Percikan dari air yang tertuang dari ujung botol wine di restoran ternama Jakarta terus David perhatikan. Sambil memutar jari telunjuk di sisi gelas, mata David tidak beranjak dari arah lorong menuju kamar mandi. Ya, sekitar dua menit lalu Zhachza memberi alasan ingin membenarkan make up.
David sedikit termenung sambil memikirkan ucapan tiga hari lalu saat pesta pernikahan yang sebenarnya tidak pernah disengaja agar David tahu darimana kelincahan Zhachza berasal. Tapi sepertinya memang David harus segera memperbaiki semuanya. David sedikit memutar-mutar kancing di pergelangan tangan pada setelan jas hitamnya. David segera menuju kamar mandi wanita, ia tidak peduli karena David tahu jika Zhachza masih terluka dengan kata-katanya.
Beberapa langkah lebih dekat dari lorong menuju kamar mandi David telah terganggu dengan nada ponsel yang sudah menjengkelkan. Baru saja David akan menghubungi putranya, namun nyatanya David tidak perlu banyak energi mencari nomor telepon Richard.
“Hei k*****t! Ke mana saja kau?” sapa David untuk putra semata wayangnya.
“Bersenang-senang Dad,” dari arah seberang terdengar dentuman musik dan teriakan keras. “Kau ingin ikut hah? Masih ada satu tempat untuk menampung Daddy di sini.”
Sial! Kepala David mulai berdenyut jika menangani ocehan Richard. “Pulang sekarang!”
“Pulang? Oh...,” Richard terkekeh. “Besok Daddy panggil Intan! Katakan padanya jika aku mulai alergi dengan kata 'pulang'!”
David mengepalkan tangan. Matanya terpejam dan tulang rahang berbulu nya semakin tegas. Bahkan David harus terima jika Richard selalu menghina psikolog yang David tugaskan tanpa sepengetahuan Richard.
“Ada apa Dad? Oh ya, aku dengar malam ini di rumahmu sedang ada pesta?”
“Ya! Jadi pulanglah! Jika tidak, aku bakal mengebiri mu!” ancam David terus meneliti lorong menuju kamar mandi.
“Oh ayolah Dad, kita hidup untuk bersenang-senang dan s*x. Jangan kira aku ini hewan yang bisa dipotong sembarangan,” jelas terdengar Richard meneguk sesuatu. “Ini aset yang bisa membuat aku di surga.”
“Jangan banyak bicara bocah! Pulang sekarang, aku tunggu di rumah!”
Meski mengeluh itu sangat percuma. David sudah terlalu dungu menghadapi Richard, dan semakin dikekang justru putra kesayangannya itu akan membuat banyak ulah dan tragedi. Perlu diketahui jika David telah mengeluarkan banyak biaya agar Richard segera usai dengan segala dunianya. Meski tidak terdengar lagi jika Richard melakukan hubungan sejenis, tetap David tidak bisa percaya dengan keadaan. Tugas psikologi bernama Intan Subroto tampaknya tidak menghasilkan apa-apa, kini David berupaya untuk Zhachza bisa menggantikan posisi Intan. Tapi tunggu! David tidak yakin jika Zhachza akan menerima dan menganggap jika pernikahan ini hanya alat.
Setelah puas bergelut dengan semua angan, David kembali berjalan menuju tempat di mana Zhachza berada. Tapi belum terlalu dalam David memasuki lorong, Zhachza sudah berlari kecil kemudian melambai.
Bukan hanya perasaan David yang tengah dirundung sulitnya mencari sesuatu yang benar. Zhachza berpikir bahwa ia tidak akan memberi kepercayaan untuk siapapun, bagaimana ia berada dan hidup dengan pernikahan yang mungkin hanya berumur singkat.
“Hai Papa,” tangan Zhachza langsung melingkar di lengan David. “Maaf aku membuatmu lama menunggu.”
Entah apa yang selalu membuat David mengagumi wanita yang satu ini. “Aku baru saja akan mengecek kamar mandi, aku takut kau kehabisan napas karena pertarungan kita.”
“Hm... Aku cukup kuat meski seharian.” sungguh! Zhachza merasa ucapannya tidak menghibur diri.
David mengangguk lalu merampas pinggang Zhachza. “Kau harus berdansa denganku!”
“Jika aku menolak, apa kau akan memperkosaku?” tanya Zhachza membetulkan dasi kupu-kupu David.
Sial! Selain David mulai gila, ucapan Zhachza mengurangi penat. “Tidak! Cukup dua hari kau bisa membuat aku keluar dengan setimpal.”
“Dasar maniak.”caci Zhachza mengecup bibir David sekilas.
“Aku yakin wanita menyukainya.”
Perbincangan mereka tetap berlanjut sampai langkah pelan mengikuti iringan musik. Keduanya saling berbagi kehangatan sentuhan dan gerakan tubuh mengimbangi alur nada, merebut keindahan malam ini dan David begitu terpana saat Zhachza bergerak gemulai di dekapannya.
“Maafkan aku!” ucap David membiarkan Zhachza mendongak kemudian David mengecup leher jenjang Zhachza.
“Untuk apa?” tanya Zhachza membelai rahang berbulu David.
Tangan kokoh David merangkap sebagai pertahanan Zhachza saat menggerakkan tubuh mengikat tarian mereka. “Semuanya! Termasuk aku telah merebut kebebasanmu.”
Zhachza termenung. Tidak ada keberanian untuk menjawab karena Zhachza tidak mengerti arti sebuah ikatan ini, satu harapan Zhachza karena memang ia menginginkan sebuah pernikahan. Terutama takdir sudah mewakili jawaban dalam hati dan Zhachza telah mendapatkan suami sebaik David.
“Mulutku tidak bersungguh-sungguh mengatakan hal itu, dan memang tidak seharusnya aku…,”
Lengang. Musik terhenti sejenak untuk merubah intro dalam sebuah lagu, ucapan David ikut sirna tertelan lampu sorot yang membuat dirinya redup. Satu ucapan saja entah David merasa berat karena Zhachza menembak tatapan ke arah lain.
Saat berusaha menghindar tentunya David tidak membuat sah. David segera meraih sisi wajah Zhachza, belaian kasih David melintasi bibir dan hidung mancung Zhachza.
“Apa kau akan marah jika aku berbohong?”bibir merona terlapisi warna merah tua terus David amati.
“Sebenarnya orang yang berbohong termasuk seseorang yang merugikan. Aku juga tidak akan mengerti apakah aku akan merasa bahagia jika nasibku kurang beruntung akan kebohongan,” terpasang senyuman di bibir Zhachza. “Kau juga tidak akan mencari untung saja bukan?”
“Ya, tapi ini terdengar lebih menyakitkan Hase. Dosaku yang tempo hari saja belum terbayar.” bisik David terpejam mengasah aroma tubuh Zhachza di setiap napasnya.
Zhachza menggeleng. Bukan hak, pikirnya. “Tidak perlu mengatakannya jika kau tidak bisa percaya, jangan terlalu memaksa diri sayang!”
David meraup udara kasar. Melepasnya dengan embusan pelan. “Aku ingin kau menjadi Ibu untuk anakku.”
“Ibu? Bukankah aku sudah menjadi ibunya sekarang? Lalu kenapa kau harus berkata seperti itu?” Zhachza tidak mengerti. "Oh ya, aku belum bertemu dengan anakmu."
“Bukan sayang,” David menggeleng ragu. “Putraku ini anak paling badung, aku saja tidak cukup akal dan tenaga agar dia bisa tetap berada di rumah. Pergi ketika belajar ke kampus saja.”
“Tetap di rumah? Pergi saat ke kampus saja? Papa pikir dia hewan peliharaan yang disekolahkan?” tanya sekaligus Zhachza protes dengan ucapan David.
David membuang muka. “Oh ayolah sayang! Kau... Tidak tahu bagaimana Richard.”
Area alis Zhachza mengkerut. “R--Richard?”
"Ya, putraku satu-satunya bernama Richard. Kau bisa memanggilnya ‘b*****t’, ‘sialan’, ah apapun itu terserah!” jawab David dengan nada kesal.
Zhachza menahan tawa. “Kau terlalu akrab dengan jagoan mu itu?”
Bukan masalah tidak atau memang David sama sekali tidak dekat. Tapi semenjak kematian istrinya Richard semakin menjauh dari David, entah ke mana David telah kehilangan sosok Richard yang dulu.
“Papa?” Zhachza membelai lengan dan menyandarkan kepalanya di d**a David.
“Aku tahu bagaimana rasanya tidak memiliki keluarga. Rindu, sakit, merasa sendiri. Itu yang aku rasakan,” Zhachza mendongak untuk memastikan jika David masih mendengar ucapannya. “Jangan bernasib sama denganku, aku akan membantumu masalah Richard."
“Benarkah?” tanya David tumbuh semangat baru.
Zhachza mengangguk. Lebih-lebih Zhachza ingin memulai kehidupan baru bersama keluarga Divano, bersama suami dan anak tirinya.
[...]
Kabar dua hari lalu jika Richard akan kembali ternyata bualan yang biasa Richard layangkan untuk David. Putra tunggalnya yang dulu sangat membanggakan David sudah berubah menjadi momok menakutkan bagi David, bagaimana tidak? Pernah David memergoki sebuah pesta kecil di rumahnya di Jerman saat ia kembali dari tugas pekerjaan. David menemukan tiga tubuh saling bergumul dalam kamar, mereka menikmati pesta seks sesama jenis. Dengan posisi Richard berada di tengah di antara dua orang pria. Ah, sialan. Mimpi buruk itu selalu terulang dalam tidur setiap malam.
Seperti saat tengah malam seperti ini, David gelisah dengan keringat dingin membanjiri wajah sampai bergulir mengenai alas tidur. Sudah satu Minggu semenjak menjadi Nyonya Divano, Zhachza tidak pernah menemukan wujud pengakuan David tentang mimpi setiap malam. Zhachza hanya bisa membantu David agar bangun.
“Papa, bangun! Kau baik-baik saja ‘kan?” bisik Zhachza karena masih menghormati David sebagai orang yang lebih tua darinya.
Tidak ada hasilnya. Zhachza memutuskan untuk bangun dan duduk sambil meraih kepala David ke pangkuan. “Papa, bangun sayang! Katakan ada apa?”
Tangan Zhachza berupaya mengguncang tubuh David. “Papa!”
Usaha mengeraskan suara berhasil membuat David terperanjat sekaligus bangkit dari ranjang. David seperti orang linglung dengan memandangi seisi ruangan kamarnya, David juga bingung saat Zhachza terkekeh.
“Um... Maafkan aku,” tangan Zhachza menggapai lengan kemudian menarik David kembali ke ranjang. “Sudah mengagetkan Papa, aku bingung harus bagaimana lagi setiap kau mimpi buruk lagi.”
“A--ku mimpi buruk?” tanya David belum cukup paham dengan keadaan malam ini saat bangun dari tidur.
“Iya, mimpi buruk seperti tujuh hari terakhir semenjak aku berada di sini.” jawab Zhachza menopang kedua tangan kemudian dagunya bersandar di bahu David.
Napas pria bertato di hampir seluruh tubuhnya itu masih memburu kebenaran tentang apa yang selalu ia mimpikan tentang Richard. Tapi setidaknya David telah memiliki ketenangan sendiri karena jamari halus Zhachza selalu memberi belaian di wajahnya. Sekedar mengikis keringat David, serta kelembutan Zhachza terhadapnya.
“Maaf, aku mengganggu jam tidurmu hm?” David merampas tangan kemudian mengecup kening Zhachza.
“Kau lupa aku ini pekerja malam hm?”
David tertawa lirih. “Oh astaga aku lupa. Tapi bukan untuk sekarang sayang, kau istriku bukan penari erotis yang menghibur mereka lagi.”
Zhachza mengiyakan. Lalu tangannya membenamkan tubuh David dan melindunginya dengan selimut tebal.
“Kau seperti sedang merawat kakek tua yang penyakitan.” seru David merasa Zhachza berlebihan.
“Sssh... Diam dan tidurlah kakekku yang tampan dan seksi.” cela Zhachza sedikit menggelikan telinganya sendiri.
Seperti lagu penghantar tidur saat Zhachza mulai berbicara tidak karuan di telinga David. Apa yang Zhachza lakukan memang sudah menyita waktu David selama satu Minggu ini. Namun entah pikiran David terlalu mementingkan Richard, dan niat David ingin mempertemukan Richard dan Zhachza. Lalu mengemukakan maksud David agar Zhachza merubah sosok Richard sepertinya akan menemukan kendala besar. Ya, David tidak berdaya menyakiti perasaan Zhachza hanya dengan alasan jika Zhachza mampu menyadarkan Richard dengan kenakalan. s**t! Pikiran macam apa itu?
Lain dengan David yang mencoba terpejam lagi. Zhachza justru meraih ponselnya sekedar ingin mengirim pesan untuk Hans, semua yang ada di kepala termasuk pertanyaan apakah Hans sudah meminum vitamin tidak tertinggal di semua daftar yang Zhachza dapatkan dari dokter.
Menit berlomba menuju malam yang semakin menggelap. Zhachza memilih keluar dari kamar dan mulai menuju ruangan megah tempat santai. Zhachza mulai menyalakan ujung pada batang rokok, lalu menyesap apa yang terkandung di dalam tembakau. Satu kepulan asap dari bibir terus Zhachza amati hingga wujud gas itu memudar.
Pelan Zhachza berjalan sambil jari-jarinya merayap di sisi meja bilyard. Kakinya membawa Zhachza menarik kursi bar pribadi kemudian sendirian Zhachza berada di dalam dengan mengetuk-ngetuk meja kaca bartender. Ia menengadah seolah beban dalam pikiran terbuang jauh-jauh. Tapi karena melamun bukan pekerjaan menguntungkan bagi Zhachza, ia memilih mencari kesibukan dengan mencari nomor Cath untuk sekedar membuang waktu malam ini. Dan tidak lama Cath menerima panggilan tetapi bukan jawaban yang Zhachza harapkan dari Cath melainkan samar suara Julian terdengar.
“Kamu pikir cuti itu gampang? Eh, aku bayar kamu mahal loh! Buat gantiin siapa?” terdengar Cath hanya sesenggukan. “Buat gantiin Zhachza tau! Mau kamu hamil atau nggak itu bukan urusan aku! Bisa cuti asal kamu nemuin penari lagi yang nggak kalah hebat kayak Zhachza.”
Deg! Zhachza mengakhiri panggilan. Kembali Zhachza menghirup aroma khas rokok kemudian menundukkan kepala hingga keningnya menyentuh meja. Pening. Satu masalah biaya untuk Hans telah terselesaikan, kini timbul perkara baru yang Zhachza tidak tahu bagaimana menyelesaikannya.