Bab 6. Donor

1211 Words
Pelangi menurunkan tas dari bahunya. Ia dan adik laki-lakinya baru saja tiba di rumah bertepatan dengan adik perempuannya. Adik perempuan Pelangi baru saja kembali dari kampus. Baru saja tiba di rumah, gadis itu membanting tas dan ponselnya ke atas kursi yang ada di ruang tamu. Pelang menjadi sangat heran. Apa yang membuat adiknya menjadi sangat marah dan uring-uringan begini? Sebagai Kakak yang baik, Pelangi menghampiri adik perempuannya. Berusaha mengajak gadis itu bicara dan meminta adiknya agar lebih tenang. Gerakkan kasar Diana membuat perempuan itu mengembuskan napas. Jujur saja Pelangi lelah dan ingin istirahat, tapi melihat Diana uring-uringan seperti itu membuat Pelangi urung untuk istirahat. Ia tidak akan tenang sebelum mengetahui masalah sang Adik. "Kamu kenapa? Ada masalah? Kakak lihat, kamu pulang-pulang malah marah kayak gini. Coba sini cerita sama Kakak," bujuk Pelangi penuh kelembutan. Gadis itu menatap sang Kakak dengan tatapan seolah ingin menerkam. Dientakkan kedua kakinya layak anak kecil yang tidak dibelikan permen kapan oleh orang tuanya. "Aku benci karena kita miskin!" umpat adik perempuan Pelangi. Gadis itu sungguhan geram dengan kondisi finansial keluarganya. Kenapa ia harus dilahirkan dari keluarga miskin seperti ini? Ia tidak bisa seperti teman-temannya yang setiap hari gonta-ganti baju bagus, mengendarai kendaraan mahal dan mempunyai ponsel dengan harga puluhan juta. Adik Pelangi sangat malu! Setiap hari ia harus menjadi bahan perundungan oleh teman-temannya di kampus. Apa Pelangi pikir, adiknya bisa menikmati hidup seperti Pelangi? Mereka hidup di dunia realita. Tidak ada istilahnya hidup bahagia sebagai orang miskin yang apa-apa harus berjuang dulu! "Kenapa kamu bicara seperti itu, Dik?" tanya Pelangi masih berusaha sabar. "Karena aku sudah muak!" Gadis itu mengentakkan kakinya sekali lagi. "Kakak pikir aku bisa hidup kayak Kakak?! Aku malu! Di kampus, aku selalu diejek miskin sama teman-temanku! Kakak harusnya mikir dong, bagaimana caranya supaya kita terbebas dari kemiskinan seperti ini!" Pelangi mengatupkan bibirnya. Terkejut mendengar kata-kata adik perempuannya. Pelangi tidak menyangka adiknya akan mengatakan hal barusan. Siapa yang mau hidup miskin memangnya? Tidak ada. Jika Pelangi diberi pilihan mau terlahir dari keluarga miskin atau kaya, tentu saja Pelangi akan memilih lahir dari keluarga kaya, namun tidak ada manusia yang bisa memilih takdir yang mereka mau. Tuhan telah menentukan hidup mereka dan satu-satunya acara hanyalah menikmati hidup yang telah diberi Tuhan. Marah-marah pun percuma tidak akan mengubah takdir yang mereka dapatkan. "Aku pengin seperti teman-temanku di kampus. Beli baju baru, sepatu dan tas. Dan ini ...," Gadis itu menyambar ponsel yang ia buang ke atas kursi tadi. " HP aku sudah jelek dan waktunya ganti! Tapi apa? Sampai hari ini aku masih memakai Hp jelek ini! Buat mengeluarkan benda ini saat berkumpul sama temanku, aku aja malu banget!" oceh gadis itu panjang lebar. "Diana" panggil Pelangi berusaha menangkan sang Adik. "Apa yang kita miliki kita sekarang harus kita syukuri. Jangan melihat teman kamu yang dari keluarga berada. Kita bisa makan dan tidak kelaparan itu sudah bagus." Gadis itu mendengus. Tersenyum sinis ke arah kakaknya. "Apa yang harus disyukuri, Kak? Apa?" Pelangi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa hidup seperti Kakak! Aku muak menjadi orang miskin!" bentaknya tepat di depan wajah Pelangi, lalu pergi ke dalam kamar. *** "Ayo makan dulu. Kamu tidak lapar? Kakak sudah memasak untuk makan malam kita." Pelangi menempelkan setengah wajahnya di pintu kamar sang Adik. Pelangi mengetuk pintu sekali lagi dengan harapan adiknya itu akan membukanya dan menyerah dengan tidak marah lagi. "Makan sendiri saja, sana!" bentak adik perempuan Pelangi dari dalam kamar dan membanting sesuatu ke pintu. Pelangi tersentak secara otomatis kedua kakinya melangkah mundur. Entah apa yang dibanting ke pintu oleh gadis itu. Pelangi sampai terkejut lalu menghela napas panjang. Terpaksa Pelangi makan malam bersama Hadyan, adik laki-lakinya tanpa Diana. Pelangi tidak tahu harus dengan cara apa membujuk adiknya supaya tidak marah lagi? Pelangi telah memberi pengertian kepada gadis itu. Namun agaknya sang Adik tidak mau mengerti dan terus menyalahkan kenapa mereka harus hidup miskin. Dia tidak berselera makan lagi. Pelangi dihantam dengan banyak masalah yang tidak berhenti menguras tenaga dan isi kepalanya dan sekarang ditambah lagi adiknya marah-marah sepulang dari kuliah. Perempuan itu akhirnya sama-sama tidak makan malam. Jika adiknya sedang mogok makan karena marah, Pelangi mana bisa makan dalam keadaan seperti ini. Tidak bisakah adiknya memahami Pelangi? Gadis itu malah mencak-mencak dan membanting semua barangnya di dalam kamar. Pelangi mendengar suara berisik seperti barang yang dibanting dari luar. Entah rasanya Pelangi ingin menyerah saja. Adiknya terlalu keras kepala dan ia tidak sanggup mengatasi gadis itu lagi. *** Sebelah tangan Pelangi menggapai meja di samping ranjangnya. Sepasang mata perempuan itu masih memejam. Maklum saja ini masih sangat pagi untuk mengangkat sebuah telepon. Tangan Pelangi berhasil menyambar benda persegi di atas meja. Saat benda itu menyala di depan matanya, Pelangi mengarahkan benda itu ke sebelah telinganya dan menyapa si penelpon dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Ya, halo?" sapanya. "Kamu bisa datang ke rumah sakit sekarang?" "Hm?" gumam Pelangi belum sadar sepenuhnya. Si penelpon adalah Ardian. Lelaki itu mengulangi ucapannya. "Hari ini kamu harus pergi ke rumah sakit lagi. Kamu bisa, kan?" tanyanya. Pelangi diam sebentar mengatur kesadarannya. Pelangi bergumam. "Hari ini? Oh, baiklah. Aku akan ke sana kalau begitu. Tapi kenapa kamu menyuruhku ke rumah sakit lagi?" Pelangi menunggu selama dua detik. Ardian tidak mengatakan apa-apa selain meminta Pelangi pergi ke rumah sakit lagi pagi ini. Cuma itu saja. *** Pelangi telah sampai di rumah sakit yang dituju. Ia datang menemui Ardian untuk menanyakan kenapa ia diminta datang kembali. Ardian cuma menatap Pelangi beberapa detik. Lelaki itu mengantarkan sepupunya ke ruangan dokter. "Dokter mau bertemu sama kamu, Pelangi." Keduanya berjalan beriringan ke ruangan dokter. Pelangi melirik Ardian. "Apa ini ada hubungannya sama hasil tes itu?" tanya Pelangi hati-hati. Sejujurnya Pelangi sangat takut dengan hasilnya. Bagaimana jika hasilnya tidak cocok? Itu artinya Pelangi tidak bisa mendonorkan hatinya untuk Akarsana. Langkah Pelangi agak sedikit tertinggal dengan Ardian. Perempuan itu meremas kesepuluh jarinya. Tatapannya kosong, diam melamun. Hingga akhirnya tersadar saat Ardian menengok ke arahnya lantas menegur Pelangi. "Jangan melamun Pelangi! Dokter sudah menunggu kamu di ruangannya!" seru Ardian mengejutkan Pelangi. Di sinilah Pelangi sekarang. Duduk berdua saling berhadapan dengan seorang dokter. Pelangi menyapa lelaki itu begitu masuk ke dalam. Ardian bilang, ia akan meninggalkan Pelangi berdua dengan dokter. "Saya punya kabar bagus untuk Anda." Dokter lelaki itu menatap perempuan di depannya sambil tersenyum. "Tentang apa, dok?" tanya Pelangi. Dokter menjawab. "Selamat! Anda adalah pendonor yang cocok," ucapnya mengejutkan Pelangi. "Yang benar, dok?" seru Pelangi sangat senang. Dokter mengangguk. "Benar. Tolong jaga kesehatan dan pola makan Anda sebelum tiba waktu operasi, ya." Pesan dokter pun diangguki oleh Pelangi. Tentu saja ia menjadi sangat senang. Karena hasil tes mengatakan bahwa Pelangi cocok menjadi pendonor Akarsana. Sementara itu Akarsana tidak kuasa menahan rasa gembiranya. Dokter mengatakan bahwa mereka telah menemukan pendonor yang tepat. "Dokter tidak bohong, kan? Saya mendapatkan donor?" Akarsana sempat linglung sesaat. Bagaimana tidak akhirnya ia mendapatkan donor itu setelah sekian lama. Ini sama seperti Akarsana menemukan keajaiban. "Mana mungkin saya berbohong kepada pasien," sahut dokter. "Semoga semuanya berjalan dengan lancar ya. Saya ikut senang akhirnya Anda mendapat pendonor yang tepat," tambahnya. Senyum di bibir Akarsana sedikit memudar. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Kalau boleh tahu siapa orang yang menjadi pendonor saya, dok?" Akarsana perlu mengetahui siapa orang yang telah berbaik hati mendonorkan salah satu organnya kepada Akarsana, namun dokter justru diam, seolah sengaja bungkam tentang pendonor Akarsana. "Dok?" tegur Akarsana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD