Obrolan Bikin GR

651 Words
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bulek Ningsih ke Pak Salim. "Tidak, Yu Ningsih. Pakai motor seperti kebiasaan dulu." Aku melirik ke garasi. Iya, motor sport yang biasanya nongkrong di sana sudah tidak ada. “Tumben? Tidak seperti biasanya? Apa Den Langit punya gebetan baru?” Bulek Ningsih menatap Pak Salim menuntut jawaban. Pak Salim hanya menggeleng, kemudian meneguk air putih sebelum menjawab pertanyaan. “Embuh, Yu. Anak muda sekarang beda sama kita dulu. Deketan kalau ketemu. La mereka sekarang pake internet saja bisa pacaran, je.” "Den Langit tidak mungkin sempat internetan gituan. Pasti ada yang diincer, tapi siapa? Wong berangkat pagi, pulang juga sore. Ketemune kapan? Pak Salim selalu sama Den Langit, kan?" Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Mobil, motor, kebiasaan, incer, kata-kata yang tidak bisa digabungkan menjadi kalimat utuh. Setelah aku tanya, Pak Salim menceritakan, kebiasaan Den Langit dulu saat masih kuliah. Dia akan menggunakan motor kalau ada perempuan yang dia dekati. Kata Pak Salim, dia beralasan untuk mempermudah operasional. “Biasalah, Tik. Anak muda kalau deketan sama cewek senengnya nempel. Kalau naik mobil, ya tidak ada seninya.” Pak Salim tertawa sambil menerima kopi hitam yang disodorkan Bulek Ningsih. Huuft, dasar playboy gondes--gondrong deso--deketin perempuan supaya bisa berboncengan bareng dengan tanpa jarak, kan? Aku kesal, membayangkannya. Den Langit dipeluk erat seorang perempuan yang digonjeng. Mereka meliuk-liuk mengikuti jalanan yang berkelok. Apalagi kalau diterpa hujan, pelukan semakin rapat karena dingin dan berbagi kehangatan. Eh! Kenapa aku kesal? Apa urusannya dia yang playboy atau bertingkah gimana? Baru saja aku selesai cuci piring bekas makan pagi kami, celetukan Pak Salim membuatku tersentak. "Yen tak pikir-pikir, Yu. Den Langit itu koyokke suka sama Tutik, ya," celetuk Pak Salim. "Bener. Perkiraanku juga begitu. Ternyata kita kok sepemikiran. Selama ini Den Langit selalu marah dan memecat orang yang memegang tugasmu, Tik. Wes, kita sampai bingung cari orang. Ini salah, itu tidak bener. Tapi, sama kamu kok lain, ya? Apa-apa kook cocok," timpal Bulik Ningsih “Ah, kalian ini ngawur. Mana ada bos suka sama tukang bersih-bersih? Levelnya jauhlah,” celetukku kemudian beranjak dari kursi. Mengambil air dingin di kulkas, sekalian menyembunyikan wajahku yang menghangat karena ucapan mereka. Tidak dipungkiri, sosok Den Langit walaupun terlihat galak tapi bikin hati bergejolak. Bukannya berhenti, mereka justru meneruskan pembahasan sesuai yang mereka pikirkan. "Anehnya lagi. Pas kamu sakit, dia kelihatan bingung banget. Belikan bubur, pisang, dan sempat menyuruh beli obat. Ya, saya bilang, kamu sudah beli obat sendiri. Sikapnya ini mencurigakan, kan, Yu?" "Koyokke ada tanda-tanda, Kang. Tutik ki, tidak peka blas!" ujar Bulek sambil menepuk bahuku. "Dia begitu karena kerjaan saya bener, Bulek, Pak Salim. Jangan suka prasangka, deh. Nanti aku GR! Nih, kepalaku sudah bengkak," protesku sambil tertawa. "Den Langit suka dengan hasil kerja saya. Makanya dia baik, susah lo, cari orang seperti ini di zaman sekarang." Aku menepuk d**a menyombongkan diri, walaupun sebenarnya menekan degub jantung yang mulai tak biasa. Teringat senyumnya itu, lo. Apalagi jambang yang menghias pipinya, bikin tangan ini gatal untuk menyentuhnya. "Huuft!" Aku menghela nafas sebelum kembali berkata dalam hati, "Nyebut Lintang .... Nyebut!" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD