Malam beberapa waktu lalu.
Tangan berurat dan kekar milik Arnesh Maheswara terulur. Jarinya menekan tombol untuk memasukkan kode akses unit apartemen miliknya. Wajahnya nampak sangat lelah. Bukan karena pekerjaan, melainkan setelah berdebat dengan kakeknya.
Begitu masuk, Arnesh melempar jas ke arah sofa. Membuka dasi yang sejak tadi sudah bergantung tidak jelas di lehernya. Kakinya melangkah menuju dapur, mengambil sebuah botol minuman beralkohol, lengkap dengan gelas seloki.
Arnesh menjatuhkan tubuhnya di sofa berwarna hitam, kemudian menghela napas panjang. Menikmati minuman kesukaannya, ketika mengalami kelelahan pada pikirannya.
Tatapannya menerawang. Memikirkan apa yang dikatakan oleh kakeknya – Catra Maheswara. Pemilik dari perusahaan yang bergerak di bidang arsitek. Yang siap mewariskan kekayaannya kepada cucu satu-satunya di keluarga Maheswara.
Arnesh kembali membuang napas kasar. Permintaan kakeknya agar segera menikah, membuatnya muak. Ia tidak ingin terikat hubungan dengan wanita mana pun. Hidup bebas adalah impiannya selama ini. pernikahan hanya akan membuat hidupnya terkungkung dan justru membuatnya tidak bahagia.
Bosan dengan apa yang dilakukan, membuat pria berusia 33 tahun ini beranjak dari duduknya. Pria itu berjalan menuju ruang kerjanya. Setelah itu, menyalakan layar monitor yang ada di sana. Mengutak-atik singkat hingga ia mendapatkan apa yang diinginkan.
Sebuah rekaman dari kamera cctv yang ia letakkan di beberapa sudut apartemennya tanpa ada satu pun yang tahu. Hal ini ia lakukan, karena ia tidak percaya dengan siapa pun. Sehingga ia ingin menjaga tempatnya agar tetap aman tanpa ada yang berani melakukan hal yang buruk. Tidak ada yang bisa masuk, kecuali asisten rumah tangga kiriman kakeknya, yang sudah bekerja di keluarga Maheswara selama 10 tahun lebih.
Kening Arnesh mengkerut, melihat rekaman di depan matanya. Pria dengan alis tebal, tubuh yang tinggi serta tatapan mata tajam dan dingin, merasa ganjil dengan apa yang ia lihat. Sosok asing yang seharusnya tidak datang ke apartemennya.
“Siapa wanita ini? Kenapa dia melakukan pekerjaan Mbok Sukma?”
Malam berikutnya, saat jadwal membersihkan apartemen, Arnesh kembali melihat rekaman cctv. Dan lagi-lagi, wanita yang sama muncul sebagai orang yang bertugas membersihkan apartemen. Emosinya kembali muncul, ketika tahu ada orang yang berani meremehkan aturan yang ia buat. Menunggu iktikad baik Sukma, menjelaskan maksud dari semua ini.
“Tunggu saja sampai dia melakukan kesalahan, maka saat itu akan aku pastikan dia membayar rasa amarahku.”
***
Niat Arnehs menginap di kediaman kakeknya, harus diurungkan karena ia terlalu lelah untuk pulang ke sana. Belum lagi Catra akan kembali dengan mulut bawelnya membahas mengenai pernikahan untuknya. Sungguh, Arnesh seakan tidak punya kendali untuk urusan pendamping hidup. Selalu membawa nama warisan keluarga, untuk mengancam ketenangan hidupnya.
Saat Arnesh membuka pintu apartemen, ia menemukan sepasang sepatu wanita di rak penyimpanan. Keningnya mengkerut dengan wajah menegang. Pandangannya langsung tertuju ke ruangan apartemen, mencari keberadaan si pemilik sepatu.
Salah satu sudut bibir Arnesh terangkat. Seakan menemukan sesuatu yang sangat menarik. Tanpa terpikirkan olehnya, kalau malam ini ia akan menangkap basah sosok wanita yang sudah berani datang ke area pribadinya.
“Aku mau tahu, seberapa besar nyalinya untuk menjelaskan kesalahannya.”
Langkah kaki Arnesh tertuju pada setiap sudut ruangan untuk mencari keberadaan wanita itu. Namun, hampir semua tempat ia periksa, tidak menunjukkan keberadaan orang yang dicari. Ketika satu-satunya ruangan belum terjamah oleh matanya, di sana Arnesh yakin kalau akan menemukan wanita yang tidak diketahui namanya.
Saat tangannya mendorong pintu kamar miliknya, lampu menyala terang menyambutnya. Ia bisa melihat dengan jelas, siapa sosok yang tengah meringkuk di atas tempat tidurnya. Arnesh berdiri di ambang pintu, dengan tubuh mematung. Siapa sangka, jika ada yang berani melakukan ini di area paling private miliknya.
Arnesh menghela napas panjang. Lantas berjalan mendekati ranjangnya. Memperhatikan wajah wanita itu yang nampak tidur dengan pulas. Seperti menikmati tempat sendiri, tanpa beban atau takut ketahuan.
Lantas, Arnesh menyalakan lampu tidur dan memadamkan lampu utama. Ia memutuskan untuk duduk di sofa, menunggu wanita itu bangun sendiri dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah tidak sabar. Tetapi ia akan menantikan momen wanita itu sadar, jika sudah berurusan dengan orang yang salah.
“Dia ceroboh sekali. Apa dia tidak berpikir, kalau aku bisa saja melakukan hal yang tidak bisa dia hindari?”
***
Suara ketukan jari tangan pada permukaan meja kayu, memecah kesunyian di apartemen Arnesh. Setelah berhasil memecat sekaligus mengusir Eve, bayangan wajah wanita itu tidak beranjak dari pikirannya. Tentu saja hatinya puas, bisa memberikan hukuman yang setimpal atas apa yang dilakukan wanita itu. Meski sudah memberikan penjelasan, tetap saja ia tidak suka dengan apa yang dilakukan Sukma dan juga keponakannya.
“Orang seperti mereka, harus merasakan bagaimana sebuah aturan harus ditaati. Melanggar privasi adalah hal yang sulit untuk dimaafkan. Orang susah tapi tidak tahu diri,” gumamnya.
Tangannya mengambil gelas berisi minuman berwarna pekat. Meneguknya pelan hingga tandas. Malam semakin larut, namun matanya sangat sulit terpejam. Banyak hal yang berseliweran di pikirannya, terutama mengenai kejadian barusan.
Ketika Arnesh sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari arah kamarnya. Pria itu lantas beranjak dari meja makan, kemudian pergi untuk mengambil benda pipih yang tergeletak begitu saja di atas meja nakas.
Saat melihat layar ponsel yang menyala, dan tahu siapa yang menghubungi, Arnesh hanya bisa menghela napas panjang. Selarut ini, tapi masih saja diganggu oleh asisten rumah tangga, yang juga merupakan orang kepercayaan kakeknya.
Dengan raut wajah malas, akhirnya Arnesh menjawab telepon tersebut. Menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
“Halo, ada apa?”
Kening Arnesh mengkerut, dan sedikit menahan napas. Mendengar seseorang bicara di seberang sana tanpa memberi tanggapan. Setelah jelas, tanpa basa-basi, ia menutup sambungan telepon. Lalu menyimpan benda itu ke saku celananya. Kakinya bergegas melangkah, mengambil jaket serta kunci mobil.
“Aku harap ini bukan akal-akalan kakek,” gerutunya cemas.
Begitu mobilnya sampai di basemen parkiran rumah sakit, Anesh segera menuju ruangan yang ditempati oleh Catra. Entah kenapa, rumah sakit yang dituju, berbeda dari biasanya. Hal ini semakin membuatnya merasa janggal.
“Ini pasti sesuai dugaanku,” gumamnya.
Saat kaki panjangnya melangkah tergesa-gesa, pandangan matanya tiba-tiba menangkap sosok yang tidak asing baginya. Langkahnya melamban, sambil meyakinkan diri jika yang dilihat bukan orang yang salah.
Keningnya mengkerut ketika benar yang dilihat adalah wanita yang baru saja ia usir dan ia pecat. Dari jauh, tidak terlalu bisa melihat ruat wajahnya. Satu yang mencolok, wanita itu tertunduk lemas seorang diri.
“Kenapa dia ada di sini? Siapa yang masuk rumah sakit?”
Kaki Arnesh masih terdiam di tempat semula. Menatap sosok yang tidak sadar akan keberadaannya. Lantas, Arnesh membuang napas kasar, sambil tersenyum remeh. Menyesali apa yang barusan ia katakan. Arnesh tidak suka, jika ada yang sampai menarik perhatiannya.
“Sejak kapan aku peduli dengan urusan orang lain?” batinnya.