Suasana butik cukup ramai sampai Eve harus ikut turun tangan, membantu melayani pengunjung yang datang. Pekerjaan yang cukup sering ia lakukan, jika sedang senggang. Tidak tega rasanya membiarkan karyawan lain dalam keadaan kewalahan. Selagi ia sempat, maka Eve akan membantu.
“Apa ini exclusive?” tanya salah seorang pengunjung paruh baya namun terlihat masih awat muda. “Saya tidak suka, satu model digunakan oleh banyak orang.”
“Satu model, dibuat beberapa ukuran. Dan setiap ukuran, hanya ada satu, jadi bisa dibilang pilihan Nyonya, cukup exclusive.”
“Tetap saja saya tidak mau ada yang menyamai,” ujarnya. “Saya ke sini karena butik ini terkenal dengan kualitas pakaiannya yang bagus. Dan juga modelnya yang selalu kekinian. Saya berani bayar mahal, asal tidak pasaran.”
Eve tidak hilang akal. Ia lantas mencari beberapa model pakaian, yang sekiranya masuk ke selera wanita itu.
“Kalau Anda mau, gaun ini hanya ada satu. Dan sepertinya cocok di badan, Anda.”
Wanita itu nampak menghela napas, lalu mengambil baju pilihan Eve. Melihat-lihat model serta detailnya.
“Baiklah, biar saya coba dulu.”
Melihat wanita itu mau mencoba, perasaan Eve cukup senang. Meski bukan tugasnya, setidaknya usahanya membuahkan hasil. Syukur-syukur mau dibeli. Ada kepuasan yang Eve rasakan.
“Eve, dipanggil sama Ranza.”
Suara pelan dari arah samping mengalihkan fokus Eve yang sedang menunggu wanita tadi mencoba pakaian. Eve menghampiri salah satu rekan kerjanya.
“Aku masih bantu di sini dan lagi melayani pembeli” bisik Eve.
“Biar aku saja. Katanya Ranza, ini penting. Kamu ditunggu di pantry room.”
Wajah Eve mendadak tegang. Terang saja, ia tahu apa yang ingin dikatakan Ranza. Hari ini ia harusnya sudah mengembalikan uang butik. Tetapi sampai detik ini, uang itu tidak bisa ia dapatkan.
Eve mengangguk pelan. “Oh, baiklah. Aku segera ke sana.”
Kaki Eve melangkah pelan menuju pantry room. Dadanya berdebar dan perasaannya gelisah. Rasanya malu sekali jika harus membuat temannya kecewa. Tetapi Eve harus jujur dan berharap Ranza masih mau mengerti keadaannya.
“Aku sadar kalau aku nggak tahu malu. Dan aku janji, ini terakhir kali aku ngerepotin orang,” batinnya.
Tangan Eve mendorong pintu pantry room. Ia melihat Ranza berdiri, sambil bersandar pada meja di sana. tangannya memegang gelas kopi. Menatap kedatangan Eve dengan serius.
“Sorry Ran kalau nunggu lama.”
Ranza menggeleng. “Gimana, uangnya sudah bisa kamu transfer sekarang?”
Eve menggigit bibir bawah bagian dalam, seraya menggeleng pelan.
“Ran, aku minta waktu beberapa hari lagi ya. Dua hari, aku pasti bisa kembalikan uangnya.”
“Tapi gimana caranya? Sekarang saja kamu nggak bisa, apalagi nanti.”
Tangan Ranza langsung dipegang oleh Eve. “Enggak Ran, aku jamin. Dua hari lagi, uangnya pasti ada. Anak dari bibiku akan bantu cari uangnya.”
Melihat usaha Eve meyakinkan dirinya, membuat Ranza menghela napas. Tentu pekerjaannya menjadi taruhan karena rasa kemanusiaan.
“Jujur, sejak aku bantu kamu, aku nggak bisa tenang, Eve. Membayangkan bagaimana reaksi Miss Lady jika tahu apa yang aku lakukan untuk kamu,” ucap Ranza sendu. “Takut kalau niat baikku, justru buat aku kehilangan pekerjaan.”
“Ketakutan kamu nggak akan terjadi, Ran. Tolong percaya sama aku, ya.”
Ranza menatap Eve ragu. “Kita baru kenal tiga bulan Eve. Bagaimana kalau kamu kabur?”
Wajah Eve nampak kaget atas keraguan temannya. “Aku nggak sejahat itu, Ran. Belum pernah dalam hidupku, kabur dari tanggung jawab.”
Ranza tidak menjawab. Wajahnya masih belum menampakkan kelegaan atau percaya pada apa yang Eve ucapkan.
“Andai saja aku berani minta tolong sama Miss Lady dengan cara potong gaji, aku pasti lakukan itu. Sayang, aku terlalu takut.”
“Kamu belum tahu kalau karyawan yang bekerja kurang dari satu tahun, dilarang meminjam uang dan potong gaji. Miss Lady cukup ketat dan hati-hati, Eve.”
Eve menghela napas. “Itu sebabnya. Rasanya semua cara nggak mendukungku, Ran. Untung saja ada kamu, jadi bibiku sudah bisa keluar dari rumah sakit.”
“Aku turut senang Eve. Tapi aku harap, janji kamu akan mengembalikan uang, nggak kamu lupakan,” ucap Ranza tegas. “Kalau kamu ingkar lagi, terpaksa aku kasih tahu Miss Lady.”
“Aku nggak akan ingkar janji lagi, Ran. Percayalah.”
Selesai bicara serius dengan Ranza, kini Eve sedang menuju ruangan di mana para karyawan bekerja. Ketika ia hampir sampai ruangan, terdengar suara riuh dari dalam. Eve yang sedang banyak pikiran, tidak terlalu antusias. Ia melihat ke sekitar ruangan, lalu duduk di kursinya.
“Nggak tahu kenapa hampir tiap hari suasana hati Miss Lady nggak bagus. Selalu emosi, marah-marah terus.”
“Iya, aku juga kena semprot. Perkara ada typo di laporan. Padahal Cuma satu kata dan nggak ngarus sama nilai laporan.”
“Miss Lady pasti lagi ada masalah sama pacarnya. Makanya jadi sensitif.”
“Memangnya, Miss Lady punya pacar?”
“Entahlah. Aku juga kurang tahu. Tapi wanita sesempurna dia, masa nggak punya pacar, sih.”
Itulah percakapn yang Eve dengar di ruangan kerjanya. Ia mencoba untuk tidak tertarik, kata-kata mereka tapi justru mengingatkannya pada Arnesh. Praduga yang terus menguat, jika Lady dan Arnesh memang ada hubungan dekat.
“Harusnya yang kayak gini, nggak bikin aku terganggu. Ada hal yang lebih penting, yang harus aku pikirkan,” batinnya.
***
Setelah pulang kerja, Eve memutuskan untuk mampir ke rumah Sukma. Sekadar tahu, bagaimana kondisi wanita itu. Memastikan jika semua obat, sudah diminum oleh bibinya. Dengan seperti ini, Eve merasa lebih lega meninggalkan Sukma bekerja.
“Eve, untuk cek up nanti, jangan ke rumah sakit yang kemarin, ya. Kita cari rumah sakit atau dokter yang biayanya nggak mahal. Bibi nggak mau menambah beban kamu.”
Eve tersenyum, lalu menggeleng. “Jangan pikirkan soal itu, Bi. Kalau pun nggak ke rumah sakit kemarin, tapi aku pastikan bibi mendapat penanganan yang baik. Terutama bekas operasinya.”
Sukma tidak menjawab. Tangannya bergerak ke bawah bantal tidurnya. Mengambil sesuatu dari sana.
“”Eve, bawa ini ya. Pinnya ulang tahun kamu. Bibi ada tabungan di sana, nggak banyak. Tapi cukup untuk biaya cek up beberapa kali,” ucapnya pelan. “Jangan sampai Dude tahu. Bisa bahaya.”
Eve menghela napas pelan. “Aku terima, Bi. Tapi bukan untuk digunakan, melainkan mengamankan dari Dude.”
Saat Eve keluar dari kamar Sukma, matanya langsung menangkap sosok yang sedang duduk di sofa. Sejak awal ia datang, Dude tidak terlihat. Entah sejak kapan duduk di sini, dan mungkin juga sudah mendengar percakapannya dengan Sukma.
“Baru pulang?” tanya Eve pura-pura.
Dude mengangguk. “Mungkin baru lima menit. Mama sudah tidur?”
“Sudah,” jawab Eve. “Bisa bicara di luar?”
“Tentu saja. Tapi aku harap, kamu nggak buang-buang waktuku.”
Kini keduanya duduk di teras rumah, yang letaknya di gang sempit. Namun, kondisi lingkungan di sini cukup aman dan nyaman. Eve duduk di kursi, sedangkan Dude duduk pinggiran teras, sambil mengisap rokok.
“Mau ngomong apa? Kasih duit?”
Eve menghela napas. Menahan diri agar tidak emosi. Ia harus bisa menguasai situasi agar Dude tidak meremehkannya.
“Aku terima tawaran kamu soal menemani karaoke,” ucap Eve dalam satu tarikan napas.
Dude langsung menatap Eve kaget. “Serius?”
“Iya. Tapi harus ada jaminan kalau aku Cuma menemani karaoke. Tanpa tidur bersama. Dan hanya satu kali, tidak lebih”
“Bagus Eve!” Dude berseru semangat. Menepuk tangan, lalu menghampiri Eve. Membungkuk, dengan tatapan senang. “Aku suka Eve yang seperti ini.”
“Jawab dulu, kamu bisa menjamin aku aman?”
“Tentu saja adik sepupu. Aku akan mendampingi kamu dan memastikan kamu baik-baik saja.”
“Berapa imbalannya?” tanya Eve.
Dude tersenyum. berbalik badan, memunggungi Eve. Tangannya kembali mendekatkan rokok ke mulutnya.
“Yang jelas, banyak Eve. Hampir 100 juta.”
Eve tersenyum sinis. “Apa orang itu sudah gila sampai rela membayar hanya untuk menemani minum dan karaoke?”
“Orang berduit bebas mau melakukan apa Eve.” Pria itu kembali menoleh. “Beda dengan kita. Jadi harus sadar diri. Sudah tidak punya uang, setidaknya jangan terlalu jual mahal.”
Mendengar kalimat sampah dari Dude, membuat darah Eve mendidih. Tetapi ia terlalu lelah untuk menanggapi. Urusannya harus selesai malam ini.
“Kapan aku harus melakukan ini. Lebih cepat lebih baik.”
“Besok Eve. Kebetulan sekali, tadi dia telpon dan menanyakan hal ini. Jadi dia pasti senang, kalau aku bawa kabar baik.”
Eve menghela napas, lalu beranjak dari duduknya. “Aku harap ucapanmu bisa aku pegang. Jangan terlalu jahat padaku, De. Bagaimanapun, kita masih punya ikatan darah.”
Pria itu tertawa yang terdengar meremehkan. “Kalau kamu jadi penurut, aku pun akan menjagamu, Eve. Jadi jangan khawatir anak cantik.”
Sepanjang jalan pulang, Eve mengutuk dirinya sendiri karena pada akhirnya kalah dari Dude. Menyesali hal yang mungkin tidak bisa ia hindari lagi. Meski masih ada waktu, keadaan menuntut untuk tetap maju.
“Lakukan sekali, lalu lupakan. Berpikir sederhana saja, Eve. Setidaknya kamu nggak jadi gila.”