CVC 58. DI APARTEMEN ELLIANA
Kejadian Aaron dan Gabriel meninggalkan rapat menimbulkan tanya bagi para kepala bagian yang tertinggal di ruang rapat. Mereka membubarkan diri setelah mendapat chat Aaron di grup, bahwa ia pergi karena ada keperluan mendadak.
Aaron dan Gabriel berkumpul di apartemen Elliana, mendengarkan gadis itu menangis. Proyek kosmetik itu sudah menjadi obsesi Elliana, tiba- tiba saja ada oknum seenaknya menghancurkan semua itu. Elliana sangat yakin itu ulah salah satu Kitty Baby Aaron. Ia jadi makin sebal pada Aaron.
Suasana terpukul itu mengundang kucing abu-abu gemuk dan kucing putih mendekati kaki Elliana. "Meong ...." Kucing abu-abu bersuara seraya menyapukan kepala pada tuannya.
"Moses ...," isak Elliana menyahuti kucing itu lalu mendekapnya. "Mommy sedih sekali usaha Mommy gagal. Mommy bakalan dipenjara. Hu hu huuuu ...."
Aaron bangkit dari sofa dan berujar gusar. "Udah lah, Ell. Kamu jangan nangis terus. Aku gak bisa berpikir jadinya. Coba tenang dulu dan kita runut masalahnya sama-sama." Kemudian ia mencoba menenangkan situasi dengan menyapa kucing Elliana. Ia menyapa Moses lebih dulu dengan mengusap kepala kucing itu. "Hai, Momo. Akhirnya kita ketemu. Kenalin aku Aaron, calon daddy kamu."
"Grrr ... rowr rowr rowr!" Di luar dugaan, Moses melompat menyerang Aaron dan mencakar- cakar wajah pria itu.
"Aaargg!" Aaron terjungkal di lantai dan berusaha keras menangkis dengan mengangkat lengan melindungi wajahnya. Muka tampan itu sempat kena gores di pipi.
"Moses!" Elliana terperanjat, tidak menyangka Moses beneran menyerang Aaron seperti yang dilakukannya pada gambar wajah Aaron. Buru-buru ia menarik Moses yang bertengger di lengan Aaron. "Momo, hentikan! Jangan mencakar orang. Momo!"
Gabriel bergegas membantu melepaskan cakar Moses yang sangkut di jas Aaron. Kucing itu lepas dan segera didekap erat Elliana. "Moses, kamu nakal! Nakal!" hardik Elliana sambil memukul- mukul tangan kucing gembul itu padahal dalam hati senang bukan main ada yang membalaskan kemarahannya pada Aaron.
Aaron duduk meringis dan menggerutu, "Huh! Gak piaraan, gak tuannya, sama- sama temperamen." Namun, Anais mendekati Aaron, kaki depan berpijak di paha Aaron dan mengendus Aaron seakan menciumnya.
"Ah, kucing yang cantik ...," puji Aaron. Ia menggaruk-garuk dagu kucing betina itu. Anais semakin bermanja- manja pada Aaron. Bersungut ke da.da pria itu dan menyapukan tubuh mencari kehangatan. Aaron semakin menggerayangi gemas tubuh Anais. "Humm, Kitty Baby, kamu pengen disayang? Humm, sini Daddy Aaron peluk kamu." Aaron menggendong dan menciumi kucing itu.
Melihat hal itu, Elliana dan Moses sama- sama memicingkan mata dan mendengkus kesal mengecam Anais. Pengkhianat!
Tak mau kalah, Gabriel mengambil Moses dari tangan Elliana. "Udah, Ell. Kamu tenangin diri dulu. Bikin minum gih," ujarnya. Moses anteng saja berada di tangan Gabriel.
Elliana tersipu. "Iya, Pak," sahutnya sopan. Ia segera ke dapur dan menyeduh teh dalam poci. Aroma teh vanilla mengirimkan sensasi nyaman. Ketika Elliana menyeruputnya lebih dulu di dapur untuk menakar manisnya, perasaannya menjadi hangat dan bersemangat. Ia membawa set minum teh untuk 3 orang, serta satu setoples kue kering nastar.
Aaron sedang bermain kail dengan Anais, sedangkan Gabriel mengasuh Moses dan tampang mereka berdua sama, dingin dan menyorot tajam mengawasi Aaron. Kadang Elliana tidak memahami sikap menjaga Gabriel. Terkadang terkesan mengendalikan Aaron, akan tetapi Elliana cenderung bersikap masa bodoh. Selama tidak ada kerugian materil maupun emosional ditimbulkan oleh hal itu, ia benar-benar tidak peduli.
"Pak Aaron, Pak Gabriel, ini tehnya, silakan dinikmati." Elliana meletakkan baki teh di meja. "Maaf, tadi saya terlalu terbawa perasaan," katanya lagi kemudian mengajak kucingnya beranjak dari situ. "Momo, Anais, c'mon, come to Mommy!" Ia berjalan meninggalkan ruangan dan kedua kucing itu segera mengikutinya. Ia memasukkan peliharaannya ke kandang serta menyiapkan makan dan minum mereka agar tenang untuk beberapa waktu.
Elliana kembali ke ruang tengah dan duduk bersama kedua bosnya seraya menikmati teh.
Aaron berujar menenangkan yang mana menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang CEO. "Ini ancaman bagi kita semua, Ell, karena itu kamu jangan panik dulu. Aku akan diskusikan ini dengan tim kuasa hukum Novantis. Aku akan melakukan penyelidikan internal dulu sebelum membawa ini ke penegak hukum."
"Iya, Ell. Kita teliti dulu produk milik Valentino ini, apa iya sama persis dengan milik kita," tambah Gabriel. "Jika benar ada pencurian formula, kita akan cari siapa pelakunya. Ini menyangkut dua perusahaan besar, aku yakin pihak penegak hukum tidak akan berani berat sebelah. Untuk permulaan, kita akan telusuri sampai mana pendaftaran hak paten mereka. Aku cukup optimis punya kita lebih dulu terdaftar."
"Iya, Pak. Saya juga yakin demikian, tetapi saya jadi khawatir, masa produk kita harus launching dibarengi skandal begini? Kan je.lek jadinya," gumam Elliana.
"Ntar lah mikirin itu. Kita urus soal paten produk aja dulu," ujar Gabriel. Ia mengeluarkan ponselnya. "Ntar. Aku hubungi orang buat mengecek paten mereka."
Gabriel lalu menelepon sambil meneliti kemasan foundation Diva Cosmetics. Aaron juga menelepon tim kuasa hukumnya dan berdiskusi alot.
Elliana kembali merenung. Ia benar- benar bete dengan kejadian itu karena tidak bisa melabrak biang keladinya. Aaron selesai menelepon dan beranjak ke koper. "Aku bawa produk- produk ini ke lab buat dites perbandingan," katanya. Elliana mengangguk saja dan memasang tampang dingin pada Aaron. Pria itu menambahkan, "Aku tau kamu kesal sama aku, tapi aku gak bakalan biarin proyek ini gagal, Ell."
Gabriel menyetujui ucapan Aaron. Ia berdiri dan pergi bersama Aaron untuk ke lab Novantis. "Kami pergi dulu, Ell," pamit Gabriel.
"Iya, Pak." Elliana mengantar mereka ke pintu depan lalu menutup pintu rapat-rapat. Setelah kedua orang itu tidak ada, Elliana tersandar di balik pintu dan melorot hingga berjongkok memijat keningnya. Ia kembali terisak, sangat sedih dan kesal sekaligus.
Aaron dan Gabriel juga tidak bersemangat. Senja telah terlewati ketika mereka meninggalkan apartemen Elliana. Aaron menelepon seseorang. "Kitty baby, kita harus bicara. Kita bertemu di hotel seperti biasa." Lalu memutus panggilan tersebut.
Gabriel terperanjat dan meliriknya melalui cermin. "Aaron, kamu mau kencan lagi? Bagaimana dengan kelanjutan pemantauan perubahan Novan selama abstinensia?"
"Aku hanya akan bicara dengan Celine. Ia harus menjelaskan dari mana ide briliannya berasal," sahut Aaron.
"Oh? Perlu kutemani?"
"Tidak usah. Kamu urus sampel ini saja dan pikirkan langkah selanjutnya. Kita sudah terbiasa dengan masalah seperti ini, tetapi bagi Elliana, ini membuatnya terpukul. Aku yakin ia sangat tertekan dan tidak bisa berpikir jernih. Ini akan mempengaruhi pekerjaan melukisnya. Sebisa mungkin aku tidak ingin ia menyalahkanku."
"Aku mengerti," sahut Gabriel singkat. Sampai di gedung Novantis mereka berpisah. Aaron ke mobilnya sendiri dan pergi ke hotel, sementara Gabriel pergi ke lab. Ada petugas yang lembur di sana dan Gabriel menyela pekerjaan mereka. Ia menyuruh mereka mengetes formula foundation Diva for Me.
Tiba jam 9 malam, pemeriksaan masih berlangsung. Gabriel mengisi waktu dengan mengirim pesan chat pada Elliana.
[Gimana keadaan kamu, Ell?]
Elliana meringkuk di tempat tidur memegangi ponselnya kalau- kalau ada kabar. Ia segera membalas pesan Gabriel. [Gak tau lah, Pak. Saya benar-benar gak tau. Rasanya kepala saya mau pecah.]
[Udah kamu bawa makan belom?]
[Udah 'kan siang tadi, sama Valentino berengsek itu.]
[Berarti malam ini kamu gak makan sama sekali?]
[Gak tau lah, Pak. Gimana saya bisa makan kalau situasinya kek gini? Mau marah, marah sama siapa? Emang saya bisa tenang kalau ancamannya ntar saya dipenjara atas hal yang bukan kesalahan saya?]
Gabriel mengetik, [Tenang lah, Ell. Masih ada waktu .... Terjeda panggilan masuk dari pemeriksa paten produk.
"Maaf, Pak, menelepon malam- malam, saya mau menginformasikan data produk yang Bapak minta dicek tadi," kata seorang pria.
"Iya, gak papa. Saya memang menunggu hasilnya. Jadi, gimana?" sahut Gabriel.
"Setelah saya cek, ternyata foundation Diva for Me dari Diva Cosmetics lebih dulu terdaftar dibanding Novantis Cosmetics."
Gabriel terperangah. "Apa??"
"Selisih satu hari saja, Pak."
Rahang Gabriel mengeras. Gila! makinya dalam hati. Ia melanjutkan bicara. "Kamu yakin? Coba dicek lagi, apa punya Novantis mengalami penundaan atau mereka menukar produk supaya Diva for Me bisa terdaftar duluan?"
"Baik, Pak, akan saya cek lagi."
"Iya. Saya tunggu kabarnya, ya. Kapan aja kalau sudah clear hubungi saya."
"Baik, Pak."
Sesudah telepon itu berakhir, Gabriel tertunduk dalam dan menarik napas sekuatnya. Awalnya ia cukup yakin Novantis menang di hak paten. Ternyata Diva Cosmetics mengungguli mereka. Kalau keadaannya begini, bisa- bisa Novantis yang dituduh mencuri atau lebih buruk, Elliana yang akan dituduh mencuri. Ah, sialan! Valentino de Dimer memainkan kepiawaiannya dalam mencaplok produk orang. Bagaimana ia akan memberitahu Elliana?
Gabriel menggenggam ponselnya dan memantapkan niat. Ia menelepon gadis itu dan bersuara setenang mungkin. "Ell, saya ke tempat kamu, ya? Ada yang mau saya diskusikan."
Elliana langsung tegang. Ia duduk di tempat tidurnya. "Kenapa lagi, Pak? Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Makanya saya mau bicara langsung biar kamu gak salah paham."
"Hah?? Aduh, Bapak bikin saya makin takut aja. Apaan sih, Pak? Cepet kasih tau saya, Pak," rengek Elliana.
Gabriel bisa membayangkan wajah bengeknya dan ia tersenyum tipis, jika saja ia hanya bercanda, wajah itu akan terlihat sangat lucu. Sayangnya situasinya tidak demikian. Ia berujar lagi menghibur Elliana. "Udah, tenang dulu, Ell. Kamu jangan kepikiran masalah itu melulu. Tunggu saya ke tempat kamu. Kamu mau makan apa, biar saya belikan."
"Terserah Bapak. Saya lagi gak selera makan."
"Ya udah, ntar saya beli sate ayam dan kambing dekat sini. Mau pake lontong apa nasi?"
Elliana manyun. Perhatian Bapak Gabriel membuatnya sungkan hingga merona. "Terserah Bapak. Saya ngikut aja," katanya malu- malu.
"Oke," ujar Gabriel menutup pembicaraan. Ia pamit pada petugas di lab. "Saya pergi dulu, ya, kalau hasilnya sudah keluar, kirim aja ke nomor saya."
"Baik, Pak!" sahut petugas tersebut.
Gabriel lalu pergi. Ia menyetir mobil meninggalkan kawasan Novantis, berhenti sebentar beli sate di warung sate Madura di pinggir jalan, kemudian lanjut ke apartemen Elliana. Untuk kedua kalinya dalam sehari ia datang ke tempat itu.
Elliana dalam baju tidur kaos piama, membungkus diri dengan selimut, membukakan pintu untuknya. Matanya masih saja sembab dan puncak hidung merah karena kebanyakan menangis. Rambutnya digelung di puncak kepala.
"Yuk, kita makan dulu," ucap Gabriel tanpa basa-basi. Mereka ke ruang makan dan Gabriel meletakkan belanjaannya di meja makan. Ia beli 10 tusuk sate ayam dan 10 tusuk sate kambing, lengkap dengan 2 bonggol lontong.
Elliana mengambil piring dan sendok garpu. Gabriel mengambil itu dari tangannya dan dengan sigap menyiapkan makan malam mereka.
"Makasih loh, Pak, udah mau repot-repot ke sini dan nemenin saya," kata Elliana yang memutuskan menyeduh teh lagi. Ia berdiri menghadap pantri, mengisi teko dengan air panas dan teh celup. Gulanya ditambahkan belakangan.
"Yah, di saat- saat seperti ini, kita harus saling mendukung," kata Gabriel sambil membereskan bungkusan bekas sate. Ia duduk bersiap makan, menunggu Elliana menuang teh ke cangkirnya.
"Bapak Aaron gimana?" tanyanya.
"Aaron ... dia ke hotel. Biasa lah menemui teman kencan dia."
Elliana tidak berubah ekspresinya mendengar hal itu. Pada akhirnya players gonna plays dan haters gonna hates. Aaron akan tetap pada sifat aslinya dia. Tidak bisa lepas dari kempitan kaki wanita.
Elliana duduk berhadapan dengan Gabriel "Yuk, Pak, kita mulai makan," katanya. Mengucap bismillah berbarengan lalu menyeruput tehnya seteguk, baru lanjut makan sate dan lontong berbalur sambal kacang. Tak lupa menambahkan sambal pedasnya yang menyelekit.
Makan sate membuat pipi Elliana berlepotan sambal kacang. Gabriel menyapunya dengan santai. "Kamu ini, Ell, makannya kayak anak- anak aja."
Elliana tercenung. Ia tidak heran lagi dengan cara Gabriel menyentuhnya. Ia mendelik pria itu dan mendengkus tawa kecil melihat noda sambal kacang juga ada di pipi Gabriel. Elliana menjumput selembar tisu dan menyapukannya ke noda itu. "Bapak juga berlepotan," ledeknya.
"Oh ya?" Gabriel menyentuh tangan Elliana saat mengusap pipinya untuk mengambil si tisu. Lagaknya.
Kontak jari itu terasa sangat intim sehingga Elliana buru- buru menarik tangannya dan lanjut makan. "Satenya enak, Pak. Ini yang di depan kantor Novantis itu ya?"
"Iya. Kamu pernah nyicipinnya, Ell?"
"Sering dong," jawab Elliana bersemangat. Mereka lalu membicarakan beragam warung makan hemat dan enak yang mereka ketahui.
"Bapak suka makan- makan juga ya?" canda Elliana.
"Nggak juga, tapi saya suka kuliner Indonesia."
"Oh, jadi selera Bapak masih selera lokal, toh, walaupun lama tinggal di luar negeri?"
"Iya lah, tetep, masakan rumah sendiri yang terbaik," kekeh Gabriel.
Sate Madura itu pun ludes habis. Elliana merapikan meja makan dan mencuci peralatan makan. Gabriel izin ke toilet sebentar. Mereka berkumpul lagi di ruang tengah. Elliana merasa baikan. Ia duduk tenang menyalakan rokok. Gabriel minta sebatang dan mereka merokok bareng, duduk bersebelahan sambil menonton acara televisi.
"Sejak kapan kamu merokok, Ell?" tanya Gabriel.
"Awalnya saat masuk kuliah, coba- coba bareng anak kos. Lalu agak sering setelah jadi Cassandra. Melukis kadang butuh konsentrasi penuh, Pak dan merokok membantu saya," terang Elliana.
"Ibu kamu juga gak tau soal kamu merokok ini?"
Elliana terjengkit. "Ya enggak lah! Bisa- bisa dipukuli ibu saya. Ngapain perempuan merokok? Kayak cewek nakal, katanya."
Gabriel tertawa kecil. "Tapi kamu emang nakal sih menurut aku," ejek Gabriel.
"Nggak ah, Pak. Saya anak baik, kok, hehehe," kilah Elliana. Ia mengembuskan asap isapan terakhirnya.
Gabriel memandangi gerakan bibir Elliana saat melakukan itu. Gadis itu mencondongkan tubuh ke meja buat mematikan puntung rokoknya.
Gabriel menyesap perlahan rokoknya, matanya tajam tak lepas menyorot Elliana, yang dalam penampilan rumahannya justru sangat menggemaskan. Ia menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan lalu bertanya dengan santai. "Bagaimana dengan seks?"
Elliana nyaris tersedak, mendelik terkejut atas pertanyaan itu. "Maksud Bapak? Eh, gimana? Apa tadi?" Takut kalau salah dengar.
Bibir Gabriel mencibir tipis. "Kamu sendirian, di kota besar, banyak teman, pergaulan bebas, dan sebagainya, aku rasa kamu gak tabu soal begituan."
"Hehehe, iya gak juga sih, tapi emang saya gak berani gituan sih, Pak. Paling ciuman doang," jawab Elliana kikuk. Ia buru- buru menyeruput teh yang sudah dingin.
"Gak berani, tapi mau?"
"Ya wajarlah, Pak. Saya normal kok," kekeh Elliana yang merasa canggung atas percakapan itu, tetapi karena Bapak Gabriel yang ngomong ya, ia merasa akrab saja. Ia berusaha mengabaikan tatapan gelap Bapak Gabriel. Pria itu membuatnya tegang lagi ketika bertanya hal yang lebih pribadi.
"Kamu pernah ciuman sama siapa aja? Selain Aaron."
"Eh?" Elliana berdebar-debar gugup. Intonasi pertanyaan itu seperti menudingnya. Apakah Bapak Gabriel merasa jengah dengan Bapak Aaron sehingga membandingkan diri dengan pria itu? Ciuman dengan Bapak Aaron bisa dikatakan pemaksaan dan pelecehan karena tidak ada rasa suka saat itu. Heran jika Bapak Gabriel berpikir itu ciuman yang didambakannya.
Tergagap Elliana menjawabnya. "Hmm, ada sih ... pernah .... Sama Jimin.
Sudah kuduga! Batin Gabriel. Hubungan Elliana dan si pelayan itu sudah pasti lebih dari teman. Rahang Gabriel mengeras. Ia menjentik abu rokoknya di asbak.
"Jadi, kamu pacaran sama dia?" lanjut Gabriel, kembali menuding Elliana, yang ngakunya gak punya pacar.
"Itu dulu, Pak. Waktu kosan kami deket. Gak pacaran juga. Cuman penasaran aja. Pas ciuman sama dia kek rasanya gitu- gitu aja, jadi kayaknya kami gak ada feel love gitu. Jadi saya sama dia tuh kek temen aja, sodaraan."
Halahh, Elliana si ratu ngeles. Ada aja jawabannya. "Kalau gitu, tes sama saya," tantang Gabriel.
Elliana menatapnya dengan mata membulat. "Hah? Apa?"
"Kata kamu, kamu bakalan ngasih apa aja buat saya selama kamu sanggup. Kamu sanggup ciuman dengan orang yang gak kamu sukai pun, jadi, sewajarnya kamu sanggup dong ciuman sama saya."
Elliana mengerjap- ngerjapkan mata berkali- kali. Bapak Gabriel pasti bercanda 'kan?
Gabriel mencondongkan wajahnya mendekati bibir Elliana. Bau wangi tembakau mint bisa terendus dari mulutnya. Ia berujar pada Elliana dengan suara dingin dan direndahkan. "Saya mau kamu cium saya. Jika kamu tidak berani, saya yang akan cium kamu."
Elliana tidak bisa berkata- kata, lidahnya kelu. Ia tidak bisa mengelak ketika bibir Bapak Gabriel menyentuh bibirnya.
***
Bersambung ....