Yang baca bab 13 sama seperti bab 12 sudah diperbaiki ya isinya. Silakan pergi ke pengaturan lalu klik bersihkan cache nanti akan normal lagi ...
Happy reading....
Teresa sangat mual mendengar pembicaraan mereka semua. Jika saja Elang tidak menahannya saat ingin beranjak, dia sudah pergi ke luar rumah menemui Kinan dan teman lainnya di tempat tongkrongan biasa. Bermain gitar dan bernyanyi sepertinya lebih menyenangkan dari pada duduk di antara orang-orang yang membuat dadanya sesak itu.
Teresa terlihat kesal saat mereka juga memanggil Mama Dera karena ingin bicara yang begitu penting. Elang duduk di sampingnya dengan tangan berada pinggir sandaran kursi mengungkungnya.
"Sebenarnya ada apa ini, Mas Robert, Mbak Anggi? Ada hal penting apa yang ingin dibicarakan sampai harus datang ke rumah barengan seperti ini?" Mama Dera menatap ke arah Keyla tatapan itu turun ke arah perut. Terlihat menonjol dan Keyla terus saja mengelusnya.
"Key, aku kaget lihat kamu tiba-tiba datang dengan keadaan hamil seperti ini. Kamu pas hari nikahan kemana? Dan sekarang kenapa kamu datang-datang begini?" Mama Dera mencerca dengan berbagai pertanyaan pada Keyla sehingga membuat perempuan itu tak bisa menjawab.
"Dia lagi sakit di luar negeri, Jeng, pas hari pernikahan dia itu lagi pendarahan, makanya dia nggak bisa pulang dan nggak datang," sambung Mami Anggi.
Wajah mama Dera terlihat menegang. Ada keterkejutan tergambar dari garis wajahnya. Menatap lekat-lekat Keyla seolah meminta jawaban.
"Dan anak itu anak?" tanyanya.
"Elang," jawab Keyla singkat.
Entah kenapa meskipun sudah mengetahui kalau itu adalah anak Elang, hati Teresa begitu sakit seperti ditusuk-tusuk. Sekuat tenaga ia menguatkan hatinya sendiri. Menegakkan wajah seiring tarikan napas berat, untuk menatap mereka semua, mendengar dengan baik apa yang dibicarakan.
"Bener, Lang?" tanya Mana Dera memastikan dengan Elang.
Teresa masih terlihat tenang mengikuti alur pembicaraan mereka semua. Ia menoleh menatap Elang yang tidak bisa menjawab pertanyaan Mama Dera.
"Kenapa nggak dijawab, Mas?" tanyanya sambil menyenggol lengan lelaki yang berstatus suaminya itu.
Elang bersusah payah mengangguk seolah sedang tertindih beban besar di lehernya. "Iya, Ma."
Namun, satu anggukkan itu benar-benar cukup membuat mama Dera syok. Wanita itu memegang dadanya yang teresa sesak saat mengetahui kenyataan tentang anak lelaki satu-satunya.
"Lang, mama nggak salah dengar, kan? Kamu bener-bener ngelakuin itu?" mata mama Dera memerah sambil menggeleng kepala dua kali. Tersemat rasa kecewa di matanya.
"Maaf, Ma, tapi itu yang terjadi." Elang tidak bisa mengeluarkan banyak kata-kata. Menunduk merasa bersalah dan semua orang seolah-olah ingin menghakiminya.
"Terus gimana sekarang, Lang? Kamu sudah menikah sama Tere, tapi Keyla hamil anak kamu. Mama nggak pernah ajari kamu hamilin anak orang sebelum nikah, Lang, kamu udah keluar batas."
Semua orang diam saling merenungi kesalahan masing-masing. Tatapan mama Dera terarah pada Teresa teng sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka semua.
"Saya juga salah dalam hal ini, jeng, karena nggak bisa jaga anak saya sampai bisa hamil di luar nikah seperti ini," sahut Mami Anggi.
"Kalau saja Keyla nggak hamil mungkin kita semua nggak akan dihadapkan dengan situasi rumit seperti ini." Bola mata Mami Anggi mengelilingi mereka semua yang duduk di sofa.
"Lagi-lagi nama besar kita dipertaruhkan, Jeng. Kalau orang luar tahu Keyla hamil di luar nikah, apa yang mereka akan katakan? Dan bagaimana lagi kalau mereka tahu bahwa, laki-laki yang udah menghamili Keyla adalah Elang, pacarnya sendiri yang sekarang jadi adik iparnya."
Kemudian menoleh pada suaminya, Robert--lelaki berdarah Australia dan Indonesia itu.
"Pi, sekarang papi yang jelaskan sama jeng Dera, bagaimana kita harus mengambil keputusan. Kita semua harus pilih jalan tengah, mau nggak mau, setuju atau nggak. Ini harus dilakukan." Mami Anggi menggenggam tangan suaminya. Memberi isyarat untuk bicara dengan cara mengedipkan mata satu kali.
"Lang, aku tahu kamu sudah tahu, tentunya kamu sudah bisa menentukan jalan yang terbaik buat Keyla dan juga Tere. Kamu harus menikahi Keyla untuk kebaikan kita semua, Lang."
Teresa seketika menoleh menatap Papi Robert yang duduk di hadapannya itu. Dengan alis mengerut ia ingin menunjukkan protesnya. Sebelum kemudian suara Elang menyela lebih dulu.
"Maslahah bayi itu aku akan tanggung jawab, Pa. Tapi ... kalau untuk nikahi Keyla, itu nggak mungkin," tolaknya.
"Teresa adalah wanita satu-satunya yang akan menjadi istriku. Nggak akan ada wanita lain lagi." Elang menggenggam tangan Teresa dengan sayang.
"Kalau masalah tanggung jawab materi, tanpa kamu tanggung pun aku mampu membiayai kehidupan Keyla dan anaknya, Lang. Kamu lupa, kalau aku lebih berhasil dari pada perusahaan mu?"
Elang tidak bisa menjawab. Memang kenyataannya, keluarga Robert lebih kaya dari pada keluarganya.
"Yang aku permasalahkan ini bukan masalah materi, Lang, tapi tentang tanggung jawab secara moril, Keyla nggak butuh uang, dia sudah banyak uang. Yang dia butuhkan adalah lelaki yang menjadi pendampingnya!" suara Papi Robert terdengar naik satu oktaf.
"Lagian apa susahnya, sih, tinggal nikah aja. Keyla sudah berbaik hati berbagai suami dengan Tere, masa Teresa nggak mau ikhlasin buat kamu nikahi Keyla."
Telinga Teresa teresa memanas mendengar kalimat sarkasme dari Mami Anggi. Dia memang egois, dia tidak akan memberikan apa yang sudah menjadi miliknya. Tapi jika mereka bersikukuh memaksa, kalau tidak bisa mempertahankan maka ia akan melepaskan.
"Ini pilihan sulit buat anak-anak, Mbak, tentu aja nggak akan mudah seperti yang mbak Anggi katakan," bela Mama Dera.
"Halah, buktinya aku juga bisa tuh nerima Tere yang jelas-jelas anak dari perselingkuhan suamiku dengan simpanannya di kampung."
"Mi, yang sudah ya sudah, nggak usah diungkit-ungkit lagi," sahut Robert menenangkan. Lalu kembali menatap lurus ke arah Elang.
"Gimana caranya kamu harus mau nikahin, Kayla, Lang. Cinta nggak cinta pernikahan ini harus dilakukan." Keputusan sepihak Robert benar-benar tidak ingin dibantah.
Demi nama baik pria itu mempertaruhkan kebahagiaan putrinya. Teresa mendapatkan pilihan untuk menerima anak yang dikandung Keyla saja sudah cukup sulit baginya, apa lagi pilihan seperti ini. Sudah jelas dia tidak akan setuju.
"Aku bisa membuat bisnismu dan keluargamu berkembang pesat dalam waktu sekejap. Tapi ... kamu juga harus tahu, kalau aku juga bisa kalian kehilangan usaha dalam sekejap," ancam Robert.
"Apa semua ini merupakan ancaman, Pa?" tanya Elang.
"Tentu saja tidak, ini sebuh penawaran. Aku tahu kesehatan papamu sudah mulai menurun akhir-akhir ini. Maka dari itu, aku menyarankan untuk selalu menjaga kesehatannya, jangan biarkan dia dengar berita buruk mengenai perusahaan yang sudah dia bangun bersusah payah."
Elang tidak menjawab, justru menatap Teresa. Semua mata dalam ruangan itu menatap ke arah Teresa seolah menunggunya bicara.
"Apa? Kenapa kalian semua melihatku?" tanya Teresa bingung.
"Kamu mau ke mana, Re?" tanya Keyla saat melihat Teresa berdiri.
"Ke kamar, aku ngantuk," jawab Teresa singkat.
"Ya nggak bisa gitu, Re, kita masih belum selesai bicara. Kamu udah mau nyelonong gitu aja." Keyla beranjak berjalan mencegah Teresa.
"Apa lagi yang mesti diselesaikan? Bukannya keputusan udah mutlak? Papi udah tentukan kalau mas Elang bakalan nikahin kamu, kan? Lalu apa lagi?"
"Brati kamu setuju kalau Elang nikahi aku, Re?" tanya Keyla merasa senang.
"Nggak!" jawab Teresa memberi penekanan. "Kakak pikir aku apa? Menerima gitu aja dimadu. Sampai kapan pun aku nggak bakalan setuju," ketusnya.
"Re, kamu tenang dulu, ya, kita bisa bicarakan ini baik-baik." Elang menghampiri Teresa berusaha menenangkan.
"Gimana mau tenang, kalau dia aja egois seperti itu," celetuk Keyla memandang sinis Teresa.
"Egois kakak bilang? Jadi aku yang selama ini ngalah masih aja dibilang egois? Aku udah relain masa depan aku hanya menikah menggantikan kakak, masih dibilang egois?"
"Re, udah, jangan emosi seperti ini," ucap Elang. Berdiri di belakang Teresa berjaga-jaga jika istrinya itu berbuat di luar kendali.
"Kenapa kamu cegah aku, Mas? Kamu belain dia?" Menepis tangan Elang dengan kesal.
"Bukan gitu, Re, cuma aku nggak mau ribut seperti ini. Keyla lagi hamil, Re, dan kandungannya lagi lemah."
Huh, lagi-lagi Elang hanya mementingkan bayi dalam kandungan itu. Sebegitu sukanya dia, bahkan mengabaikan perasaan Teresa.
"Minggir, Mas."
"Mau ke mana?" Elang menghadang langkah Tere.
"Ke kamar beresin baju, aku nggak akan cegah pernikahan kalian, jadi kalian jangan ada yang cegah aku." Teresa memutar bola mata malas. Melangkah namun langkahnya selalu dihalau oleh Elang.
"Jangan kayak gini, Re, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Kita bisa cari solusinya, Re!" Elang mulai kacau saat mendengar Teresa ingin pergi.
"Minggir, Mas," pinta Teresa pelan.
"Udah biarin aja kenapa, Lang, kalau dia mau pergi. Mungkin itu sudah jadi pilihan dia, nggak mau dimadu memilih hidup sendiri. Tenang aja, kamar mami sama papi masih kosong, kok ...."
Dadaa Teresa merasa sesak darahnya berdesir panas membakar seluruh amarah.
"Kamu nggak akan ke mana-mana, Re. Percayalah sama aku, semua pasti akan baik-baik aja."
Mata bulatnya melebar menatap Elang di hadapannya beberapa saat. Kemudian tanpa bicara memilih pergi meninggalkan mereka semua menaiki tangga.
Teresa mengunci pintu kamar, hingga membuat Elang yang ingin masuk tidak bisa. Lelaki itu mengetuk berulang-ulang meminta dibukakan tapi Teresa sama sekali tidak menghiraukan.
Dengan cepat, ia menurunkan koper dari atas lemari. Lalu mengemasi barang-barang penting miliknya secara serampangan hingga memenuhi koper berwarna hitam itu.
"Re, bukakan pintunya, Re! Kamu nggak bisa keras kepala seperti ini. Re, kamu denger aku, kan?!" Elang menendang pintu melampiaskan kekesalannya. Kemudian menjambak rambutnya sendiri putus asa.
Teresa benar-benar tidak memberikan kesempatan untuk membicarakan ini semua. Entah apa yang dipikirkan oleh istrinya itu sehingga bertekad meninggalkannya.
"Please ... Re, jangan pergi ke mana pun." Suara Elang bergetar memohon di hadapan Teresa supaya tidak pergi.
"Kamu nggak mikirin aku, kalau kamu pergi? Re, gimana tentang masa indah kita yang kita lewati selama lima bulan ini. Re, please, kamu mau, kan, dengerin aku?"
Teresa mematung di ambang pintu tangan kanan memegang gagang koper, sedang tangan sebelah lagi memegang tas.
"Ayo bawa masuk lagi, barang-barangmu, kamu nggak akan ke mana-mana." Elang maju merebut gagang koper dari tangan Teresa.
- TBC-