10. MENYELESAIKAN MASALAH

1281 Words
Wajah Eve nampak lesu setelah kembali dari rumah sakit. Bukan karena seharian ia tidak makan. Melainkan memikirkan, apakah besok ia bisa membawa pulang Sukma dari rumah sakit atau tidak. Sejujurnya, ia tidak ingin Sukma tahu tentang kondisi ini. Karena sejak awal, ia yang salah. Eve merasa bertanggung jawab menyelesaikan semua kekacauan ini. Belum lagi, pertemuan dan pembicaraannya dengan Dude, sungguh mengusik hati. Ia merasa terhina atas saran yang kakak sepupunya berikan. Masih tidak habis pikir, kenapa pria itu bisa memberi jalan keluar yang sangat gila. “Eve, kenapa melamun terus?” tanya Ranza. Eve menggeleng pelan. “Enggak kenapa-kenapa.” “Oh.” Wanita itu beranjak dari duduknya. “Aku mau buat kopi, kamu mau?” “Enggak, Ran. Makasih.” Begitu Ranza pergi, suasana di ruang kerja kembali hening. Beberapa karyawan lain nampak fokus dengan pekerjaan masing-masing. Eve menghela napas pelan. Benar-benar bingung harus melakukan apa akibat pikiran yang tidak fokus. “Apa sebaiknya aku pilih cara itu? Siapa tahu berhasil.” Akhirnya Eve beranjak dari kursi kerjanya. meninggalkan layar komputernya yang menyala. Tujuan dari langkah kakinya adalah pantry room, menemui Ranza yang tengah membuat kopi. “Ran.” Ranza menoleh dengan ekspresi kaget. “Ya ampun, aku kaget.” “Sorry, aku nggak ada niatan begitu.” “Ada apa, Eve? Kamu berubah pikiran?” tanya Ranza yang kembali fokus menunggu air mendidih. Eve menggeleng. Lalu berdiri tepat di sebelah teman kerjanya. Wajahnya nampak ragu sekaligus malu. “Ran,” panggil Eve pelan. “Iya, kenapa?” “Aku mau ngomong sebentar.” Ranza menoleh, fokus pada Eve. “Sepertinya serius. Ada apa?” “Ran, kamu sudah tahu kalau bibiku dirawat di rumah sakit.” “Iya. Bibi kamu juga harus operasi. Lalu?” “Besok, bibiku sudah bisa pulang. Dan aku bingung dengan biayanya,” jawabnya. “Aku nggak nyangka kalau Bi Sukma harus operasi. Jadi biaya rumah sakitnya cukup membengkak.” Ranza terdiam, lalu menghela napas pelan. “Kamu butuh pinjaman?” Eve mengangguk ragu. “Iya. Ternyata tabunganku nggak cukup untuk bayar rumah sakit. Sedangkan aku sudah janji sama Bi Sukma, kalau aku bisa mengatasi semuanya.” “Berapa biayanya, Eve?” “Hampir 50 juta, Ran. Tapi tabunganku, nggak ada setengah dari biaya rumah sakit.” Seketika wajah Ranza menampakkan ekspresi terkejut. “Banyak banget, Eve.” Wajah Eve tertunduk lesu. “Sejujurnya, aku malu sekali sama kamu, Ran. Tapi rasanya, Cuma ini yang bisa aku lakukan.” Eve memegang tangan Ranza. “Ran, tolong pinjami aku uang butik. Aku pasti segera kembalikan. Setidaknya, besok bibiku bisa pulang.” “Eve, aku cukup prihatin dengan apa yang kamu alami. Tapi permintaan kamu terlalu berisiko. Aku sendiri nggak punya uang sebanyak itu, Eve. Kamu tahu sendiri, aku tulang punggung keluarga dan harus menanggung ibu serta dua adikku yang masih sekolah.” “Aku paham, Ran. Itu sebabnya, aku minta pinjami uang butik. Tapi jangan sampai ada yang tahu, terutama Miss Lady. Aku janji, uangnya akan segera aku kembalikan. Satu minggu, aku minta waktu satu minggu,” pinta Eve dengan penuh permohonan. Wajah Ranza menenang. Bingung harus mengambil sikap seperti apa. Satu sisi, sebagai karyawan yang mendapat kepercayaan memegang keuangan butik, merasa harus menjaga tugasnya dengan baik. Namun di sisi lain, rasa iba menyelimuti hatinya. Paham dengan apa yang Eve rasakan karena ia juga memiliki seorang ibu. Kaki Eve mundur beberapa langkah. Lantas, tanpa aba-aba berlutut di hadapan Ranza. “Ran, aku benar-benar mohon sama kamu. Tolong bantu aku. Cuma kamu yang aku kenal dengan baik, meski kita hanya teman kerja. Demi Tuhan, uangnya pasti akan aku kembalikan.” Melihat Eve berlutut, sontak Ranza panik. Tangannya segera menarik tubuh Eve, agar kembali berdiri. Jika ada yang tahu, pasti akan bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi. “Jangan begini, Eve. Aku jadi merasa bersalah sama kamu.” “Aku mau kamu percaya, kalau aku jujur dengan kesulitan ini.” Ranza terdiam, lalu terdengar helaan napas panjang. “Baiklah, aku kasih pinjam uang butik. Tapi, waktunya Cuma tiga hari, tidak lebih. Dan kamu harus buat surat perjanjian. Jika dalam waktu tiga hari kamu nggak bisa kembalikan uangnya, terpaksa aku kasih tahu Miss Lady,” jelas wanita yang memiliki rambut pendek bergelombang. Tanpa pikir panjang, Eve mengangguk cepat. “Baiklah, aku setuju.” *** Senyum lega akhirnya terpancar di wajah Eve, saat Sukma sudah bisa pulang dari rumah sakit. Berkat bantuan Ranza, akhirnya uang yang dibutuhkan, berhasil didapatkan. Tentu saja tidak ada yang tahu soal ini. Dan Eve berharap, sampai ia bisa mengembalikan uang butik, jangan sampai ada yang tahu mengenai apa yang ia lakukan bersama Ranza. Mangkuk berisi bubur, sudah habis disantap oleh Sukma. Hal ini cukup melegakan karena wanita itu mau makan tanpa bosan meski terus menerus menyantap bubur. “Bi, sekarang istirahat dulu, ya. Kalau ada apa-apa, Bibi bisa telpon aku.” “Iya Eve. Terima kasih untuk semua yang kamu lakukan. Bibi benar-benar terharu atas kebaikan kamu.” Tangan Eve menyentuh pundak Sukma. “Sama-sama. Aku juga bahagia, Bibi sudah bisa kembali ke rumah.” Selesai menyuapi Sukma bubur, Eve membawa mangkuk serta gelas kotor ke dapur. Mencuci semuanya sebelum ia kembali pergi ke butik. Untung Lady memberikan keringanan, sehingga Eve bisa izin istirahat lebih lama, untuk mengurus Sukma. “Eve!” Wanita itu menoleh. Begitu marahnya ia saat tahu Dude muncul di hadapannya. Bagaimana bisa, seorang anak tidak peduli dengan keadaan sang ibu. Bahkan tidak ada ketika mengurus kepulangan Sukma. “Masih punya nyali buat muncul?” tanya Eve sinis. “Aku kira, kamu sudah membuang Bi Sukma.” “Kamu dapat uang dari mana?” tanya Dude tanpa menanggapi sindirin tajam Eve. “Apa itu penting?” “Iya. Aku mau tahu, kamu dapat uang dari mana. Kamu bilang lagi kesulitan, tapi kenapa tiba-tiba kamu punya uang sebanyak itu?” Eve yang fokus mencuci peralatan makan, seketika menghentikan aktivitasnya. Menatap Dude tajam dan penuh emosi. “Apa peduli kamu, De? Seharusnya kamu senang, Bi Sukma pulang tanpa menyusahkan kamu.” “Kamu menolak tawaranku kemarin, jadi mana mungkin kamu jual diri,” ucap Dude kejam. “Apa kamu pinjam uang sama renternir?” “Enggak!” “Lalu?” Napas Eve mulai tidak beraturan. Benar-benar habis kesabarannya menghadapi Dude. Merasa terhina harga dirinya. “Ada teman yang meminjamkan.” “Oh iya? Sejak kapan kamu punya teman dekat yang mau kasih pinjam uang?” tanya Dude. “Kalau begitu, aku perlu uang. Tolong berikan aku uang sekarang.” Eve mendorong tubuh Dude. “Jangan harap!” “Kalau begitu, terima tawaranku yang kemarin. Maka aku nggak akan mengganggumu!” Tanpa menyesaikan pekerjaan barusan, wanita itu pergi dari rumah Sukma. Daripada meladeni Dude, bisa membuat Sukma curiga dan akhirnya tahu soal uang yang ia dapatkan. “Bi Sukma kenapa bisa punya anak sejahat ini. Padahal bibi sama mendiang paman sangat baik.” *** Eve berbaring di atas kasur tanpa dipan, di kamar kos yang cukup sederhana. Pikirannya menerawang, mengingat apa yang terjadi belakangan ini. Sungguh berat dan belum berakhir. Satu masalah berhasil diselesaikan, namun ada masalah lain yang justru menunggunya. “Eve, ingat. Uangnya harus kamu kembalikan. Jangan sampai, kita mati bersama karena aku membantu kamu.” Ucapan Ranza terus terngiang. Mengusik Eve yang ingin istirahat sejenak. Tidak ada yang salah dari kekhawatiran temannya itu. Resiko besar, sedang mereka hadapi. Dan ini semua karena dirinya sendiri. “Ayo berpikir Eve, bagaimana caranya mengembalikan uang yang kamu pinjam di butik. Jangan membuat orang lain, kehilangan pekerjaan lain karena ulahmu.” “Cukup temani tanpa harus tidur bersama. Hanya itu Eve, maka semuanya selesai.” Ucapan gila Dude ikut mengusik kekalutan Eve. Tawaran yang sejak awal Eve tolak, seperti mendorongnya untuk menerima. “Apa aku harus mengikuti saran Dede, demi semua masalah ini selesai?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD