kondisi sahabatnya itu dan bersandar di ambang pintu memandangi Elliana memegangi kantong es kompres di kepala Novan.
Sangat mungkin ada orang lain yang mengetahui perubahan wujud Aaron serta tampang palsu Cassandra Elliana, sehingga ingin menjebak dua orang itu. Celine mengetahui hal itu dan kematiannya mungkin tidak direncanakan karena wanita itu paling goyah jika berhadapan dengan Aaron. Agaknya rencana pelaku gagal karena Aaron sadar lebih dulu dari perkiraan dan sempat membuat laporan. Aaron memang selalu diiringi dewi keberuntungan dalam hidupnya.
Elliana menoleh padanya. "Kenapa, Pak?" tanyanya.
"Kalian berdua ... apa yang akan kalian berdua lakukan jika identitas ganda kalian terekspose?"
"Hhhh ... saya sudah sampai tahap gini, ya, Pak, jujur, saya tidak peduli, tetapi entah Bapak Aaron, karena ini menyangkut obat pelangsing supernya, saya rasa rahasia itu yang harus dilindungi."
"Itu bukan obat pelangsing, Ell, itu obat perbaikan DNA," ringis Gabriel yang merasa terhina penelitian secanggih itu hanya menjadi setaraf obat pelangsing.
"Yah, apalah, terserah saja. Jika memang untuk perbaikan DNA, seharusnya lebih berguna daripada hanya sebagai jalan pelampiasan nafsu CEO maniak seks. Kek gini coba, punya banyak wanita, ujung- ujungnya jadi masalah 'kan?" ketus Elliana yang setelah Gabriel pikir, ada benarnya.
"Ell, sini!" gubit Gabriel dari ambang pintu.
"Apa?" sahut Elliana yang masih agak kesal pada Aaron.
"Sini bentar!" ujar Gabriel lagi.
Elliana beranjak dari sisi Novan. Ia mendatangi Gabriel yang mundur ke luar kamar. "Apaan sih, Pak?"
Gabriel malah senyum-senyum dan mendorong Elliana hingga tersandar di dinding. "Mulut kamu pedas. Pengen kujejali Ulil aku." Lalu mencium kuat bibir Elliana.
Gadis itu mendorongnya dan mencebik kesal. "Uweee, me.sum! Bapak Gabriel me.sum!" Ia berlari kecil menjauhi pria itu.
Gabriel tertawa lepas dan mengoloknya. "Aku CEO me.sum juga loh, Ell. Kan udah aku bilang tadi," ujar Gabriel sambil mendatangi Elliana yang masuk ke kamar tidurnya. Gadis itu berjaga di balik pintu dan mengintipnya. Gabriel berujar lembut. "Tapi aku mesumnya cuman sama kamu, Ell."
"Hidih, gombal!" tampik Elliana yang segera menutup rapat pintu dan menguncinya dari dalam. Takut jika beneran Ulil Bapak Gabriel dijejalin ke mulutnya. Takut menolak, gitu. Soalnya ia 'kan suka penasaran. Elliana buru- buru bersembunyi di balik selimutnya dan memilih lanjut tidur. Biarin aja Bapak Gabriel urus sendiri sobat dia yang super ngeselin itu.
***
Bersambung ....