Sebuah Nama

1061 Words
Seorang asisten bidan masih sibuk mengelap sisa cairan ketuban yang masih menempel di tubuh anak kembar Pak Sumitro, ketika ia mengetuk pintu. Bayi-bayi itu terlihat sangat kecil, karena berat bayi itu hanya 2,2 kg dan saudaranya lebih kecil lagi sekitar 2, 05 Kg. Bersyukur, keduanya lahir cukup bulan dengan sehat dan tanpa masalah apa pun. “ Bapak Sumitro?” sapa bidan tersebut, berjalan lambat menghampiri Pak Sumitro yang masih berdiri di ambang pintu. Satu bayi sudah berada di dekapan sang ibu yang masih tampak kelelahan sisa berjuang tadi sambil belajar menyusui bayinya, sedangkan satu lagi ditimang oleh bidan dengan lembut. Bu Aan menatap lekat-lekat wajah suaminya, tak terasa air mata pun keluar dari sudut matanya diikuti senyuman manis yang mendalam, mengisyaratkan sebuah kemenangan. Tanpa basa-basi Pak Sumitro bergegas menghampiri ranjang di mana istri dan anaknya berbaring, mengusap kening istrinya, lalu menatap bayi pertamanya dengan takjub. Bayi itu perempuan, kulitnya putih, wajahnya bersih, rambutnya lebat, sangat lucu mirip seperti dalam iklan sabun bayi di televisi. “Ini adiknya, Pak!” Asisten bidan itu menyerahkan bayi yang ke dua, tangan Pak Sumitro yang masih kaku mencoba menggapai Sang Bayi dengan sangat hati-hati. Bayi yang sangat dinanti-nantikan. Bidan yang biasa memeriksa, sekaligus yang membantu persalinan Bu Aan masuk ke dalam ruangan, sedari tadi ia tak nampak ternyata sedang mengurus box bayi, yang ia bawa masuk bersama batang selang infus dan sebungkus kantung plastik putih yang mungkin berisi obat dan vitamin. “Ini Si Adik lahir terpaut 5 menit dari kakaknya” sapa Bu Bidan sambil membetulkan posisi sang bayi yang masih tertidur pulas di lengan pak Sumitro. “Terima kasih, Bu, sudah membantu proses melahirkan istri saya,” suara Pak Sumitro tertahan, dan tak terasa air mata berlinang di pipinya. “Sama-sama, Pak, semua berkat kerja sama kita semua, dan tentunya pertolongan yang Maha Pemberi Kehidupan,” jawab bidan sangat menyejukkan. “Alhamdulillah semua berjalan lancar, tidak terjadi pendarahan maupun faktor penyulit lain, sehingga tidak perlu dirujuk ke rumah sakit,” lanjutnya lagi. Bu Bidan kemudian mendekatkan box bayi ke samping ranjang Bu Aan, lalu meletakan anak pertama ke dalamnya, selanjutnya mengambil anak ke-2 yang berada di dalam rangkulan Pak Sumitro dengan hati-hati, dan meletakkan bayi itu di sebelah saudaranya. Setelah itu, Pak Sumitro mendekatkan mulutnya di antar kuping bayi-bayinya, dan mengumandangkan adzan pertama bagi Sang Bayi. Bu Aan dan Bu Bidan yang melihat pemandangan itu sangat tersentuh, ini mungkin adalah salah satu momen terbaik dalam kehidupan seorang manusia. Rintik hujan di luar semakin menambah sejuk suasana kala itu, menenangkan, dan membuat semakin bersyukur atas karunia Sang Maha Pencipta, yang menjadikan sesuatu yang tiada menjadi ada, maupun sebaliknya. “Baik, setelah ini silakan Bapak dan Ibu menikmati momen bersama bayi-bayi, barangkali ada kerabat yang ingin menengok dipersilahkan juga, asalkan tidak gaduh, agar tidak mengganggu pasien lain.” Bu Bidan menjelaskan, sambil memasang selang infus ke tangan Bu Aan. Proses melahirkan beberapa jam lalu, membuat tubuh Bu Aan kehilangan banyak cairan. “Saya tinggal dulu ya, oh ya, ini ada beberapa obat penghilang rasa nyeri dan anti infeksi yang nanti boleh di bawa pulang, setelah Bu Aan Pulih. Mungkin selepas magrib, jika tenaga Bu Aan sudah terkumpul, sudah boleh pulang.” Bu Bidan tersenyum. “Baik, Bu, terima kasih banyak!” kata Pak Sumitro. Bu Bidan mengangguk, berbalik dan berjalan meninggalkan ruangan. *** Suasana menjadi sangat hening, hujan di luar mulai mereda, namun hawa dinginnya masih terasa menusuk tulang. Jam dinding menunjukkan pukul 3 sore, suara adzan mulai terdengar sayup-sayup dari surau yang jaraknya tak begitu jauh, hanya 10 menit dengan sepeda. Keheningan masih menyeruak, Pak Sumitro masih terlihat begitu khusuk memandangi dua anak kembarnya. Dua-duanya perempuan. Tiba-tiba Bu Aan bersua, “Nama bayi-bayi kita siapa, Mas?” Tanya Bu Aan. Sejenak Pak Sumitro termenung, ia hampir lupa menyiapkan nama untuk bayi-bayinya, karena pikirannya terkuras habis memikirkan biaya persalinan. Tak berapa lama berpikir, akhirnya ia teringat bidan yang menolong persalinan Bu Aan, jasanya begitu besar dan tidak akan terlupakan bagi dia dan keluarganya, terutama bagi anak-anaknya, karena tidak mudah mengatasi persalinan bayi kembar dengan peralatan sebuah puskesmas kecil yang serba terbatas. “Bagaimana kalau kita beri nama dia ‘Prita Astuti’ saja.” Pak Sumitro melirik pada bayi pertama, tak butuh waktu lama ia langsung mengenali anak kembar pertamanya. “Mirip nama Bu Bidan?” tanya Bu Aan. “Tidak bagus?” Pak Sumitro malah balik bertanya. “Bukan begitu, itu nama yang cantik, aku setuju, Mas.” Tiba-tiba Bu Bidan dan asistennya masuk membawa sebuah nampan berisi makanan, s**u, dan buah. “Aduh sepertinya kami mengganggu ya?” sapa Bu Bidan. “Tidak, Bu, baru saja kami memikirkan ide nama anak kami. Apa ibu tidak keberatan kalau nama Ibu kami pakai untuk nama anak pertama kami?” ucap Pak Sumitro malu-malu. Bu Bidan yang mendengar hal tersebut menjadi tersipu, dan merasa tersanjung. “Sama sekali tidak, Pak. Kenapa harus keberatan? Justru saya merasa terhormat lho, Pak!” seru Bu Bidan yang saat itu mengenakan pakaian motif bunga dan jas putih. “Terimakasih, Bu,” sahut Bu Aan gembira. “ Kalau yang satunya lagi siapa, Mas?” Bu Aan melirik suaminya. Tak sengaja Pak Sumitro melihat tag nama asisten bidan yang tadi memandikan anaknya, saat selesai proses bersalin. Ia pun mendapat ide, untuk menamai anak kembar keduanya itu dengan nama asisten bidan tersebut, toh ia juga sangat berjasa membantu selama proses persalinan istrinya. “’Prihatini' saja!” seru Pak Sumitro. Asisten bidan yang disebut namanya itu tiba-tiba terkejut, rona merah wajahnya sulit disembunyikan. Pak Sumitro terdiam, dan berpikir, genap sudah tugas Pak Sumitro di awal-awal kelahiran sang buah hati, mengumandangkan adzan sudah, memberi nama yang baik juga sudah, mungkin terakhir adalah mengadakan syukuran akikah untuk putri-putrinya, meskipun saat ini belum terbayang, bahkan terbersit saja di benak juga tidak. Dana dari mana?. Lamunan Pak Sumitro pecah, ketika Bu Bidan tiba-tiba membuka pembicaraan, “Alhamdulillah...kami selaku bidan puskesmas sekali lagi mengucapkan selamat atas kelahiran putri-putri Bapak dan Ibu ya, apalagi melihat kondisi Ibu yang sudah jauh lebih segar, bagaimana perasaannya, Bu?” tanya Bu Bidan. “Baik, Bu. Sudah lebih bertenaga sekarang.” “Syukurlah, ini saya bawakan makan siang yang tadi sempat tertunda ya, Bu. Saya simpan di atas meja ya, dan jangan lupa dihabiskan!” seru Bu Bidan, kemudian asistennya meletakan nampan yang ia bawa di tangannya itu ke atas sebuah meja, tepat di sebelah ranjang pasien. Mereka pergi dan menghilang dari ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD