Evelyn merasa otaknya lumpuh, tidak bisa berpikir jernih. Segala ketakutan dan kecemasan yang muncul akibat perbuatan Alex, membuatnya ingin segera menghilang dari tempat ini. Dan ketika tangannya ditarik oleh Arnesh, ia seperti mendapat angin segar sekaligus membuat penasaran. Mengapa pria ini rela memberikan cek sebanyak 150 juta kepada pria yang sudah membayarnya.
“Kamu menginginkan dia?” tanya Alex pada Arnesh.
“Apa pun alasannya, saya akan membawanya. Dan pembicaraan kita selesai.”
Saat tangannya terus dicekal oleh Arnesh dan Eve pasrah. Untuk saat ini, ia hanya ingin keluar dari tempat ini. Meninggalkan Alex yang sudah melecehkannya. Eve juga sangat marah kepada Dude. Membiarkan dirinya diperlakukan seperti wanita tanpa harga diri.
Eve menatap sosok Arnesh yang tidak bersuara ketika membawanya keluar dari ruangan itu. Sosok yang pernah tidak ia kenal secara dekat, kini justru memegang tangannya dengan erat.
“Pak Arnesh, apa ada masalah?” tanya Tirta.
“Tidak. Saya akan pulang sendiri. Sampai jumpa besok,” jawab pria itu.
Tangannya masih saja dipegang oleh Arnesh, bahkan hingga keluar dari tempat itu. Eve merasa dingin menyapu beberapa permukaan kulitnya yang tidak tertutup oleh kain. Rasanya begitu risih dan malu, terutama di hadapan Arnesh.
“Anda mau bawa saya ke mana?” tanya Eve pada akhirnya.
Pria itu menghentikan langkah, tepat di depan mobil mewah. Lantas, tangan Eve dilepaskan setelah dicekal cukup erat.
Arnesh menghela napas kasar. “Masuk dan ikut saya.”
“Ikut Anda?”
“Iya. Kurang jelas?” tanya Arnesh sinis.
Eve menelan liurnya dengan susah payah. “Tapi kita mau ke mana?”
Kaki Arnesh bergerak beberapa langkah. Membuat tubuh Eve terhimpit kaku di antara mobil dan Arnesh. Mata pria itu menatap tajam, seperti akan menelan wanita itu bulat-bulat.
“Anda …Anda mau apa, Tuan Arnesh?” tanya Eve terbata-bata.
“Kamu lihat sendiri kalau saya sudah membayar kamu. Jadi harusnya kamu paham, apa yang mau saya lakukan.”
Seperti petir yang menggelegar secara tiba-tiba, begitu mengejutkan. Begitulah apa yang Eve rasakan, atas apa yang dikatakan Arnesh. Ia pikir, setelah lolos dari Alex, hidupnya akan selamat. Namun nyatanya, justru ia kembali terjebak akan liciknya sosok Arnesh.
“Jangan diam saja, cepat masuk!”
Eve ingin kabur tapi kakinya lemas dan tidak mampu lari dari Arnesh. Dengan hati yang berat, wanita itu masuk ke dalam mobil dan menuruti apa yang Arnesh katakan.
Di dalam mobil, suasana begitu hening dan dingin. Eve duduk tegang, dengan pandangan ke jendela samping. Air matanya mulai mengalir, menyesali setiap detik yang terjadi di tempat barusan. Bayangan perlakuan Alex kepadanya, membuat dadanya nyeri. Tangannya buru-buru mengusap air mata yang menetes.
Ketika meminta bantuan kepada Arnesh melalui tatapan matanya, Eve sungguh berharap pria itu mengerti. Dan ketika ia dibawa keluar oleh Arnesh, hidupnya seakan terselamatkan. Namun, sepertinya tidak semudah itu. Lepas dari kandang buaya, kini justru Eve masuk ke kandang singa.
***
Begitu sampai di apartemen Arnesh, tempat ini mengingatkan Eve pada peristiwa tidak mengenakkan beberapa waktu lalu. Ia pikir tidak akan pernah menginjakkan kaki di sini, setelah dipecat dan diusir. Nyatanya, pria itu justru membawanya ke tempat yang tidak sembarang orang bisa memasukinya.
Eve berdiri di ruang santai, sedangkan Arnesh duduk di sofa dengan kaki menyilang. Wajah Eve tertunduk, tidak berani melihat pria itu. Namun rasa penasaran terus menggerogoti mengenai tujuan ia dibawa ke sini.
“Untuk malam ini, kamu bisa tidur di sini.”
Wajahnya yang tertunduk, seketika terangkat kaget. “Tidur di sini?”
“Iya. Kenapa terkejut?”
“Ta-tapi, kenapa Anda mau saya tidur di sini? Sedangkan Anda sendiri tidak mau kalau saya menginjakkan kaki di sini.” Wanita itu menatap heran. “Bahkan Anda memecat saya karena saya tidak sengaja tertidur di tempat tidur Anda. Lalu apa yang sebenarnya Anda inginkan dari saya?”
Arnesh berhenti menyilangkan kaki. Beranjak dari duduknya dengan raut dingin, lalu berdiri tepat di depan Eve. Mendekatkan wajah, hingga kini hanya tersisa sedikit jarak di antara mereka.
“Kamu pikir, saya membayar banyak untuk apa? Terserah saya mau melakukan apa terhadap kamu,” ujarnya dingin. “Siap-siap saja. Kamu akan tahu, apa yang saya inginkan. Tapi tidak sekarang, karena saya terlalu lelah.”
Napas Eve tertahan ketika wajah Arnesh begitu dekat dengannya. Pria di hadapannya memang nampak sempurna. Tetapi sifatnya yang tidak punya rasa kasihan, membuat Eve melihat Arnesh sebagai sosok yang menakutkan.
“Kamu tidur di kamar pojok. Jangan membuat keributan karena saya mau istirahat.”
Pria itu berbalik, siap meninggalkan Eve dengan segudang pertanyaan.
“Tapi Tuan Arnesh, saya …”
Kaki Arnesh berhenti melangkah, lalu kembali memutar tubuh hingga kembali bisa menatap Eve.
“Apa? Kamu mau apa?”
Mendengar nada suara yang dingin dan sorot mata yang tajam, seketika menyebabkan nyali Eve menciut. Ia menggeleng, dengan wajah perlahan tertunduk.
“Tidak Tuan. Saya tidak akan mengganggu Anda.”
Eve tidak bisa mengajukan protes. Ia terlalu takut dengan Arnesh. Apa yang ia alami di tempat karaoke, membangkitkan trauma masa lalu dan kini sangat membekas di hatinya. Ia tidak tahu, apakah Arnesh akan lebih kejam daripada Alex, atau justru sebaliknya.
Begitu terdengar suara pintu ditutup, tubuh Eve merosot ke lantai. Seperti tidak ada tenaga lagi untuk menopang agar tetap berdiri tegak. Otaknya masih lumpuh jika harus diajak berpikir keras.
“Sebenarnya apa yang diinginkan Tuan Arnesh? Apa mungkin dia mau tubuhku? Sama seperti pria nakal di luar sana. Membayar mahal hanya untuk dinikmati.”
“Pakai ini!”
Suara Arnesh yang tiba-tiba membuat Eve terkesiap dan sadar dari lamunannya. Ia segera bangun dan menghampiri pria yang tengah mengulurkan tangan, dengan benda di tangannya.
“Jangan jadi besar kepala. Saya hanya risih melihat ada wanita dengan pakaian seperti itu di tempat saya. Dan jangan pernah berkeliaran, tanpa seijin saya,” ucap Eve ketus.
Eve menerima dan menatap kemeja berwarna putih yang diberikan Arnesh. Setelah itu, mengalihkan pandangan kepada pria itu.
“Terima kasih, Tuan.”
Ucapan Eve diabaikan begitu saja oleh Arnesh. Pria itu kembali ke kamarnya lalu menutup pintu dengan cukup keras.
Lelah dengan apa yang terjadi, Eve memutuskan untuk pergi ke kamar yang dimaksud oleh Arnesh. Ia melihat ke sekitar kamar yang ukurannya sedang. Kamar yang diperuntukan untuk tamu. Namun demikian, interiornya cukup mewah meski bukan kamar utama.
Kemeja putih yang diberikan oleh Arnesh, dibukanya dan dilihat baik-baik. Kainnya terasa sangat lembut dan juga wangi. Mereknya pun Eve tahu sangat terkenal dengan harganya yang mahal. Membuatnya ngeri jika memakainya.
“Sikapnya benar-benar membingungkan. Dia kejam, tapi masih mau aku pakai baju ini,” gumam Eve.
Setelah berganti pakaian, Eve baru ingat tentang Dude. Ia mengambil ponsel di dalam tas kecil yang dibawa. Hatinya penasaran, apakah sepupunya menghubunginya atau tidak. Lalu mengenai uangnya, apakah sudah dikirim atau belum.
“Jangan sampai dia kabur dan bawa uang itu.”
Eve mengecek rekeningnya dan wajahnya nampak sangat tegang. Setelah berhasil dibuka, mulutnya terbuka setengah.
“Syukurlah kalau dia nggak ingkar janji. Setidaknya, besok aku sudah bisa kembalikan uang butik,” ucapnya penuh kelegaan.
Saat Eve berusaha menghubungi Dude, nomor pria itu tidak aktif. Rasa kecewa tidak beranjak dari hatinya meski pria itu sudah memenuhi janjinya. Tetapi, sebagai kakak sepupu, sikap Dude sangat mengecewakan.
“Mungkin nggak sih, Dude tahu kalau sebenarnya Alex punya tujuan lain. Bukan Cuma karaoke, tapi juga berniat tidur denganku,” batinnya.
Ketika sibuk dengan pikirannya, suara perut mengagetkan Eve. Tangannya memegang bagian tubuh itu, terasa perih dan tidak nyaman.
“Baru ingat kalau aku belum sempat makan, sekarang malah lapar.” Wajahnya menampakkan kebingungan. “Aku nggak akan curi makanan di dapur Tuan Arnesh. Tapi kalau Cuma minta air putih, rasanya dia nggak akan marah.”
Hati-hati sekali Eve melangkahkan kaki menuju dapur. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, agar si pemilik apartemen tidak terganggu. Eve tidak akan bisa tidur jika perutnya terus berbunyi. Berharap air putih bisa membuatnya lebih baik.
Tangannya mengambil gelas, lalu mengisi dengan air dingin di dalam kulkas. Di dalam sana ada banyak makanan, tapi Eve tidak mau melihatnya. Takut jika keteguhan hatinya terusik dan membuatnya mengambil apa yang bukan menjadi haknya.
“Semoga perutku tenang dan nggak protes lagi,” ucapnya setelah meneguk air putih hingga tandas.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Suara berat dari belakang, membuat Eve terkesiap bahkan nyaris membuat gelas di tangannya terjatuh. Perlahan memutar tubuhnya, dan melihat keberadaan Arnesh yang sedang menangkap basah dirinya di dapur. Melewati batas yang sudah Arnesh tekankan tadi.
“Kenapa kamu ada di dapur? Sedang apa?” tanya Arnesh lagi.
Eve menelan liurnya susah payah. Jantungnya berdegup kencang, dan wajahnya terasa panas karena malu.
“Tu …Tuan Arnesh, saya …”