Orang Tua Baru

1230 Words
Menggunakan angkutan umum yang dicarter, Pak Sumitro membawa Bu Aan dan bayi-bayinya pulang ke rumah. Proses penyelesaian administrasi tidak begitu lama, biaya yang ditanggung cukup ringan hanya sekitar 25 ribu, sudah termasuk obat, vitamin, dan juga biaya kontrol bayi satu kali, minggu depan. Sebelum naik ke mobil angkot carteran, sekali lagi Pak Sumitro mengucapkan beribu terima kasih pada Bu Bidan dan semua pihak yang sudah menolong persalinan istrinya di puskesmas. Sesampainya di pekarangan rumah kontrakan, para tetangga sudah berkerumun untuk menyambut kehadiran anggota baru keluarga Pak Sumitro, beberapa ibu-ibu bahkan sudah bawa baskom kecil berisikan “hadiah", ada yang membawa beras, buah-buahan, dan perlengkapan bayi sekadarnya. Orang tua Bu Aan yang rumahnya di seberang bendungan Katulampa, terlihat sedang beres-beres dan cukup sibuk menerima tamu-tamu yang hendak menengok cucu-cucunya. “Assalamualaikum," kata Pak Sumitro. “Waalaikumsalam,” terdengar jawaban dari dalam rumah. Beberapa ibu-ibu sudah duduk di ruang tamu yang hanya berukuran 3 X 3 meter. Bu Tatang yang merupakan Ibu kandung dari Bu Aan bangkit dari duduknya dan mulai ribut ingin menggendong cucu. Diikuti ibu-ibu lainnya yang berada di ruangan itu. Dalam hitungan detik saja dua anak Pak Sumitro telah raib dari gendongan orang tuanya, dan kini bergiliran dari satu tangan ke tangan lainnya. Kehadiran Prita dan Prihatini menambah ramai suasana rumah pak Sumitro yang sebelumnya hening. Tangis bayi tak hanya seorang tapi dua orang, membuat kamar menjadi riuh. Pak Sumitro sangat bersyukur dengan kehadiran dua putrinya, dan berdoa semoga kelak dapat menjadi srikandi-srikandi yang dapat menjaga nama baik dan meningkatkan derajat orang tuanya. Doa terbaik lainnya pun turut dipanjatkan Pak Sumitro dan Bu Aan untuk anak-anaknya itu. Tamu yang datang silih berganti hingga malam hari, dan baru sepi sekitar jam menunjukkan pukul 10 malam. Orang tua dan saudara Bu Aan pun ikut berpamitan, dan berjanji esok hari pagi-pagi sekali akan berkunjung lagi ke kontrakan Bu Aan membawa Jamu khusus habis bersalin, dan beberapa perlengkapan yang dibutuhkan ibu nifas. Hal lainnya, di rumah kontrakan itu hanya punya satu kamar tidur, dan ruang tamunya pun cukup sempit karena bergabung dengan tumpukan barang-barang lainnya, tak ada tempat untuk tamu yang menginap. “Jangan terlalu nyenyak tidur nya ya, malam-malam bayi biasanya suka bangun untuk menyusu.” Bu Tatang mewanti-wanti putrinya dan menantunya. “ Iya, Mak, masa bayi nangis kita gak dengar, kamar bayinya juga bukan di mana-mana masih di kamar ini,” jawab Bu Aan. “Nanti kalau giliran Neng Aan istirahat, Mas Sum yang gantian bergadang!” sambung Pak Tatang, sambil menepuk bahu Pak Sumitro, menantunya. “Iya, Pak. Bapak tak perlu khawatir.” Setelah mengantar ke halaman rumah, orang tua Bu Aan berpamitan dan pulang dengan mengendarai sepeda motor tua. Pak Sumitro memapah Bu Aan yang masih lemas. Setelah masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu, sepasang orang tua baru itu masuk ke kamarnya yang hanya satu-satunya di rumah kontrakan itu, kemudian menengok anak-anak mereka yang masih tertidur pulas. Malam mulai merangkak naik, suara jangkrik dan burung hantu terdengar bersahutan bagai melodi. Sesekali suara kentungan petugas ronda pun terdengar, tanda sedang ada yang berpatroli. Kontrakan Pak Sumitro memang terletak di sebuah perkampungan dengan lahan kosong yang masih banyak, jadi tak heran jika malam tiba suasana begitu sepi, dan tak lama ketika malam semakin larut akan berganti dengan suara desiran angin meniup kerumunan pohon bambu, serta nyanyian aneka satwa malam, yang terkadang membuat merinding. Hari ini terasa sangat panjang, sejak pagi, saat Bu Aan di antar ke rumah Bu Bidan untuk kontrol, lalu dilarikan ke UGD Puskesmas karena mengalami mulas-mulas yang hebat akibat kontraksi, Pak Sumitro sama sekali belum beristirahat. Namun entah mengapa rasa kantuk itu serasa menghilang, selagi istri dan anak-anaknya tertidur, Pak Sumitro masih tetap terjaga, dan membereskan alat makan, serta sampah-sampah yang berserakan bekas tamu tadi sore. Hari pertama menjadi orang tua baru, begitu menguras banyak emosi dan tenaga, dan tentu saja dana. Kehidupan baru dimulai dari sekarang, Pak Sumitro terus berpikir keras agar dapat menghidupi istri dan anak-anaknya dengan baik, beban semakin bertambah di pundak Pak Sumitro, seiring rasa syukur yang bertambah pula, karena dengan keterbatasan, Tuhan tetap mengulurkan kasih sayangnya yang tiada batas. *** Tahun 1988 Awal Sudah hampir satu bulan, Prita dan Prihatini menghiasi kehidupan Pak Sumitro dan Bu Aan. Pak Sumitro yang biasanya mengambil jatah lembur di kantor desa untuk mengurus beberapa dokumen, sudah beberapa hari memilih pulang tepat waktu, secepatnya setelah loket pelayanan masyarakat tutup. Kehidupan bayi memang mengubah kehidupan orang tuanya, baik disadari maupun tidak. Begitu juga kehidupan Bu Aan, seorang ibu muda. Di usianya yang masih belia sekitar 18 tahun ia menerima pinangan Pak Sumitro, yang saat itu usianya juga masih terbilang muda sekitar 22 tahun, kemudian tak lama setelah itu Bu Aan mengandung, namun keguguran, kejadian yang serupa terus berulang setiap tahun, baru setelah usianya genap 25 tahun, rezeki yang Tuhan titipkan itu datang, ia memiliki dua anak sekaligus. Rencana Tuhan kadang tidak bisa ditebak. Omong-omong tentang menikah, di kampung tempat Bu Aan tinggal, gadis-gadis jarang sekali yang menikah di atas usia 20 tahun. Bahkan bisa disebut perawan tua jika belum saja menikah, padahal usianya baru menginjak 25 tahun. Jadi jangan heran, jika melihat pemandangan gadis seusia anak SMA sudah menggendong bayi mengitari perkampungan tanpa canggung. Keluarga besar Bu Aan pun menganut norma yang sama sebetulnya, jika ada anak gadis sudah baligh di rumahnya, maka harus segera dicarikan jodohnya, karena ditakutkan terjerumus pergaulan yang berujung mencoreng nama baik keluarga. Pergaulan bebas tidak hanya menyerang anak-anak di perkotaan saja, di kampung pun tidak jauh berbeda, karena gejolak anak muda tidak pandang bulu melihat anak kota ataupun anak kampung. Semuanya berpotensi. Jika Bu Aan menikah hanya selang setahun setelah ulang tahunnya yang ke-17, Bu Tatang yang merupakan ibu kandung Bu Aan, lebih dini lagi. Ia menikah dengan Pak Tatang, saat baru menginjak usia 15 tahun, sama seperti nenek dan buyutnya. Jika dipikir lagi menggunakan kacamata masyarakat yang lebih modern, hal ini sangat tidak masuk di akal, membayangkannya saja sulit, bagaimana seorang gadis yang masih mencari jati diri harus mengurus seorang anak. Belum lagi secara emosional pasti lah belum stabil dan ajeg. Tapi tentu lebih miris lagi, jika harus mengurus anak akibat dari hubungan di luar nikah. Memang bagai makan buah simalakama. “ Kamu tahu tidak kemarin Si Yasmin sudah di lamar sama Si Karya,” celetuk Bu Tatang. Sudah sebulan ini, Bu Tatang rajin datang ke kontrakan anaknya demi melepas rindu dengan cucu yang baru dimilikinya selama 30 hari itu. “ Yasmin yang...,” ucapan Bu Aan terpotong. “ Iya itu, Yasmin mana lagi? Yang dulu kamu sering banget gendong-gendong itu,” sambung Bu Tatang sambil melipat popok milik Si Kembar yang baru di ambil dari jemuran. “ Yang betul, Mak? Dia kan lulus SMP saja belum?” tanya Bu Aan penasaran. “ Ah, kamu mah gak tahu, tahun ini dia lulus SMP, nanti nikahnya setelah ijazah nya keluar. Kamu dulu itu kelamaan, lulus SMA baru menikah,” gerutu Bu Tatang pada putrinya. “ Bu, menikah itu bukan balap karung, siapa yang harus dulu-duluan, kalau jodoh nya belum ada, mau diapakan?” ucap Bu Aan membela diri. “ Nya Diteangan! (Dicari!) Dicari.. tong cicing wae (jangan diem aja) . “ Timpal Bu Tatang sengit. Tak berapa lama, terdengar suara motor masuk pekarangan kontrakan, Bu Aan tahu betul itu pasti motor suaminya. Dilihat jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, waktu Pak Sumitro biasa pulang, ternyata memang benar, setelah meletakkan helm dan tas jinjing di depan pintu kontrakan nomor 3, ia bergegas membuka pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD