⁽⁽ଘ( ˊᵕˋ )ଓ⁾⁾
Yeaay, karena udah 130 love, jadi sesuai janji nih, part lanjutannya.
Selamat Membaca.
❤️
Malam-malam kusir kereta Keluarga Bournemouth masuk ke dalam kastel, membawakan koper milik istri baru tuannya. Tidak terlihat seorang pelayan pun, sehingga pria itu harus melakukan sendiri pekerjaan itu.
Tuannya, Viscount Bournemouth sedang berdiri sempoyongan di tengah ruangan berkoar menceritakan pengalamannya bertualang ke pulau-pulau eksotik sambil mengangkat sebuah gelas piala hasil perburuan harta karunnya. Pria bertubuh kekar itu bertelanjang da.da, menampilkan pahatan-pahatan ototnya yang kokoh. Teman-temannya, para pria dan wanita modis, duduk di sofa dan di lantai mendengarkan dengan terkagum-kagum meskipun keadaan mereka sama seperti tuan rumah, setengah mabuk.
Suara lantang Andreas menggema dalam ruangan besar, tetapi berantakan itu. "Jika kalian tiba di Pulau Karibia kalian akan disajikan daging manusia yang berasal dari keluarga mereka sendiri. Kalian jangan terkejut jika menu makan malam nanti adalah anak yang dilahirkan sepupu kalian dan ...."
"Tuan, di mana saya harus meletakkan koper ini?" sela John, si kusir, menginterupsi cerita Andreas.
Dengan nanar dan terhuyung, Andreas memutar tubuhnya menghadap John. "Apa?" tanyanya.
"Koper Nyonya, Tuan. Istri baru Anda." John mengingatkan.
Perlu waktu sesaat bagi Andreas mencerna ucapan John, setelahnya ia baru ingat kalau siang tadi ia telah menikahi seseorang. Oh, iya, ia harus mengecek kondisi gadis itu. Kalau masih saja menangis, ia akan mengambilkan baskom. Biar gadis itu tenggelam dalam air matanya.
"Letakkan saja di situ. Aku yang akan mengantarnya," kata Andreas. John pun mematuhinya, lalu meninggalkan ruang pesta untuk ke istal mengurus kuda.
Andreas berjalan ke arah koper kecil milik Sylvia.
"Andreas, ayolah, selesaikan dulu ceritamu," rengek seorang wanita yang segera diikuti teman-temannya.
"Ah, nanti, nanti!" sahut Andreas membelakangi sambil mengibas pada mereka. Langkahnya terhuyung-huyung.
Eva yang melihat Andreas dari sudut ruangan bergegas mendekati koper itu. "Biar aku membantumu, Andreas," kata Eva sambil menarik koper, tetapi tangannya segera ditepis Andreas. "Tidak, biar aku saja," katanya. Andreas menggenggam gagang koper dan menentengnya lalu berjalan cukup lugas untuk pria yang sedang dalam pengaruh minuman keras.
Eva mendengkus panjang dan mengiringi Andreas dengan ragu-ragu, membuatnya menjaga jarak beberapa meter di belakang Andreas.
Mereka menuju lantai dua, lalu menyusuri selasar sayap rumah sebelah timur yang merupakan lokasi kamar tidur anggota keluarga pada zaman dahulunya, ketika rumah itu masih berupa hunian keluarga yang sederhana dan harmonis.
Namun semua itu berubah semenjak Andreas lahir. Ayahnya, Viscount Bournemouth terdahulu, menikahi seorang wanita mu.ra.han yang hamil dari hubungan perselingkuhan mereka. Kejadian itu menyebabkan Viscountess terdahulu minta cerai dan membawa serta 2 anak hasil pernikahan mereka. Perceraian itu menimbulkan tekanan batin bagi Viscount Bournemouth sehingga membawanya ke penghabisan umur.
Andreas berusia 8 tahun ketika ayahnya wafat. Harta warisan dibagi dan ibu Andreas mendapatkan Kastel Bournemouth. Setelah itu mereka bertahan hidup dengan harta yang ada. Menjual beragam perabot, perhiasan, baju pesta milik ibunya, sampai hewan ternak dan kuda mereka pun terjual.
Ibunya menjadi pecandu alkohol kronis yang menggerogoti kesehatannya dan infeksi paru-paru membuat ibunya tidak bertahan lama. Kemiskinan mereka membuat ibunya terlambat mendapat perawatan. Di usia 11 tahun Andreas kehilangan ibunya. Semua itu terjadi tepat di saat Andreas memperoleh kepingan emas pertamanya setelah melaut.
Hal itu menimbulkan penyesalan dan kehilangan mendalam di diri Andreas. Sebagai laki-laki, seharusnya ia bisa menyelamatkan ibunya. Kenapa ibunya tidak menunggu? Kenapa ibunya mesti menyerah? Andreas berusaha melupakan itu semua, melupakan kegagalannya dengan minum-minum walaupun itu tidak akan bertahan lama. Ia akan selalu teringat kembali dan melaut adalah cara terbaik untuk melupakan kesedihan. Berada di daratan hanya akan membuka luka lama dalam hatinya.
Andreas tiba di depan kamar yang merupakan kamar mendiang ibunya. Satu-satunya kamar yang masih layak ditempati dan sekarang kamar itu dipergunakan istrinya.
Istri. Entah ide dari mana tiba-tiba ia ingin memiliki istri. Gadis baik-baik pula. Gadis baik-baik adalah masalah bagi pria berandalan seperti dirinya. Sedapat mungkin gadis itu harus tahu batasan agar tidak merecoki kehidupannya.
Andreas menekan tuas pintu dan mendorong, akan tetapi ia malah menubruk pintu kamar tersebut, membuatnya keheranan. Pintu itu terkunci. Andreas mengetuk pintu dengan tangannya yang besar sehingga menjadi menggedor. "Sylvia, buka pintunya!" panggilnya, tetapi tidak ada sahutan. "Sylvia!"
"Biar kubukakan pintunya," sela Eva yang tiba-tiba menyelipkan tubuh di depan pintu lalu memasukkan anak kunci ke lubangnya.
Andreas menautkan kening, menyelidik Eva dengan sorot tajam. "Kau menguncinya di dalam? Kenapa kau melakukan ini, Eva?"
"Eh, hmm, gadis itu gadis liar, kau tahu, dia bisa kabur kapan saja jika kita lengah," tukas Eva.
"Sudah ada Dante yang mengawasinya," gerutu Andreas sambil mendelik ke langit-langit.
"Oh, benarkah? Aku tidak tahu," kilah Eva. "Kau tahu, Andreas, wanita lugu bisa sangat lihai menipu. Tidak ada salahnya memperketat pengawasan pada gadis itu."
Andreas mengabaikan ucapan Eva karena pintu terbuka. Andreas berusaha menajamkan pandangannya yang nanar karena kamar itu gelap gulita. Jendela terbuka lebar dan kamar masih berantakan bekas usaha Sylvia kabur. Berarti tidak ada pelayan yang merapikan kamar itu, membuat Andreas meradang.
Dalam cahaya minim, Andreas melihat siluet tubuh berkulit mulus tertelungkup di tempat tidur. Andreas memasuki kamar, menjatuhkan koper di lantai dan bergegas ke tempat tidur. Sebelah lutut naik ke ranjang dan Andreas mengguncang tubuh mungil dalam balutan pakaian dalam putih dan berselimut sprei kotor. "Sylvia! Sylvia, bangun!" gertaknya.
Gadis itu mengerang lemah setengah sadar. "Kumohon, aku terlalu lelah. Jangan ganggu aku."
Karena kegelapan dalam kamar itu membuat Andreas tidak bisa melihat jelas kondisi Sylvia. Gadis itu seolah tidur sangat nyenyak. Jika pun gajah melompat di ranjangnya, dia tidak akan terbangun.
"Sylvia! Bangun! Apa kau mabuk atau teler karena sesuatu?"
"Bournemouth bodoh," rutuk gadis itu dari alam bawah sadar, "dasar beruang tidak berotak, lembu Viking!"
Mendengar sebutan itu, Andreas menjatuhkan tubuh istrinya kembali ke ranjang. "Hu hu huuuuu ...." Gadis itu menangis tersedu.
Andreas menarik pundak gadis itu lagi agar duduk dan mengguncang tubuhnya. "Sylvia! Aaaauuuuch!" Andreas terpekik keras karena Sylvia menggigit lengannya. Ia mendorong kepala gadis itu agar melepas cengkeraman giginya. "Aaauu, dasar karnivora betina!" makinya.
Gadis itu menangis lagi dengan mata terpejam. "Hu hu huuu, sapi panggang, jangan pergi, sapi panggang, aku ingin memakanmu ...."
Menyadari gadis itu kerasukan, kesadaran Andreas pulih 80%. Ia bergegas turun dari ranjang dan melangkah ke luar kamar sambil berteriak memanggil pelayanya. "Latanza! Timothy! Consuella!" Ada tiga kali ia mengulang panggilan itu, ketiga orang itu muncul tergopoh-gopoh.
"Ya, Tuan Andreas, ada apa?" tanya mereka.
"Urus nyonya baru kalian. Aku tidak tahu apa lagi yang terjadi pada gadis itu."
Ketiga pelayan itu masuk ke kamar. Timothy yang sudah tua renta membawa lentera dan menyalakan lampu di kamar itu, sedangkan Latanza dan Consuella yang merupakan perempuan paruh baya mendatangi si nyonya baru. Mereka cukup terkejut melihat kondisi gadis itu.
Bibir Sylvia kering dan memucat. Wajahnya juga pucat pasi, belum lagi tubuhnya yang nyaris tanpa busana penuh guratan lecet. Gadis itu tersandar di pundak Latanza. "Nyonya? Nyonya?" Wanita itu menepuk-nepuk pipi Sylvia yang tetap saja tersedu lemah, separuh kesal.
Latanza menoleh pada tuannya dan berkata iba. "Tuan, sepertinya Nyonya kehabisan tenaga karena kelaparan."
"Oh," sahut Andreas pendek. Ia pasti lupa menyuruh pelayan melayani gadis itu. Ketiga pelayannya menatap menunggu perintah. Andreas berdecak kesal. "Tunggu apa lagi? Cepat siapkan makanan untuk nyonya kalian!"
Consuella yang bergegas ke ke dapur untuk menyiapkan makanan, sedangkan Latanza berusaha menyadarkan nyonya mudanya. Sementara Timothy berjalan seperti kura-kura, menuju ke pintu.
"Eh, sekalian air panas, kain bersih dan obat luka untuk membersihkan luka Nyonya," imbuh Latanza pada Timothy. Pria tua itu melirik sekilas lalu melanjutkan langkahnya.
"Ah, sialan," gerutu Andreas, mondar-mandir di depan kamar sambil mengacak rambut gondrongnya. Ia belum terbiasa dengan kehadiran orang baru di rumahnya. Sepertinya ia harus membuat penataan khusus untuk istrinya itu. Gadis itu bukan hewan liar yang bisa cari makan sendiri. Bukan benda yang bisa ditaruh begitu saja atau disimpan dalam kamar. Jika terjadi sesuatu akan susah menyembunyikan jenazahnya. Lagi pula, gadis itu jaminan Alcaster melunasi hutang, meskipun sangat kecil kemungkinannya mereka akan membayar.
Eva diam saja di pojokan selasar sambil menggigit bibir memandangi Andreas. Ada rasa kesal menjadi-jadi melihat Andreas secemas itu pada istri yang bahkan hampir tidak dikenalnya, dinikahinya hanya karena ingin mengerjai George Alcaster.
Dante muncul di sebelah Eva dan menyikut wanita itu. "Senang melihat hasil keisenganmu, Eva?" ejeknya sambil menyengir.
Eva melotot pada Dante. "Tutup mulutmu!" desis Eva.
Consuella datang membawa baki berisi makanan berupa daging panggang bersama kentang tumbuk dan kacang polong. Teh panas dalam teko keramik serta beberapa keping biskuit. Dia meletakkan baki itu di atas meja samping ranjang lalu menuangkan teh. Latanza berusaha meminumkan teh itu pada nyonyanya.
Namun Sylvia mendorong tangannya sehingga teh itu tumpah. "Tidak, aku mau limun dan sapi panggang ... sapi panggang ...."
"Iya, Nyonya, nanti setelah Nyonya bangun. Sekarang minum dulu teh ini ...." Consuella mengisi lagi cangkir keramik di tangan Latanza. Latanza berusaha meminumi Sylvia, tetapi lagi-lagi gadis itu menolak. "Tidak mau," rengeknya.
Teh itu tumpah meresap ke sprei dan kasur. Andreas kesal sekali melihatnya. "Biar aku yang melakukannya!" gerutu Andres. Ia mengambil langkah lugas masuk ke dalam kamar, mengisi penuh cangkir teh lalu meminumnya sampai habis.
Namun ia tidak menelan teh itu, melainkan mengulumnya. Andreas berlutut naik ke ranjang, menarik Sylvia dari Latanza, memindah gadis itu ke dalam dekapannya. Dengan kekuatannya, Andreas memaksakan ciumannya ke bibir Sylvia, membuka rongga mulut gadis itu dan menumpahkan cairan dalam mulutnya, memaksa gadis itu menelan keseluruhan cairan itu.
Sylvia tersadar. Dia membuka mata nanar karena sudut matanya berair. Bibirnya yang kering sekarang lembap meranum. Wajahnya yang semula pucat pasi sekarang merona merah.
Awalnya Sylvia terpana. Dia merasa berada di alam mimpi, sedang dikejar beruang lalu berhadapan dengan lembu jantan yang mendengus keras dan tiba-tiba lembu itu berubah menjadi sapi panggang yang lezat. Setelah membuka mata dan tersadar penuh, rupanya dia berada dalam kungkungan lelaki yang baru dinikahinya dan apa yang diperbuat lelaki itu padanya menobatkan Andreas sebagai lelaki yang paling dibencinya sejagad raya.
Andreas sudah memaksanya menelan air panas yang membuat lidah dan tenggorokannya serasa terbakar. Rasa itu membuatnya mati rasa. Terutama pada pria bernama Andreas.
Sylvia meneriaki pria yang tengah mendekapnya.
"Andreas.
"Bradford.
"Bournemouth.
"Berengsek ...!"
❤️
(^∇^)ノ♪
Bersambung ....
(27/11/2020)
Follow Sisiliaarista dan tap ❤ story untuk baca offline.
Juga follow IG Sisilianovel untuk info update dan n****+ baru. kiss❤