Sherin hanya bisa menitikkan air mata sepanjang perjalanan menuju salah satu galeri milik desainer ternama yang ada di Ibukota.
"Harusnya kau senang akan menikah dengan pria kaya sepertiku. Bukankah trikmu akan berjalan mulus?" Ucap Adrian angkuh.
Manik coklat bening milik Sherin terlihat begitu sendu sembari menatap jalanan dari balik kaca jendela mobil. Ia tak menjawab pertanyaan Adrian, percuma saja. Mau di jawab bagaimana pun pandangan Adrian terhadapnya tak akan pernah berubah.
"Ini, baca." Adrian melempar sebuah kertas yang di ambilnya dari dalam saku kemejanya tepat di atas paha Sherin.
Sherin mengerutkan dahinya. Ia menyeka air mata yang masih menetes dari pelupuk indah nya dan mengambil selembar kertas yang di penuhi tulisan.
Mata Sherin bergerak ke kiri kanan membaca kata demi kata yang tertulis jelas di dalam kertas itu. Kata kata yang berawalan dengan tulisan 'Perjanjian sebelum menikah.'
"Kau? Apa maksud ini semua?" Tanyanya melirik Adrian saat matanya dengan jelas mengakhiri kalimat terakhir yang bertuliskan nama lengkapnya dan di tempel dengan materai di atasnya.
Adrian tersenyum sarkas tanpa melirik Sherin. Matanya terus terfokus pada setir mobil, jari jari tangannya mengetuk ngetuk setir mobil yang berada di bawah kendalinya.
"Aku sudah bilang padamu, bahwa aku menawarkan sesuatu padamu. Itu jelas menguntungkan untukmu." Ucap Adrian enteng.
"Tapi pernikahan bukanlah permainan. Jika kau tak menginginkannya lebih baik kau beritahu tuan Heri dan nyonya Lina untuk membatalkan ini sebelum terlambat." Sherin tak ingin mengingkari janji suci pernikahan. Baginya lebih baik tak menikah sama sekali daripada mempermainkan pernikahan.
"Silahkan kau coba. Kau fikir aku mau menikah dengan perempuan sepertimu, yang belum ku kenal sama sekali." Sambung Adrian dengan wajah yang kesal.
Sherin terdiam, matanya terus menyoroti barisan kalimat yang tertera jelas di dalam kertas perjanjian itu. Hal yang begitu sakit untuknya saat membaca baris pertama perjanjian itu yang mengatakan 'keduanya tidak boleh saling mencampuri urusan pribadi masing masing termasuk jika diantara keduanya membawa pasangan ke dalam rumah.'
Sungguh hati Sherin sebagai seorang perempuan merasa tercabik cabik, bagaimana bisa pria yang berstatus suami akan membawa perempuan lain ke dalam rumah tempat mereka tinggal. Benar benar tidak masuk akal, sekalipun itu pernikahan yang di paksakan.
"Aku bisa menerima semua perjanjian ini kecuali point pertama." Sherin mengajukan keberatannya.
"Suka tidak suka itu urusanmu. Aku juga tidak akan melarangmu untuk pergi dari rumah jika kau tak menyukainya." Begitu santai Adrian menjawab hingga membuat batin Sherin terasa sakit. "Oh iya, aku juga tidak akan melarangmu untuk bertemu dengan kekasihmu itu, kau boleh sesuka hatimu untuk bertemunya kapanpun kau mau, setelah tahun ke tiga pernikahan kau boleh menikah dengannya." Sambungnya.
Deg... Deg... Deg...
Kali ini sungguh hati Sherin merasa begitu terluka, pria yang sebentar lagi akan berganti status menjadi suaminya itu tega mengatakan hal yang benar benar melukainya.
'Kau anggap aku perempuan apa? Walaupun aku telah di jual oleh pamanku, bukan berarti aku tak mempunyai harga diri.' Batinnya mendengus kesal.
"Baiklah, jika itu maumu." Ucap Sherin singkat, lalu mengambil pulpen dari saku kemeja yang di kenakan Adrian.
Tanpa pikir panjang, Sherin menandatangani surat perjanjian yang di buat secara sepihak oleh Adrian dan melipatnya lalu hendak memasukkannya kembali ke dalam saku kemeja Adrian. Bersamaan dengan wajah Adrian mengikuti pergerakan tubuh Sherin yang mendekat untuk mencapai memasukkan kertas tersebut kedalam saku kemejanya.
Tiba tiba mobil yang di kendarai Adrian kehilangan fokus dan mengerem secara tiba tiba hingga membuat bibir keduanya menempel sempurna.
Baik Sherin maupun Adrian saling beradu tatap dengan bibir yang masih bertautan hingga beberapa detik kemudian Sherin menarik tubuhnya untuk kembali ke posisi awal duduknya.
Keduanya terlihat salah tingkah, terutama Adrian yang menjadi seperti orang linglung.
"Eehh... Kenapa mm...mundur?" Ucap Sherin saat menyadari mobil yang di kemudikan Adrian berjalan mundur.
Adrian berusaha menetralkan detak jantungnya sebelum kembali melaju dengan kecepatan normal.
'Kenapa aku ini? Tenang Adrian, tenang. Itu hanya kecelakaan.' Batin Adrian menyadari ada yang aneh pada dirinya.
Setelah kejadian itu keduanya tak banyak mengeluarkan suara hingga tiba di sebuah galery milik desainer ternama yang ada di ibu kota.
Keduanya turun dari dalam mobil memasuki bangunan besar tiga lantai yang di dalamnya telah di tunggu oleh Lina serta beberapa orang lainnya.
"Ma..." Sapa Adrian begitu berada di hadapan Lina yang sedang duduk di ruangan vip dengan sembari memainkan tablet pc miliknya.
"Sherin, kau tidak apa apa kan?" Lina justru mendekati Sherin dan memeriksa seluruh tubuh Sherin tanpa memperdulikan Adrian.
Adrian memutar mata malas, lalu menjatuhkan bokongnya di atas sofa yang ada di sampingnya.
'Siapa sih yang sebenarnya anak mama? Kenapa semenjak bertemu Sherin mereka begitu memperdulikannya. Bahkan aku sendiri yang anak kandungnya di acuhkan seperti ini.' Adrian membatin dengan mata kepala yang menyaksikan kecemasan sang mama pada Sherin.
Sherin menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tulus. "Tidak Nyo, eh ma... Aku baik baik saja." Sahutnya lembut.
Perempuan paruh baya itu terlihat menghela nafas lega saat memastikan Sherin baik baik saja.
"Kenapa kau begitu lama di rumah pamanmu? Bahkan pak Joko bilang kau sendirian masuk ke dalamnya." Tanya Lina kembali dengan wajah serius.
"Aku ha-"
"Kalau sudah bertemu kekasih mana mungkin bisa sebentar ma." Adrian memotong perkataan Sherin dengan santainya.
Sherin melirik Adrian dengan tatapan sinis. 'Memangnya kenapa kalau aku bertemu Kevin dengan waktu yang lama? Bukan urusanmu. Kau sendiri yang mengatakan jika kau tidak akan melarangku untuk bertemu Kevin. Apa kau cemburu? Hahaha...' Sherin membatin, kali ini ia mengukir senyum licik menatap Adrian hingga membuat Adrian membulatkan matanya sempurna.
Diam diam Lina melirik keduanya, di pandangnya Sherin dan Adrian secara bergantian seperti sedang membaca arti dari ekspresi wajah yang keduanya tunjukkan.
"Apa benar, Sherin?" Tanya Lina tiba tiba.
Sherin tak ingin berbohong, walau bagaimanapun Lina harus mengetahui kenyataannya sebelum akhirnya ia mengetahui sendiri dari mulut orang lain dan bisa saja hal itu justru menjadi bencana untuk Sherin.
"Benar ma..." Menganggukkan kepalanya pelan sambil tertunduk.
Tangan lembut Lina meraup dagu Sherin hingga kepala Sherin kembali terangkat berhadapan dengan Lina. "Lihatlah, gadis cantik ini ternyata telah mempunyai kekasih." Ucapnya tersenyum meledek. "Siapa pun pria yang melihatnya pasti akan jatuh hati melihat kebaikan sikapnya." Puji Lina tanpa berdusta.
Alih alih marah dan menghukum Sherin, Lina justru bangga mendengar kenyataan bahwa Sherin telah mempunyai kekasih.
Adrian menghela nafas kasar menatap sang mama dengan ekspresi jengkel setengah mati. Niat hati ingin mengompori sang mama agar terpancing dan marah pada Sherin, yang terjadi justru sebaliknya.
Sherin tak bisa berkata apa apa, bibirnya hanya bisa tersenyum tipis, nyaris tak terlihat.
"Eh... Sherin. Ini..." Saat mata Lina terfokus pada jari manis Sherin yang di lingkari oleh cincin indah.