Bab 7. Mabuk

1101 Words
Kabar tentang Akarsana akhirnya mendapatkan donor hati pun disambut gembira oleh Prita selaku ibunya Akarsana. Pertama, Prita merasa tidak percaya dengan kata-kata yang disampaikan oleh dokter kepadanya. Prita sampai mengulang pertanyaannya lebih dari dua kali untuk memastikan. Sama seperti reaksi Akarsana, Prita seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Tentu saja wanita itu sangat senang. Ia mengucapkan syukur karena akhirnya Akarsana mendapatkan donor yang tepat seperti yang dikatakan dokter. Prita memeluk Akarsana, membelai rambut anak lelakinya sambil menangis terharu. Prita tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengucapkan terima kasih juga kepada dokter yang telah menangani Akarsana. "Sama-sama, Bu." Dokter membalas dengan sopan. Prita berpamitan kepada Akarsana, ia hendak menyampaikan berita bahagia kepada keluarga Maheswara. Agar semua orang tahu jika Akarsana telah mendapatkan donor dan hanya menunggu waktu operasi tiba. Malam harinya di rumah keluarga Maheswara, Prita berpapasan dengan Kayla. Tentu saja Prita segera mengatakan kabar gembira tersebut kepada saudara kembarnya. Kayla ikut merasa senang mendengarnya. "Selamat, Prita! Aku ikut senang mendengarnya. Semoga operasinya berjalan dengan lancar dan Akarsana bisa hidup dengan normal." Prita menyipitkan matanya. Entah kenapa Prita merasa tersinggung dengan kata-kata saudara kembarnya. "Maksud kamu Akarsana bukan orang normal selama ini, Kayla?!" Prita tiba-tiba marah. "Anakku dari dulu normal! Dia tidak i***t," maki Prita. Kayla diam karena bingung. Ada yang salah dengan kata-katanya? Kayla mengucapkan doa baik dengan perasaan yang tulus. Tidak berniat membuat saudara kembarnya tersinggung. "Aku tahu, selama ini kamu berharap Akarsana tidak selamat, lalu mati, kan?! Itu keinginan kamu selama ini? Kamu pikir aku tidak tahu isi kepalamu!" tunjuk Prita penuh amarah. Wanita itu menunjuk wajah saudara kembarnya. Perdebatan, pertengkaran antara kedua saudara itu sering terjadi di rumah itu. Selama ini Kayla tidak pernah ambil pusing mengenai sikap Prita yang terkadang membuatnya bingung dengan maksud baik mendoakan keponakannya, Prita justru malah salah paham dengan kata-katanya. Entah Kayla yang kurang bijak menggunakan bahasa atau memang Prita yang suka mencari masalah dengannya? Entahlah. Kayla kehabisan kata-kata. "Prita, kamu ini kenapa sebenarnya? Aku tulus mendoakan kesembuhan Akarsana. Salahku di mana? Kenapa kamu malah marah-marah?" Kayla jengah juga lama-lama. "Sekali pun aku tidak pernah menginginkan Akarsana meninggal seperti yang kamu ucapkan. Aku juga menyayangi Akarsana seperti anakku sendiri." "Halah! Tidak usah pura-pura lagi! Aku tahu sebusuk apa hatimu, Kayla!" Prita tetap pada pendiriannya. Di matanya, Kayla itu nenek sihir. "Terserah kamulah, Prita. Aku lelah menghadapi sifat burukmu ini. Kamu selalu beranggapan bahwa aku berniat buruk kepadamu dan anak-anakmu." "Karena kenyataannya memang begitu!" sembur Prita semakin menjadi-jadi. *** Di mana-mana yang namanya saudara pasti pernah bertengkar. Tidak peduli yang anak-anak atau bahkan sudah memasuki usia dewasa. Lihat saja Prita dan Kayla sekarang. Padahal baru semalam mereka adu mulut sekarang terlihat akrab satu sama lainnya. Sepasang saudara kembar itu pergi ke rumah sakit untuk menemui Akarsana. Prita dan Kayla berjalan beriringan menuju ruang perawatan Akarsana. Sesampainya kedua wanita itu di ruang perawatan Akarsana, mereka berpapasan dengan perawat. Kayla yang memiliki pribadi lebih ramah pun membalas sapaan perawat ketika berpapasan di depan pintu. Berbeda dengan Prita yang langsung masuk begitu saja tanpa basa-basi. "Akarsana," panggil Prita dengan ceria. Dipeluknya Akarsana dengan erat. Di belakang Prita, Kayla menyapa keponakannya. "Bagaimana keadaanmu hari ini? Tante sudah mendengar dari Mama kamu. Katanya kamu sudah mendapat donor hati?" Akarsana mengangguk kecil. "Benar, Tante." "Selamat, Akarsana! Tante senang mendengarnya," balas Kayla tersenyum tulus. Prita mengambil duduk di kursi samping ranjang putranya. Wanita itu menawari Akarsana buah. Akarsana menggeleng, ia bilang sudah kenyang. *** Sedari tadi Diana melirik arloji di tangan kirinya. Tidak hentinya gadis itu uring-uringan karena angkutan umum yang ia tunggu sejak tadi tidak kunjung muncul. Kaki Diana sudah pegal sekali ingin segera pulang dan beristirahat di kamar, namun angkutan umum yang ditunggunya tidak kunjung muncul juga. "Duh! Lama banget, sih! Kaki aku sampai pegal karena berdiri dari tadi." Diana mendumel sambil menggerakkan kakinya untuk mengurangi rasa pegal. Lagi-lagi Diana mengkhayal bagaimana seandainya Diana terlahir dari keluarga kaya raya. Ia tidak perlu menunggu angkutan umum sampai lelah begini. Ke mana-mana pergi mengendarai mobil. Tidak khawatir takut telat masuk kampus. Namun sayangnya, itu cuma khayalan Diana saja. Karena fakta yang sebenarnya, Diana terlahir dari keluarga miskin! Diana membenci fakta itu. Diana mengentakkan kakinya sangat kesal. Kapan ada keajaiban datang dalam kehidupan Diana? Jujur saja Diana sudah muak hidup sebagai orang miskin! Sepasang mata Diana nenyipit saat sebuah mobil sedan mewah berhenti tepat di depannya. Diana menundukkan punggung, menatap si pengendara. Tadinya Diana pikir pemilik mobil itu ingin menanyakan sebuah alamat padanya. "Hai, boleh kenalan? Mau ke mana, cantik?" Diana terpana untuk sesaat. Selain mobil yang dikendarai lelaki itu kelihatan mahal dan baru, pemilik mobilnya juga sangat tampan. Diana melirik mobil di depannya sekali lagi. Dalam hati gadis itu berkata "Kesempatan yang bagus. Kapan lagi dapat gebetan dari keluarga kaya?" Salah satu keinginan Diana yang dianggap bisa mengeluarkannya dari kemiskinan—dengan cara memacari lelaki kaya raya dan kesempatan yang baru saja datang padanya tidak boleh ia sia-siakan. Dengan sukarela gadis itu menghampiri mobil lelaki itu. Tanpa basa-basi Diana mengatakan bahwa ia hendak pulang. "Jangan langsung pulang, deh. Bagaimana kalau kamu ikut denganku dulu? Kita bisa senang-senang." Lelaki itu menaik turunkan alisnya. Diana mengulum senyum penuh arti. Gadis itu dipersilakan masuk ke dalam mobil. Ia mengambil duduk di samping kursi kemudi. Walau Diana belum tahu akan diajak ke mana, Diana mengiyakan saja. Asal setelah ini ia dan lelaki itu memiliki hubungan yang lebih dekat. *** Pengendara sedan mewah itu mengenalkan dirinya sebagai Renjana. Mereka akhirnya saling menyebutkan nama satu sama lain. "Ayo, minum lagi!" teriak Renjana di dekat telinga Diana. Renjana membawa Diana ke sebuah kelab malam. Lebih dari satu jam mereka menghabiskan waktu di meja bar. Renjana mengajak Diana minum. Mulanya Diana menolak, tampak sangat ragu sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk meminumnya. "Jangan bilang, kamu belum pernah minum?" Ditanya begitu Diana menjadi gugup. Ia tidak boleh kelihatan seperti orang yang belum pernah pergi kelab dan minum alkohol. Jelas saja Diana tidak ingin kehilangan lelaki kaya di depannya. "Tidak mungkin." Diana mengibaskan tangan ke udara. "Tentu saja aku sudah terbiasa." Jadilah Diana mabuk sekarang. Ia takut ketahuan belum pernah ke kelab, lalu ia akan kehilangan kesempatan menggaet seorang lelaki kaya. Maka dari itu Diana akan melakukan apa saja. Renjana turun dari kursinya, lalu menghampiri Diana di kursinya. Ia menepuk Diana yang kini tidak sadarkan diri karena terlalu banyak minum. Setelah membayar minumannya kepada bartender, lelaki itu membawa Diana pergi dari sana. Tujuan utama Renjana sekarang adalah membawa gadis itu ke sebuah ranjang dan menghangatkannya. Sampai di sebuah kamar yang telah ia sewa, Renjana merebahkan Diana ke atas ranjang besar. Lelaki itu tidak berhenti menyeringai. Ia membuka satu per satu kancing kemejanya. Lantas, membuang bajunya sendiri dan menindih tubuh Diana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD