Bagaimana caranya turun dari jendela kamar di lantai 2? Gampang! Sylvia mendengkus meremehkan. Untung cuma dua lantai, jadi dia tidak perlu memanjangkan rambutnya sebagai alat untuk melarikan diri.
Gadis itu bergegas mengumpulkan semua bahan kain seperti seprei, selimut dan tirai dalam kamar, mengikatnya menjadi sambungan yang cukup panjang. Sylvia mengikat ujung seprei pada kaki ranjang lalu mengulur ujung yang lain ke bawah jendela.
Tidak terlihat seorang pun di halaman itu. Sylvia cukup yakin, dia tidak akan tertangkap basah. Dengan sigap, Sylvia menaiki kusen jendela, lalu memanjat turun berpegangan pada untaian kain. Dia berdebar-debar merasakan hawa kebebasan.
Di pertengahan jalan, suara laki-laki menegurnya. “Wah, mempelai tebusan sekarang mau mengubah status menjadi mempelai buron!”
Sylvia menghunjam tatapan setajam belati tak kasatmata ke arah pria yang mengoloknya itu. Si mata satu yang berlagak misterius. Dante. Pria bersetelan hitam itu bersandar sambil bersedekap di tembok yang diselubungi tanaman rambat. “Aku tidak menduga gadis dari Alcaster bisa bertindak nekat. Kalian tidak terlalu pintar rupanya.”
Sikap mengintimidasinya membuat Sylvia sebal bukan main. “Apa Anda akan menghentikanku, Tuan Dante?” tuding Sylvia. Sebelah mata Dante memicing membalas tatapan gadis itu. “Buat apa aku repot-repot? Sudah ada yang siap melakukannya.”
“Ggrrrhh ...!” Terdengar geraman panjang ditambah gonggongan keras dari bawah, tepat di ujung untaian kain seprei. Sylvia terbelalak melihat 2 ekor anjing herder memonconginya dengan liur menetes di sela rahang. Gerigi mereka sangat tajam siap mencabik tubuhnya.
Ah, sial! Sylvia memejamkan mata merutuki nasib. Siapa yang menaruh anjing penjaga di bawah sana? Tangannya gemeteran, mulai pegal karena terlalu lama mencengkeram kain.
“Sekarang kau putuskan sendiri, apa kau naik ke atas atau tetap turun dan menjadi santapan Blacky dan Darky,” ancam Dante.
“Tidak mau!” bentak Sylvia. “Aku tidak mau keduanya!”
“Ya, sudah, kalau begitu diam saja di situ. Tanggung sendiri akibatnya. Kau tidak akan bertahan lama bergelantungan seperti itu.” Dante melangkah menjauhi tempat itu sambil terbahak. "Huahahahhaa ...." Tidak ada nyonya baru di Bournemouth, setidaknya Blacky dan Darky bisa berpesta pora.
Dua anjing herder menyalak semakin nyaring, bahkan melompat-lompat hendak memanjat juntaian kain. Suara mereka menarik perhatian seisi penghuni Kastel Bournemouth.
“Bisakah kalian berhenti?" Sylvia menyahuti anjing-anjing itu. Tampaknya dia tidak punya pilihan lain kecuali mengalah. Namun Sylvia mengalami kesulitan untuk memanjat kembali ke atas. “Duh, sialan,” gumamnya. Tangannya sudah sangat kelelahan. Sepertinya dia akan segera menjadi santapan anjing Bournemouth.
Saat Sylvia hampir putus asa, seorang pria berwajah tampan dan ramah, melongok di jendela. Pria itu punya fitur wajah yang cenderung membulat, rahang persegi dan tulang pipi yang terpahat, hidung mancung dengan dua lubang, mata biru berteduh di bawah alis tebal. Mata itu menatap Sylvia sambil mengerjap-ngerjap lesu.
Lengan kekar berotot terlihat dari gulungan tangan kemeja putih yang dikenakan pria itu, menjangkau kain yang dipegang Sylvia dan menariknya. Sejenak Sylvia merasa lega dia telah diselamatkan dan dia bisa berlindung pada pria berpipi chubby dan bertubuh besar penuh otot kekar, seperti boneka beruang besar yang hangat.
“Dasar wanita, kenapa mempersulit diri sendiri?” tuding laki-laki itu dengan gumaman menggerundel. Wajah Sylvia langsung berubah kecut. “Hei, hei, tunggu dulu. Aku beritahu, ya, ini bukan mauku!” bantah Sylvia. Laki-laki itu terdiam tiba-tiba dan matanya birunya berusaha fokus menatap gadis yang bergelantungan di bawah jendela.
“Hei, kenapa berhenti? Cepat angkat aku, aku sudah kelelahan di sini.” Sylvia mengeluh.
Lelaki itu bergeming, melihatnya dengan penuh kecurigaan. “Kau bukan Maria Catherina,” kata pria itu dan Sylvia tidak berkutik. Apes!
“Siapa kau?” bentak pria itu.
Sylvia segera mengangkat dagunya dan membalas pria itu. “Pria seharusnya memperkenalkan diri lebih dulu. Kau sendiri siapa?”
“Aku Andreas Bradford Bournemouth. Aku pemilik rumah ini.” Pria bertangan kekar itu lalu terkekeh sinis. “Lucu. Masih ada orang yang tidak mengenal aku rupanya.”
Sylvia terperangah. Pria berwajah chubby dan terlihat ramah itu ternyata Viscount Bournemouth. Rupanya pria itu sudah berdandan.
Wajah tanpa brewokan lebat, jauh lebih sedap di pandang mata. Rambut pirangnya tersisir rapi dan diikat kuncir kuda. Ia terlihat segar bugar dan kulit bersih berseri-seri karena sudah mandi dengan air panas. Tubuhnya berotot tebal dan tulang besar, tidak terpengaruh oleh suhu air. Matanya terlihat mengantuk karena masih dalam pengaruh mabuk.
"Tentu aku tidak mengenalmu karena aku bukan calon istrimu!" tukas Sylvia yang sudah terlanjur terekspose. "Sekarang cepat bantu aku naik, supaya kita bisa membicarakan apa yang sebenarnya terjadi."
Andreas mendengkus keras nyaris serupa mendengkur. Seberapa marahnya ia terhadap kecurangan George Alcaster, mendengarkan penjelasan gadis bergaun pengantin itu akan jadi tindakan yang cukup adil. Andreas membungkuk untuk menarik juntaian kain, akan tetapi sisa mabuk membuat pandangannya berbayang. Andreas goyah, tejerembab dari tepi jendela.
"Kyaaaaaaa ...!" Sylvia berteriak sekuat tenaga. Bournemouth jatuh dan mencengkeram kain yang sama dengannya. Tubuh pria itu menindihnya sehingga dia tergencet di dinding. “Aaarg, laki-laki sialan, menjauh dariku!” pekik Sylvia.
Tiba-tiba terdengar bunyi berderit benda berat dan mereka melaju ke bawah dengan cepat. Ranjang yang menjadi penahan juntaian kain rupanya ikut tertarik.
“Kyaaaaah!” Sylvia berteriak lagi lalu tubuhnya kembali terhempas ke dinding setelah terhenti tiba-tiba. “Hu ... hu hu huuu, waaaa!” Sylvia menangis kesakitan, tetapi semakin erat mencengkeram kain penopang hidupnya.
Kejadian itu mengundang kedatangan penghuni yang lain. Dante bahkan kembali lagi ke halaman samping itu, bersama beberapa pelayan mendongak keheranan melihat tuan rumah mereka bisa bergelantungan bersama mempelainya. Bahkan Pendeta Willis pun sampai berseru kaget. “Oh, demi Tuhan! Apa-apaan lagi ini?”
Pendeta Willis segera menyuruh para pelayan bertindak. “Cepat, lakukan sesuatu! Ambil tangga ataupun kasur kalau-kalau mereka terjatuh!” Pelayan-pelayan itu bergegas berlarian melaksanakan perintah Pendeta Willis. Hanya Dante yang tampak tenang mengamati.
“Hei, diamlah, kau sangat ribut!” tegur Andreas karena telinganya pengang mendengar jeritan gadis itu.
Sylvia mengedik-kedikkan tubuh agar Bournemouth memberinya jarak. Namun Andreas sendiri kesulitan bertahan. “Hei, hei, jangan bergerak!” gerutunya. Akan tetapi gadis itu tidak mau mendengarkan. Pegangannya terlepas, berpindah ke bagian punggung gaun pengantin yang dikenakan gadis itu.
“Kyaaaaah, lepaskan akuuuuu!” Sylvia histeris karena sekarang dia harus menyandang tubuh berat dan besar si beruang Viking.
Kreeek! Terdengar bunyi robek panjang yang membuat Sylvia terdiam sementara Andreas di belakangnya terbelalak. Gaun pengantin itu robek, perlahan tetapi pasti, semakin lebar dan panjang.
“Oh, tidak, tidak!” Gadis itu berteriak dan berusaha memanjat naik. Gaun itu akan segera tanggal dari tubuhnya. Sylvia tidak ingin tubuhnya menjadi tontotan banyak orang. Dia masih perawan dan tindalan asusila akan menodai nama baiknya.
Kreek, krek kreeeek! Gaun itu robek seluruhnya dan tanggal dari tubuh mungil gadis yang mengenakannya. Tersisa korset bustier renda putih dan stoking bertali garter membalut tubuh perawan sang gadis. Sementara Andreas meluncur jatuh dengan gaun pengantin putih bersih dalam genggamannya. Teriakan penuh amarah mengiringi kejatuhannya.
“Andreas Bradford Bournemouth, berengsek! Aku benci kamuuuuu!”
*
(๑♡⌓♡๑)
*
Bersambung ....