Arnesh melangkahkan kakinya, masuk ke sebuah tempat karaoke dan bar terkanal di Jakarta. Di belakangnya, ada Tirta yang mengikuti. Tidak membiarkan bosnya datang sendiri, menghadiri undangan dari Alex. Awalnya Arnesh tidak berminat, tetapi rivalnya itu terus memaksa, karena ada yang ingin dibicarakan.
“Saya mau ke toilet dulu. Tunggu di sini saja.”
Tirta mengangguk. “Baik.”
Dalam perjalanan kembali dari toilet, tiba-tiba tubuhnya tertabrak oleh sosok mungil yang tidak terlalu jelas siapa orangnya. Hanya saja, Arnesh tahu bahwa orang itu perempuan. Meski sudah meminta maaf, Arnesh tidak terlalu peduli. Dan memilih untuk meninggalkannya.
Selesai di toilet, Arnesh kembali menemui Tirta yang masih berada di tempat semula. Keduanya kembali melanjutkan langkah kaki menuju ruangan.
“Kenapa harus di tempat seperti ini? Harusnya dia bisa mengundang Anda di tempat yang lebih layak, jika ingin membicarakan soal bisnis.”
“Kita ikuti saja. Cari tahu apa yang diinginkan.”
“Sudah pasti dia ingin mengincar proyek sedang kita persiapkan,” sahut Tirta.
Sudut bibir Arnesh terangkat, di dalam ruangan minim cahaya.
“Biar saja. Biarkan dia berangan-angan agar harga dirinya semakin terluka,” ucap Arnesh.
Begitu sampai di ruangan yang dituju, Arnesh tidak langsung masuk. Pria itu menoleh, menatap asisten sekaligus sekretarisnya.
“Pak Tirta tunggu di sini saja. Dia pasti tidak akan setuju kalau Anda ikut masuk,” titah Arnesh.
Wajah Tirta nampak khawatir. “Tapi Pak, saya tidak yakin Anda masuk sendiri.”
Tangan Arnesh menepuk pundak pria itu. “Semua pasti diatasi. Santai saja.”
Saat Arnesh ingin masuk, tiba-tiba ada seseorang yang keluar dari ruangan itu. Wajahnya terlihat jelas oleh matanya. Mengingatkan Arnesh pada sosok yang ia kenal.
“Dia lagi. Apa orang ini bekerja untuk Alex?” batinnya.
Arnesh masuk ke dalam ruangan tersebut. Suasana masih cukup kondusif. Alex sedang bersama seorang pria yang mungkin asistennya. Di tambah dua wanita yang langsung menyambut kedatangan Arnesh.
“Halo Arnesh, selamat datang.”
Alex beranjak dari duduknya, menyambut Arnesh dengan antusias. Sekilas orang-orang tidak akan tahu kalau dua orang ini adalah musuh bebuyutan. Alex selalu pintar bermain peran. Tetapi terkenal kejam terhadap saingan bisnisnya.
“Silakan duduk brother. Jangan terlalu tegang.”
Arnesh menghela napas. “Jangan berlama-lama. Saya terlalu sibuk.”
“Sibuk?” Alex merangkul pindak Arnesh. “Sudah malam, memangnya masih sibuk apa? Main dengan perempuan?”
Tentu saja Arnesh segera menepis tangan Alex. Menatap tajam tanpa memberikan tanggapan.
“Tenang saja. Sudah aku sediakan wanita cantik, untuk menemani pertemuan kita malam ini.”
Arnesh menghela napas kasar. Berjalan meninggalkan Alex, lalu duduk di sofa yang berbeda.
“Banyak hal yang harus saya kerjakan. Jadi saya harap pertemuan ini bukan hanya untuk membuang waktu saya yang berharga.”
“Santai saja.” Alex kembali duduk di tempat semula. Menuang minuman untuk tamunya. “Minum dulu. Setelah itu, kita mulai pembicaraan yang pasti tidak akan membosankan.”
Minuman yang dituangkan oleh Alex, diterima Arnesh dengan wajah datarnya. Tanpa bicara, mencoba mencicipi meski sedikit. Menghargai tetapi tetap waspada. Alex tidak bisa dipercaya.
“Aku yakin, kamu tahu tujuanku mengundangmu untuk bertemu dan bicara serius.” Alex meneguk minuman miliknya. Setelah itu, menatap Arnesh serius. “Mundur dari tender, maka aku akan memberikan lebih. Masih banyak yang bisa dikerjakan perusahaanmu. Jadi mundur dari satu proyek, rasanya tidak akan berpengaruh.”
Salah satu sudut bibir Arnesh terangkat. Tersenyum remeh atas ucapan Alex.
“Kenapa saya harus mundur? Kita bisa bersaing secara fair dan menunggu siapa yang menang,” ujarnya. “Apa kamu takut, bertarung dengan saya?”
Alex tertawa. “Takut? Tentu saja tidak. Aku berniat baik, agar kamu tidak kecewa akibat kekalahan ini. Bagaimanapun, ayahku dan kakekmu pernah menjadi rekan. Jadi itu alasannya aku sedikit peduli terhadapmu.”
“Rekan? Jangan pura-pura lupa. Ayahmu mengkhianati kakek saya,” sindir Arnesh tajam.
“Sudahlah, itu hanya bagian dari bisnis. Jika mereka berselisih, apa kita juga harus seperti mereka?”
Baru saja Alex menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terdengar pintu dibuka dan menampakkan dua orang berlawanan jenis. Alex nampak antusias melihat kedatangan mereka.
Arnesh yang awalnya tidak peduli siapa yang datang, justru dibuat sangat terkejut. Dua orang yang berdiri tidak jauh dari tempat duduknya adalah orang yang ia kenal. Meski suasana remang-remang, matanya dengan jelas melihat siapa yang datang.
“Evelyn?” gumam Arnesh di dalam hatinya.
Sepertinya dua orang itu tidak menyadari akan keberadaannya. Arnesh pun diam, seakan mereka tidak saling kenal. Mendengar percakapan Alex dan Dude. Dan betapa sakitnya mendengar bahwa wanita itu dibayar untuk menemani Alex.
“Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia berurusan dengan Alex? Mungkinkah kalau keponakan Bi Sukma, memiliki pekerjaan sebagai wanita …?”
Lantas, ketika Dude pergi meninggalkan Eve, kedua mata Arnesh terus menatap sosok wanita itu. Perlahan, tatapan matanya mendapat balasan. Arnesh melihat dingin, bagaimana reaksi terkejut dari Eve. Membiarkannya menduga-duga, kenapa ada dirinya di sini.
“Hai cantik, duduk di sini.” Alex menepuk sofa kosong di sebelahnya. “Tenang saja. Aku ini pria baik-baik, jadi jangan takut.”
Melihat bagaimana reaksi terkejut Eve serta bercampur takut atas sikap Alex, semakin membuat Arnesh penasaran. Sepertinya malam ini ia akan melihat pertunjukkan menarik. Fakta bahwa ternyata Eve tidak sepolos yang ia duga. Sama saja dengan wanita yang ia kenal, bahkan Eve lebih parah.
“Tubuhmu wangi sekali. Dan ternyata kamu lebih cantik daripada yang aku duga. Sepupumu sangat baik, membawamu ke sini. Dan aku sangat senang.”
Diciuminya pipi Eve bahkan mengecup bagian leher wanita itu. Terlihat menjijikkan di mata Arnesh.
“Tolong jangan seperti ini,” ujar Eve lirih.
Alex tertawa. “Ternyata kamu memang masih polos. Tenang saja, nanti kamu pasti terbiasa.”
Arnesh berdeham pelan. Sekaligus kaget karena wanita di sebelahnya, mencoba untuk menyentuh tubuhnya.
“Jangan sentuh. Diam di tempatmu,” ucapnya tegas.
Perhatian Alex tertuju pada Arnesh. “Wah, maaf. Aku melupakan pembahasan kita?”
“Kalau hanya mau membujuk saya soal tender, sebaiknya kita akhiri saja.”
“Tunggu …tunggu. Aku belum selesai,” ujar Alex. “Baiklah, berapa yang kamu minta agar melepaskan tender ini?”
Arnesh menatap Alex. Dan ia lihat, bagaimana tangan pria itu mencoba menggerayangi tubuh Eve. Namun Arnesh mencoba untuk tidak peduli dan fokus pada pembicaraan.
“Saya tidak butuh itu,” jawab Arnesh. “Buat apa saya melepas hanya demi uang. Kamu tahu sendiri, siapa nanti yang memenangkannya, maka reputasi perusahaan akan meningkat. Proyek ini bukan hanya soal membangun sebuah rumah sakit, tapi juga mempertaruhkan nama baik perusahaan,” sambungnya.
Wajah Alex menegang. Merasa usaha untuk bernegosiasi yang ia lakukan, diremehkan oleh Arnesh. Demi menutupi kecewanya, pria itu langsung mengusap paha Eve sambil tersenyum.
“Bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu. Mumpung ada di tempat ini, kita karaoke dulu,” ucapnya. “Dan kamu, aku menyukai tubuhmu,” bisiknya.
Arnesh menatap Eve dan menyadari wanita itu juga menatapnya dengan sorot penuh takut serta khawatir. Seakan tidak ingin membiarkan Arnesh mengabaikan keadaanya. Meminta untuk diselamatkan.
“Apa maksudnya? Bukannya dia memang menginginkan ini.”
“Tolong jangan sentuh sembarangan. Saya mohon,” ucap Eve lirih.
“Kenapa? Aku sudah membayarmu, jadi layani aku. Buat suasana di sini menjadi menyenangkan agar pembahasan bisnisku berjalan lancar. Benar kan, Arnesh?”
Arnesh bisa melihat jelas kedua mata Eve berkaca-kaca. Bergerak gelisah, mencoba melepaskan diri dari dekapan serta perlakuan kasar Alex. Entah kenapa, hal ini mengusik nuraninya. Dan tentu saja, Arnesh tidak suka berada dalam suasana hati seperti ini.
“Tubuhmu wangi sekali. Rasanya ingin membawamu ke tempat tidurku,” ucap Alex mengerikan.
Wajahnya terus berada di cekungan leher Eve sambil mencium dan tangannya bermain-main, bahkan sudah hampir menyentuh dadaa wanita itu.
Merasa tidak tahan, Arnesh beranjak dari duduknya. Hal ini membuat Alex terkejut.
“Mau pergi?”
Dari saku jas miliknya, pria itu mengambil sebuah kertas. Menulis sesuatu, lalu meletakkan di atas meja.
“Apa ini? Kenapa kamu memberiku cek?”
Tangan Arnesh dengan cepat menarik Eve. Menjauhkan wanita itu dari kungkungan Alex.
“Aku sudah membayar lebih. Jadi biarkan aku membawanya.”