Sherin mengedarkan matanya mencari keberadaan kamar mandi, senyumnya mengembang saat mendapati letak pintu kamar mandi yang sedari tadi di carinya.
Kakinya melangkah hingga tiba di depan pintu berwarna putih itu dan segera membuka pintu kamar mandi. Tubuhnya terasa sangat lengket karena telah seharian tidak mandi, saat pintu kamar mandi terbuka mata Sherin terbelalak dengan mulut yang terbuka lebar.
"Wah, ini beneran kamar mandi? Gila, besar sekali. Bahkan kamar tidurku di rumah paman enggak sampai setengah dari kamar mandi ini." Sherin berguman dengan rasa takjubnya.
Cukup lama Sherin menghabiskan waktunya di dalam kamar mandi, bahkan ia tak berniat untuk keluar dari dalam bathup yang di lengkapi dengan lilin lilin aroma therapi hingga membuatnya lupa pada segala permasalahan hidup yang membebaninya selama ini.
'Rasanya sudah sangat lama aku tidak merawat tubuhku ini. Kasihan sekali, pasti kalian sangat lelah.' Sherin membatin sembari mengelus elus tangannya dengan busa sabun.
Tak lama, Sherin mengambil handuk besar dan kecil yang telah tergantung dengan rapi lalu melilitkan di tubuh serta rambutnya. Kakinya kembali melangkah keluar kamar mandi hingga matanya di kagetkan oleh sosok Rika yang tiba tiba telah berdiri di ujung lemari pakaian.
"Astaga... Rika, sedang apa kau di sana. Membuatku kaget saja." Sherin menepuk nepuk pelan dadanya untuk menetralkan detak jantungnya.
"Maafkan saya nona. Saya hanya ingin memberitahu anda bahwa malam ini tuan besar dan nyonya akan mengajak anda makan malam bersama. Dan ini pakaian yang bisa anda kenakan nanti malam, serta di sini pakaian untuk sehari hari anda, Nona." Rika membuka satu persatu pintu lemari yang berisikan pakaian pakaian yang telah tersusun rapi.
"Uwaaw... bagus sekali gaun gaunnya." Mata Sherin berbinar takjub melihat pemandangan gaun gaun indah dengan rancangan designer ternama dunia serta harga yang sangat fantastis. "Tapi semua ini tidak pantas aku pakai, Rika. Ooh.. aku punya ide, pinjamkan aku pakaianmu saja. Akan aku ganti setelah uang gaji ku keluar." Sherin memasang wajah momohon pada Rika, pelayan pribadinya.
Rika tampak menahan tawa saat melihat wajah memelas Sherin. "Maaf Nona, tapi ini semua perintah Tuan besar. Dan juga pakaian saja tidak akan muat dengan nona." Benar yang dikatakan Rika, jika Nona Sherin memakai pakaiannya akan lebih terlihat seperti memakai sarung karena tubuh Rika lebih besar dua kali lipat dari pada tubuh Sherin.
"Haaah..." Sherin menghela nafas dengan bibir yang mengerucut sempurna, hatinya sangat berat untuk memakai pakaian yang telah di siap kan oleh Pak Heri, pria tua bangka yang akan menikahinya.
'Kenapa jadi begini? Aku enggak mau memakai yang bukan milik ku. Jika gaun ini rusak bagaimana? Aku harus menggantinya pakai apa? Bahkan uang gaji ku selama dua bulan saja belum tentu cukup untuk mengganti pakaian ini.' Sherin berguman dalam hati dengan perasaan yang berkecamuk.
"Nona, silahkan memakai pakaiannya. Jika ada sesuatu silahkan panggil saya." Rika menundukkan kepalanya dan berlalu meninggalkan Sherin yang masih tampak ragu mengenakan pakaian pemberian Tuan Heri.
"Bagaimana ini? mau tidak mau aku harus memakainya. Jika aku seperti ini terus, bisa bisa si tua bangka itu akan memangsa ku. Aih, kenapa rumit sekali. Bantu aku ya Tuhan." Sherin masih merasa bimbang.
Setelah beberapa menit mondar mandir di depan lemari, akhirnya Sherin mengambil satu dres selutut berlengan pendek dengan model rok mengembang berwarna biru dongker. Sangat cocok dengan kulitnya yang putih mulus, membuat penampilan Sherin terlihat anggun.
"Apa benar ini aku? Kenapa aku terlihat cantik seperti ini? Atau jangan jangan kaca ini seperti kamera efek yang bisa menyulap si buruk rupa menjadi cantik seperti ini?" ujarnya menatap kaca besar sambil menghadap kanan dan kiri.
Sherin membuka pintu kamar dan melangkahkan kakinya perlahan menuju bangunan mewah itu. Tak henti hentinya Sherin berdecak kagum melihat design interior yang benar benar mewah.
'Apa ini benar benar rumah? Berapa banyak pelayan di rumah ini? Wah... jika aku jadi pelayan di rumah ini pasti gajinya akan besar. Haruskah aku memelas pada tua bangka itu?' batin Sherin bersitegang dengan pemikirannya sendiri.
Ia terus melangkahkan kakinya hingga tiba di taman belakang. Lagi lagi matanya terpukau melihat keindahan taman belakang yang begitu menyejukkan mata.
"Haaaaah... Segarnya udara disini. Sudah lama sekali aku tidak menghirup udara seperti ini." Sherin merentangkan kedua tangannya sembari menghirup udara sebanyak banyaknya.
"Selamat sore, Nona." Salah satu pelayan di rumah itu menyapa Sherin dari arah belakang.
"Astaga, kaget aku. Iya, sore juga." Sherin melemparkan senyum ramah walau masih terkejut.
'Kenapa semua orang di rumah ini suka sekali mengagetkan sih, seperti hantu saja,' guman Sherin.
"Maaf, Nona. Nona telah di tunggu Nyonya besar di ruang keluarga. Mari saya antar." Pelayan itu menundukkan kepalanya seraya merentangkan sebelah tangan pertanda mempersilahkan.
Walau ragu, Sherin tetap mengikuti langkah pelayan tersebut menuju ruang keluarga tempat dimana Lina berada.
Cukup jauh Sherin melangkah melewati beberapa bagian rumah mewah itu hingga kakinya terasa sedikit pegal.
"Silahkan Nona, saya permisi." Pelayan itu mundur dan pergi meninggalkan Sherin dan Lina yang telah menunggunya.
"Eh, ayo duduk sini Sherin." Lina menepuk nepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya memberi isyarat agar Sherin duduk di sana.
Sherin hanya mengangguk dan melempar senyum terpaksa.
"Aa..ada apa Nyonya memanggil saya?" Wajah Sherin tertunduk sambil memilin milin kedua jarinya akibat rasa gugup.
"Ah tidak, aku hanya ingin mengajak mu bercerita saja." Lina menatap Sherin dengan senyuman ramah, wanita yang masih terlihat muda itu memperlakukan Sherin begitu lembut, bahkan Sherin tak habis fikir dengan tua bangka itu bisa bisanya ia ingin berpoligami padahal Lina adalah wanita yang hampir sempurna, bahkan Sherin pun tak tahu kenapa tua bangka itu mau menikahi dirinya yang hanya seorang gadis yatim piatu miskin yang bekerja sebagai pegawai club.
Sherin dan Lina bercerita hingga pukul telah menunjukkan setengah enam sore.
"Kalau begitu kau bersiap siap lah untuk makan malam nanti. Jangan lupa kenakan gaun yang telah ku persiapkan untuk mu." Lina mengelus lembut pundak Sherin kemudian berjalan meninggalkan Sherin tanpa memberi nya kesempatan untuk bertanya.
Sherin pun kembali ke kamarnya untuk bersiap siap di bantu oleh pelayan pribadinya, Rika.
*****
Malam harinya, Sherin tampak terdiam di depan meja rias dalam kamarnya dengan rasa gugup yang teramat besar hingga membuat kakinya terasa terbenam di hambal tebal kamarnya.
"Anda terlihat cantik sekali, Nona." Rika sangat terpukau melihat penampilan sang Nona dari dalam kaca.
"Kau bercanda Rika, aku sungguh tak nyaman dengan gaun ini, apa bisa kau pilihkan yang lain saja?" Sherin meremas samping gaunnya.
"Jangan Nona, gaun ini pilihan Nyonya. Jika anda menggantinya maka Nyonya akan kecewa nanti." Rika menjelaskan.
"Baik lah kalau begitu." Sherin pasrah, ia pun tak ingin menyakiti hati wanita baik itu.
"Mari nona, tuan dan nyonya telah menunggu anda di bawah." Rika mengingatkan Sherin.
Dengan perasaan gugup dan tak nyaman, Sherin keluar dari kamar menemui Heri dan Lina yang telah siap untuk pergi makan malam bersama.