Bab 10
Setelah mengunjungi dua kampus di sekitar daerah Rawamangun, Ziyad membelokkan motor ke sebuah lapak pedagang es kelapa di pinggir jalan. Keduanya duduk diam sambil memperhatikan jalan raya Kota Jakarta yang selalu padat nyaris setiap saat.
Perhatian Yhara teralih saat ponsel Ziyad berdering dan pria itu tampak gugup sekilas ketika melihat siapa yang telah memanggil. Yhara berpura-pura tidak tahu bila saat itu Olgalah yang telah menelepon suaminya.
Ziyad beranjak menjauh dan menerima telepon sambil menutup telinga kiri. Sementara Yhara berusaha menenangkan hati yang tiba-tiba merasa kesal bila Olga masih berhubungan dengan Ziyad.
"Ra, kita pulang, yuk! Abang mau istirahat dulu sebelum berangkat kerja nanti sore," ajak Ziyad seusai menerima telepon.
"Aku boleh ikut Abang kerja nggak?" tanya Yhara, merasa sedikit ragu bila Ziyad mau mengabulkan permintaannya.
"Yakin? Bisa sampai larut malam loh."
"Iya, males juga di rumah sendirian."
"Oke, nanti kita sekalian makan di luar aja, ya."
"Terus lauk sisa tadi mau diapain?"
"Simpan buat sarapan. Tinggal panasin lagi kan."
Yhara mengangguk menyetujui usul suaminya. Keduanya segera mengenakan helm masing-masing dan menaiki motor. Ziyad kembali menarik tangan Yhara agar memeluknya.
Hal tersebut membuat Yhara kembali tersenyum lebar, merasa senang karena setidaknya hubungan mereka telah maju satu langkah. Rasa cemburu yang tadi sempat terbit di hati perlahan menghilang. Gadis itu menatap punggung sang suami sebelum menyandarkan kepalanya kembali. Selanjutnya Yhara hanya tinggal menunggu waktu hingga Ziyad benar-benar jatuh cinta padanya.
Perjalanan pulang ini terasa sangat singkat untuk Yhara. Dia mengeluh dalam hati saat motor sudah tiba di depan rumah kontrakan, karena sebetulnya masih betah memeluk tubuh Ziyad.
Yhara segera turun dan melepaskan helm. Bergerak membuka kunci pintu dan melangkah masuk. Ziyad memasang standar motor. Mengunci setang dan melepaskan helm, kemudian menaruhnya di atas spion.
"Halo, panas, ya?" sapanya sambil membuka pintu kandang dan mengusap kepala Ariel. Pria itu lupa mengambil Chika dari kamar Fauzan dan Abiyu tadi pagi. Mungkin sekarang kucing itu kelaparan karena belum makan.
Suara pintu kamar sebelah yang terbuka membuat Ziyad menoleh. Wajah bantal Fauzan yang keluar sambil menggendong Chika membuat hati Ziyad tenang.
"Sorry, tadi lupa ngambil Chika," ujar Ziyad sembari mengambil alih sang kucing betina dari gendongan Fauzan dan memasukkan kucing abu-abu belang hitam itu ke kandang.
"Aku juga lupa ngeluarin, untung dia nggak pup di kasur," sahut Fauzan sambil menguap. "Nanti malam mau visit ke prof Iman nggak?" tanyanya.
"Hu um, terakhir aja. Nunggu pasien kelar. Aku mau ke klinik Kenanga dulu. Dokter Feri dan Daniel udah pulang dari simposium."
"Ya udah, kita ketemu jam sepuluh di klinik prof Iman aja."
"Sip, nanti pulangnya aku mau nitip Yhara, ya. Biar nggak kena angin malam."
"Oh, Yhara mau ikut?"
Ziyad mengangguk.
"Nanti kalau ketemu Olga gimana?" tanya Fauzan sambil melirik ke pintu, sedikit takut Yhara mendengar obrolan mereka.
"Aduh, iya, ya!" Ziyad menepuk dahi dengan dramatis. Dia lupa bila Olga juga biasanya punya jadwal mengunjungi dokter.
Olga juga bekerja sebagai medical representatif di perusahaan farmasi lain. Ziyad mengenalnya saat baru beberapa minggu pindah ke Jakarta. Keduanya sering melakukan kunjungan bersama, karena kebetulan area kerja mereka pun searah.
"Semoga nggak ketemu," lirih Ziyad sebelum memasuki kamar dan menutup pintu. Sementara Fauzan juga memasuki kamarnya dan kembali melanjutkan tidur siang yang terjeda.
***
Seusai membersihkan diri dan berganti pakaian dengan kaus tipis dan celana pendek, Zayan merebahkan diri di belakang Yhara yang tengah asyik bermain ponsel.
"Ra, tadi mama ngechat. Katanya besok baru kirim uang buat DP motor kamu. Kira-kira mau ngambil kredit motor yang mana?" tanya Ziyad sambil memandangi wajah cantik sang istri yang belakangan ini sering membuatnya berdebar-debar.
"Ehm ... menurut Abang, bagusnya yang mana?" Yhara balas bertanya sembari menoleh.
"Samain dengan motor kamu di Pontianak aja. Scoopy kan?"
"Iya, kalau bisa warna pink."
Ziyad tak sanggup menyembunyikan senyuman saat mendengar jawaban polos sang istri. Pria itu tanpa sadar mengulurkan tangan dan menyentuh dagu Yhara yang seketika menegang.
"Tapi abang baru libur lagi hari Sabtu. Nggak apa-apa kan kita ke dealernya hari itu?"
"Terserah Abang aja, aku bakal nurut," jawab Yhara dengan suara nyaris tidak terdengar.
Ziyad menggeser tubuh dan mendekatkan wajahnya. Mengecup pipi kiri Yhara dan berdiam diri di posisi itu selama beberapa saat. Sementara Yhara hanya terdiam dan berusaha menenangkan hati yang mendadak bergemuruh.
"Kalau yang ini, nurut juga nggak?" lirih Ziyad.
Yhara tidak menjawab, dan dia pun tidak mengelak saat Ziyad menggeser wajah dan kembali mengisap bibirnya. Menikmati indera pengecap gadis itu dengan hati yang berdebar.
Tangan kiri Ziyad mengusap rambut dan wajah Yhara. Perlahan-lahan turun ke leher hingga menyentuh bagian tengah tubuh Yhara yang semakin menegang.
"Sekarang boleh?" bisik Ziyad.
Yhara tidak menjawab karena masih deg-degan. Gadis itu sedikit tersentak saat tangan Ziyad tiba-tiba menyelusup ke balik kausnya. Mengusap kulit mulus itu dengan pelan sambil menggeser bibirnya ke leher jenjang Yhara yang sontak melenguh.
"Zi, pinjam motor dong!" Seru seseorang dari luar pintu.
Ziyad mengumpat dalam hati karena lagi-lagi dia diganggu saat hendak mendapatkan haknya. Pria itu beranjak menjauh dan menyambar kunci motor di atas meja. Jalan ke luar dan membuka pintu sedikit.
Yhara sedikit linglung karena suaminya tiba-tiba memutus kemesraan mereka. Semburat merah mewarnai pipinya yang halus saat menyadari bahwa kausnya telah tersibak.
"Nih kuncinya," ujar Ziyad sambil menyerahkan benda tersebut ke tangan Hamid, pria muda penghuni kamar sudut kanan.
"Sip, aku cuma sebentar kok. Mau fotokopi ini." Hamid mengacungkan amplop kuning di tangan kirinya dan segera berlalu dari hadapan Ziyad.
Ketika Ziyad kembali menoleh ke belakang, Yhara telah membalikkan tubuh menghadap dinding. Pria itu jalan mendekat dan duduk di pinggir tempat tidur. Tangannya bergerak mengusap wajah dengan lelah. Lagi-lagi sang adik harus menahan hasratnya untuk bertamu.
***
Tepat pukul 16.30 WIB, Ziyad sudah membonceng Yhara menuju tempat praktek dokter yang pertama. Tanpa perlu diminta Yhara sudah melingkarkan tangan di pinggang sang suami.
Sesekali mereka mengobrol mengomentari suasana sore hari yang sangat crowded karena bertepatan dengan jam pulang kantor. Setibanya di tempat tujuan, Yhara membantu Ziyad merapikan pakaian sebelum mereka memasuki ruang tunggu yang sudah ramai pengunjung.
Ziyad meminta Yhara menunggu di kursi paling ujung, dekat dengan meja asisten dokter. Sementara dirinya jalan mendekati beberapa teman seperjuangan yang tengah mengobrol di depan ruang pengambilan obat.
"Siapa tuh? Cewek baru?" tanya Sandi, teman sesama medical representatif dari perusahaan farmasi lain.
"Bini gue," jawab Ziyad singkat yang membuat Sandi melongo.
"Lu kapan nikahnya? Kok gue nggak tau?"
"Udah mau dua minggu. Wajar lu nggak tau, kan gue nikahnya di kampung halaman."
"Loh, emangnya lu udah putus dengan Olga?"
Ziyad mengangguk lemah. Dia tidak mungkin menceritakan perihal peristiwa pernikahan jebakan orang tuanya pada teman-temannya. Cukup hanya Fauzan dan Abiyu yang tahu soal itu.
"Wuah, si Jhonny bakal sorak tuh!" seru Sandi.
"Apaan lu nyebut-nyebut gue?" tanya seorang pria berpenampilan klimis yang baru saja tiba.
"Nah, kebetulan orangnya datang. Sini, Bro, gue punya kabar bagus buat lu." Sandi merangkul pundak Jhonny dan berbisik di telinga kanan.
"Ha? Beneran nih, Zi?" tanya Jhonny dengan mata berbinar. Tak peduli orang yang ditanya saat ini tengah mengeraskan rahang.
"Jangan pernah berpikir buat ngedeketin Olga. Kalian harus berhadapan denganku dulu, baru bisa ngedeketin dia!" tegas Ziyad. Tak menyadari bila Yhara saat ini telah berada di belakangnya.